"Kau bisa kembali sekarang."
Nada suara Devan membuatku sedikit berdebar. Rasanya aku sangat ingin berdebat dengannya. Menyanggah semua yang diperintahkannya padaku.
Toh, aku bukan pesuruhnya yang bisa seenaknya dia minta untuk begini dan begitu. Dia pikir dia siapa yang bisa seenaknya mengatur ini–itu dalam hidupku, bahkan memintaku untuk pergi menjauh darinya pun bukan haknya, begitulah yang selama ini kuyakini.
"Kau–tidak ber–perasaan, Dev. Aku sudah di sini."
Aku mendekatinya, sedikit lebih rapat. Devan malah menggeser tubuhnya beberapa inchi dariku. Aku ingin marah. Kesal. Devan selalu bersikap dingin padaku. Entah mengapa, lelaki yang satu ini terlalu sulit untuk bersikap baik padaku. Setidaknya, bersikap sedikit ramah pada seorang gadis secantik aku tidaklah sesulit itu, bukan?
"Aku tidak suka, aku selalu tidak nyaman dengan keberadaanmu, Vi."
Aku ingin sekali meraihnya. Toh, mendengar penuturannya telah membuat mataku berkaca–kaca. Sulit bagiku untuk menahan betapa remuk dan hancurnya perasaanku saat ini.
Kucoba untuk menelan rasa pahit itu, yaa rasa pahit yang selalu timbul saat aku mengingat dan menghadirkan debar yang terus saja bergemuruh di dadaku.
"Aku pergi, baiklah, Dev. Seperti maumu."
***
Bagiku langit senja tak selamanya berwarna jingga. Serupa senja kali ini, kujumpai sudut–sudut mendung yang menggulita. Apa mungkin patah hati akan membuat mataku buta akan warna–warni dunia? Sampai–sampai aku lebih nyaman saat langit menghitam pekat seperti itu. Bahkan sampai menurunkan hawa dingin yang membuatku menggigil seperti orang demam.
Yaa, mungkin aku memang demam. Sudah beberapa hari ini kukondisikan mataku di posisi tetap terjaga. Sampai–sampai tak kubiarkan kelopak mataku menutup entah cuma untuk beberapa menit saja.
Aku tidak ingin tertidur.
Aku lebih nyaman seperti ini. Menahan rasa kantuk yang bertubi–tubi dan membiarkan dua bulatan mata panda melengkung indah di tempatnya.
Sumpah! Aku sangat mengantuk. Aku ingin tidur sebentar, dan membayar rasa kantuk ini segera, tetapi –
Aku seperti orang linglung saja. Bahkan hingga malam turun, aku masih saja berkutat dengan pikiran–pikiran yang tidak menentu. Aku panas–dingin. Rasanya ingin segera kuselami mimpi yang lebih baik untuk kali ini.
Kau perempuan kuat, Vivian.
Kujeritkan kalimat itu berkali–kali. Kujeritkan dengan keras di dalam hatiku, hingga suaraku sendiri terdengar menggema di penjuru otakku.
"Ohh, Dev, bisakah aku menemui sekali lagi? Hanya sekali, hingga kuputuskan untuk bertemu kau untuk yang terakhir kali. Oke, oke. Aku bersumpah tidak akan memikirkanmu lagi, tidak akan mencuri–curi waktu untuk bisa menemuimu. Sungguh. Bahkan, jika kau mau, aku akan memenjarakan perasaanku padamu sejauh–jauhnya di tempat paling asing yang tidak mungkin bisa kujumpai kembali. Dan, aku juga siap ditertawakan dan diejek sepanjang hari oleh–Diandra–perempuan kesayanganmu itu sebab aku selalu menempatkan diriku di posisi paling mengenaskan untuk terus memujamu."
***
Hening.
Kali ini kesenyapan menyergapku. Entah bagaimana bisa aku sampai terdampar di ruangan ini. Ruangan yang terlihat asing. Sangat asing. Bahkan beberapa kali kusapukan pandangan ke setiap sudutnya, namun aku masih saja tidak mengerti.
Aku di mana, oh, ini di mana?
Seingatku, aku masih bersandar ke dinding tempat tidur, terkantuk–kantuk, dan terus menerus menguap sendiri.
Dan, sekarang, anehnya tubuhku terasa bugar. Tidak lemas, bahkan tanpa rasa kantuk.
Aku pasti bermimpi lagi.
Oh tidak, aku telah berjanji untuk tidak menemui Devan lagi. Bahkan aku rela menyiksa diri untuk tidak tidur berhari–hari.
Sial, aku pasti tertidur. Sebab hanya dengan begitu aku bisa kembali berada di tempat seperti ini. Ruang mimpi. Tempat yang terus kuhindari agar tidak kembali mengusik Devan. Sebab–Devan terang–terangan tidak merasa nyaman dengan keberadaanku.
Aku ingin menangis. Namun anehnya air mataku tidak setetespun mengalir. Duh, jika Devan menjumpaiku di sini, dia pasti akan marah besar, dan–mengusirku lagi.
"Kau kembali, itu di luar kuasaku."
Tiba–tiba saja suara Devan telah memecah kesunyian. Kali ini suara Devan terdengar lembut. Biasanya hanya nada–nada sinisnya yang akrab di telingaku. Namun entah mengapa kali ini sangat berbeda.
Kutoleh ke arah datangnya suara itu. Kudapati Devan tengah bersandar tak jauh dari tempatku. Dan, lagi–dia memunggungiku.
"Ya, ini salahku–dan aku tahu itu."
Keheningan kembali menyeruak di antara kami. Aku enggan berkata–kata banyak seperti biasa. Kali ini aku merasa diriku terbawa suasana. Kembali senyap.
"Bukan," Devan tiba–tiba saja sudah nongol di depanku. Rambut lurusnya yang sudah tampak gondrong terlihat tidak beraturan. Namun, bagiku dia terlihat segar, dan tampan. "Itu salahku, Vivian!"
Aku sangat ingin menyentuhnya. Sudah terlalu lama, Devan selalu saja menolakku. Bukan, bukan menolak–namun menjauh–dariku.
"Aku bingung, Dev. Aku tidak mengerti–"
"Kau akan mengerti, terlalu banyak penjelasan, dan aku sedang tidak ingin membahasnya."
"Maaf, aku selalu melanggar sumpahku. Aku terus saja memimpikanmu, Dev. Sudah kucoba menahan diri dengan tidak mengikuti keinginan hati, namun tetap saja."
Aku ingin menangis. Lagi–lagi air mataku tidak mengalir sedikitpun. Ingin sekali rasanya kulumuri wajahku dengan duka. Aku masih saja membiarkan kebodohan menguntitku.
"Kau tidak sedang bermimpi lagi, Vi."
Devan menatapku. Matanya terlihat menyimpan duka. Entah, aku semakin bingung dan bertanya–tanya. Apakah aku telah melakukan kebodohan lagi, sehingga Devan harus bersedih atas diriku.
Semenyedihkan itukah aku?
"Vi, kau tidak akan pernah bermimpi lagi. Maafkan aku, kali ini aku tak akan membiarkan diriku menyakitimu seperti dulu."
"Maksudmu?"
"Aku nyaman bersamamu, hanya saja dunia kita berbeda Vivian sayang. Aku tak pernah mencintai Diandra. Aku hanya memikirkanmu, namun–aku selalu menyanggahnya."
Ohhh, aku benar–benar ingin menangis. Aku ingin membenamkan sesak di hatiku dengan memeluk dan tenggelam di dada Devan.
"Ayo ikut aku,"
Devan langsung menarikku, tanpa bisa menolak, kami menembus dinding–dinding dan menghilang.
***
Words : 891
Yeayyy, postingan pertamaku di awal Oktober 2015. Menjawab tantangan Mimin, @KampusFiksi akhirnya #WahanaMimpi ini jadi juga. =D
Selamat Membaca, Fictionholics. =))
Oleh : Ramita Zurnia ( twitterku : @Mitha_AdelSanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar