Rabu, 26 Agustus 2015

Ceritera Agustus #20 - Misi Dadakan

Sial. Aku terlambat!
Kulangkahkan kakiku setengah berlari. Dengan langkah - langkah panjang aku berhasil mencapai pintu gerbang masuk ke kantor. Beberapa sepeda motor dan mobil sudah berjejer rapi di tempat parkir. Kulirik jam tangan mungil di pergelanganku. 08:25.

Ohh Tuhan, bergegas, Kia. Cepatlah sedikit.

Pagi ini, akan ada rapat pertemuan seluruh karyawan dengan beberapa pengawas dari kantor pusat. Sementara waktu semalaman tadi telah kuhabiskan dengan bergadang membuntuti Dozan.

Aku terlambat mencapai lift. Setengah menggerutu aku berlari menuju tangga. Kalau sudah terlambat begini, aku pasti akan diomeli sepanjang hari oleh manajerku. Mungkin juga langsung diberi surat peringatan, diceramahi, dan ditegur habis - habisan.

Lantai empat kosong. Lengang, tanpa satu orangpun juga. Aku mengernyitkan dahiku. Seharusnya di jam - jam seperti ini aktifitas di kantor sudah mulai ruwet, sibuk dan berisik. Hanya saja bisa kupastikan di beberapa meja milik rekanku sudah tergeletak beberapa berkas. Begitu juga dengan layar komputer yang terlihat masih menyala.

Ke mana semua orang? Situasi seperti ini tentu saja membuatku bingung bercampur panik. Aneh, hal ini sungguh terasa aneh bagiku. Padahal ingin sekali rasanya aku menikmati sedikit waktu untuk tidur, melanjutkan mimpi yang sempat terpotong tadi pagi oleh berisik jam weker di atas nakas.

***

"Setelah ini, kau harus bisa menjalani hidupmu, Kiara!"

Ucapan Mbah Surinah masih terngiang - ngiang jelas di memori otakku. Membuat debaran jantungku kian berlagu cepat. Beberapa tahun lalu selepas masa - masa sulit itu kulewati, bahkan dibantu Mbah Surinah aku berhasil keluar dari genggaman juragan jagal sapi di kampungku.

Aaah, bahkan dengan membayangkannya saja aku sudah merinding. Ulu hatiku terasa nyeri sekali. Pastinya sekarang aku bersyukur tidak lagi menjadi tawanan juragan Wiyoko si tukang jagal. Kalau tidak, tentu aku terpaksa harus menukar masa remajaku dengan dijadikan istri kesekian olehnya.

Aku menyumpah - nyumpah. Namun saat ini ada yang masih harus kucari tahu. Aku melompat keluar dari ingatanku, bahkan saat aku membuka pintu ruangan manajerku, kesunyian yang sama menyambutku.

Aku lega. Di satu sisi aku sangat lega. Bisa saja aku berbalik pulang tanpa peduli dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun, keanehan ini tentu akan menjadi gumpalan tanya yang bakal menohok pikiranku terus menerus. Bagaimana kalau alien berkunjung ke bumi, dan menyedot semua rekan kerjaku berikut manajerku yang galak dengan pesawat UFO.

Aku menggerutu. Beberapa kekonyolan sepertinya telah merasuki otakku lagi. Aku menepuk jidatku berkali - kali, dan dering ponsel dari dalam tas membuatku harus segera membuka pesan masuk. Pesan SMS dari Dozan.

"Haiii Nona Kiara, apa kabar? Bisakah kamu menemuiku siang ini di Lt. 5? Sendirian. Ingat, sendirian Sayang!"

Panas. Hawa panas di tubuhku terasa meningkat beberapa derajat celcius. Ohhh, Dozan memintaku menemuinya. Sendirian. Ohhh, rasanya seperti dilempari dengan granat aktif yang langsung melumat benakku menjadi cincangan kecil tak berbentuk.

Secepat kilat kutekan beberapa angka di tuts ponselku. Tak sabar rasanya aku menunggu hingga panggilan tersambung.

"Halo, Tuan William, iyaa Tuan, Dozan, saya baru saja menerima pesan darinya dan... Apaaaa??? Disandera??? Seluruh karyawan??? Lantai lima Tuan, baiklah... Iyaa Tuan, saya akan berhati - hati."

Kakiku bergetar. Aku terduduk lemas di atas kursi. Bagaimana bisa, semalaman suntuk kuluangkan waktuku untuk menguntit kegiatan Dozan dan hari ini dia telah berhasil merampungkan rencana besar. Rencana besar baginya, sekaligus bencana besar bagi seluruh rekan kerjaku.

***

Aku. Hanya aku. Sesuai instruksi dari Tuan William, terpaksa kupenuhi permintaan Dozan. Yaa, siapa itu Dozan? Dia adalah seorang pria brengsek. Dari berkas yang bertumpuk di meja kerja pribadi di rumahku, aku sangat tahu pasti bagaimana seorang Dozan akan mampu merasuki dan mempengaruhi siapapun untuk keinginan - keinginan yang akan dia paksakan. Semacam hasrat iblis yang membabi buta.

Aku tidak perlu mengendap - endap kali ini. Kukumpulkan segala kekuatan yang masih aku miliki. Kurangkum menjadi benteng pertahanan yang kuharap tidak bisa ditembus oleh pengaruh kekuatan Dozan nantinya.

Kreeeeekkkk

Kukuakkan daun pintu ruang rapat di lantai lima. "Dozaaaaan. Di mana kau, hah!?!"

Suaraku terdengar menggema. Ruang rapat ini terlalu luas untuk kususuri. Sebab itulah kuberanikan meneriakkan namanya berkali - kali. "Dozaaaan!!! Aku datang pengecut."

Hawa dingin yang bersumber dari AC membuat kulitku sedikit kaku kedinginan. Mataku tetap awas memperhatikan situasi di seluruh sudut ruangan.

"Wow, kau sudah datang?"

Kuawasi lagi semua sudut. Dan aku belum juga menemukan sosok pemilik suara berat tersebut. "Dozaaan, di mana kau? keluarlaaaaah pengecuttt!!!"

Suara tawanya yang mengejek membahana ke seluruh tempat. Amarahku semakin memuncak. Bagaimana bisa lelaki brengsek ini tertawa lepas dan mempermainkanku.

"Apa kabar, Nona manis."

Si pemilik mata elang itu muncul beberapa meter saja di depanku. Dia mengenakan stelan kemeja yang telah digulung lengannya, dipadukan dengan jeans panjang, berikut dengan gaya rambut ala preman yang memuakkan itu.

"Kau datang sendirian bukan?"

"Apa yang kauinginkan dariku, Dozan? Mengapa kau harus melibatkan rekan kerjaku?" Bukannya menjawab, aku malah mendesaknya balik dengan beberapa pertanyaan.

"Kau ingin tahu, Kiara?" Dia melompat ke arahku. Tanpa sempat mengelak, dia mendorongku dengan kuat ke arah dinding. "Aku menginginkan kau, Kiara."

***

Kupastikan gedung ini ramai. Sesekali terdengar suara sirine mobil polisi, juga diselai oleh lengkingan sirine ambulans. Beberapa petugas medis berlari ke arahku, kemeja kerjaku tampak kacau bersimbah darah.

"Nona Kiaraaaa, anda baik - baik saja Nona?" salah seorang anggota kepolisian menghampiriku.

"Bagaimana dengan para sandera?" Kulayangkan pertanyaan yang jauh lebih penting saat ini. Setelah berhasil menikamkan pisau ke lambung Dozan, rasanya mengetahui kabar para sandera adalah hal yang sangat wajar kulakukan.

"Mereka semua selamat, Nona. Hanya saja, salah seorang dari mereka menderita memar dan lebam yang cukup serius. Sepertinya dia dipukuli dan dihajar habis - habisan."

Aku menarik napas lega. Tetapi, "Ohh yaaa, siapa dia?"

"Tuan Barata, saya dengar dia manajer di perusahaan ini."

Aku tersenyum. Menyenangkan sekali rasanya mendengar penuturan tersebut. Seolah berapa kejadian menegangkan yang kualami tadi mendadak sirna dari pikiranku. Kuharap Tuan Barata si manajerku yang cerewet itu bisa mengambil hikmah atas apa yang menimpanya.

"Aku menginginkan kau, Kiara?"

Aku bergidik. Kejadian kali ini di luar kemauanku. Seandainya Dozan tidak memaksakan diri, mungkin dia tidak akan menemui ajalnya secepat ini.

Kulayangkan pandangan ke langit - langit. Menurutku petang mulai berlabuh. Kupikir beberapa hal memang sudah harus terjadi hari ini.

"Misi berhasil, Tuan William."

***(rz) ***

Hai gaes, terima kasih sudah membaca fiksiku berdasarkan prompt #CeriteraAgustus20 dari @KampungFiksi.
Ini adalah fiksiku versi kedua. Kutulis dengan versi cerita yang berbeda dalam hal menjawab tantangan dari Miss G.
 ^__^
Oleh : @Mitha_AdelSanto




Selasa, 25 Agustus 2015

Ceritera Agustus #20 - Mendadak Amnesia

Sial. Aku terlambat!
Kulangkahkan kakiku setengah berlari. Dengan langkah - langkah panjang aku berhasil mencapai pintu gerbang masuk ke kantor. Beberapa sepeda motor dan mobil sudah berjejer rapi di tempat parkir. Kulirik jam tangan mungil di pergelanganku. 08:25.

Ohh Tuhan, bergegas, Kia. Cepatlah sedikit.

Pagi ini, akan ada rapat pertemuan seluruh karyawan dengan beberapa pengawas dari kantor pusat. Sementara waktu semalaman tadi telah kuhabiskan dengan bergadang membuntuti Dozan. Yaaa, Dozan rekan kerjaku si pembuat masalah.

Aku terlambat mencapai lift. Setengah menggerutu aku berlari menuju tangga. Kalau sudah terlambat begini, aku pasti akan diomeli sepanjang hari oleh manajerku. Mungkin juga langsung diberi surat peringatan, diceramahi, dan ditegur habis - habisan.

Lantai empat kosong. Lengang, tanpa satu orangpun juga. Aku mengernyitkan dahiku. Seharusnya di jam - jam seperti ini aktifitas di kantor sudah mulai ruwet, sibuk dan berisik. Hanya saja bisa kupastikan di beberapa meja milik rekanku sudah tergeletak beberapa berkas. Begitu juga dengan layar komputer yang terlihat masih menyala.

Ke mana semua orang? Situasi seperti ini tentu saja membuatku bingung bercampur panik. Aneh, hal ini sungguh terasa aneh bagiku.

***

"Setelah ini, kau harus bisa menjalani hidupmu, Kiara!"
Ucapan Mbah Surinah masih terngiang - ngiang jelas di memori otakku. Membuat debaran jantungku kian berlagu cepat. Beberapa tahun lalu selepas masa - masa sulit itu kulewati, bahkan dibantu Mbah Surinah aku berhasil keluar dari genggaman juragan jagal sapi di kampungku.

Aaah, bahkan dengan membayangkannya saja aku sudah merinding. Ulu hatiku terasa nyeri sekali. Pastinya sekarang aku bersyukur tidak lagi menjadi tawanan juragan Wiyoko si tukang jagal. Kalau tidak, tentu aku terpaksa harus menukar masa remajaku dengan dijadikan istri kesekian olehnya.

Aku menyumpah - nyumpah. Namun saat ini ada yang masih harus kucari tahu. Aku melompat keluar dari ingatanku, bahkan saat aku membuka pintu ruangan manajerku, kesunyian yang sama menyambutku.

Aku lega. Di satu sisi aku sangat lega. Bisa saja aku berbalik pulang tanpa peduli dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun, keanehan ini tentu akan menjadi gumpalan tanya yang bakal menohok pikiranku terus menerus. Bagaimana kalau alien berkunjung ke bumi, dan menyedot semua rekan kerjaku berikut manajerku yang galak dengan pesawat UFO.

Aku menggerutu. Beberapa kekonyolan sepertinya telah merasuki otakku lagi. Aku menepuk jidatku berkali - kali, dan dering ponsel dari dalam tas membuatku harus segera membuka pesan masuk. Pesan SMS dari Dozan.

"Haii, Nona Kiara. Kenapa lama sekali? Semua orang sudah menunggu, rapat ditunda selama satu jam. Segera ke lantai lima."

Ohh Dozan! Sepertinya ribuan kunang - kunang membuat tubuhku limbung.
Duuh Kiara, Kenapa kamu mendadak amnesia. Bukankah ruang rapat ada di lantai lima?

***(rz) ***

Hai gaes, terima kasih sudah membaca fiksiku berdasarkan prompt #CeriteraAgustus20 dari @KampungFiksi.
Mari terus menulis. ^__^
Oleh : @Mitha_AdelSanto




#FFRabu - Raja William dan Sebuah Permintaan

Dia masih sibuk memikirkan mahkota. Bahkan sedari tadi dia hilir mudik persis gangsing yang dimainkan anak tetangga. Hanya kedua bola mataku saja yang rela mengikuti langkah - langkah resahnya.

"Mahkota baruku, Isabelle. Mahkota baruku." Bibir tebalnya akan terus berceloteh tentang hal yang sama.

Dia lantas menatapku, tanpa senyuman, tanpa ekspresi sama sekali. "Duduklah, William. Duduklah!" Biasanya dia langsung menurut jika kuperintahkan untuk bersikap tenang.

"Isabelle, mahkota emasku yang bertitahkah batu safir, akik kalimaya dan kristal. Aku menginginkannya kembali."

Dia tertunduk murung. Tatapan memelasnya membuatku terenyuh. Biasanya William akan mengamuk. Namun sebelum itu terjadi, dengan sigap kusuntikkan (lagi) obat penenang. (rz)

***

Words : 100
#FFRabu @MondayFF tema "RAJA"
Oleh : @Mitha_AdelSanto


Rabu, 19 Agustus 2015

#CERMIN_KEMERDEKAAN - Pejuang Kehidupan

 “Sarapannya mana, Bu?”
Pertanyaan mbah Darmo mengejutkan mbok Narti yang sedang sibuk mengaduk seperiuk nasi yang masih mengepulkan asap. Mbok Narti mengeluh, pagi ini memang ada nasi yang ditanaknya, mungkin nanti siang hingga malam menjelang dia dan suami harus bisa menahan tuntutan rasa lapar.
“Lhaa sabar, Pak. Ini sebentar lagi selesai.”
“Cepetan, Bu.” Mbah Darmo memperlihatkan perutnya yang kerempeng tanpa baju. Dia terkekeh sehingga nampaklah gusi  ompongnya yang nyaris tak menyisakan satu gigi pun.  “Oya, esok sudah 17 Agustusan, Bu. Sepanjang jalan perkampungan sudah terpasang berbagai macam hal berbau merah-putih loh, Bu.”
“Lantas kenapa, Pak?” Mbok Narti menyodorkan sepiring nasi tanpa lauk pada suaminya. Lagi, tanpa lauk sepotong pun. Mbok Narti yakin suaminya pasti sudah melihat umbul-umbul merah-putih di sepanjang jalan setelah pulang memulung.
Mbok Narti menarik napas dalam-dalam. Berpuluh tahun mereka lewati kebersamaan, setia menghuni gubuk mungil sebilik bambu, berlantaikan tanah.
“Saya ingin ikut memperingati, Bu. Seperti tahun-tahun lalu. Sudah pasti saya ndak mau ketinggalan.”
“Lhaa, bapak, bapak. Mau ikut memperingati bagaimana?”
“Ya harus, Bu. Lha sedari muda aku ikut berperang melawan penjajah.”
“Dan sampai sekarang masih berperang demi sesuap nasi ya, Pak?”
Mbah Darmo terdiam, Tak ada yang berubah hingga sekarang tubuhnya renta sudah. (*)
***
#CERMIN Kemerdekaan ini kuikutkan di kuis bentang pustaka edisi Sabtu.
Oleh : @Mitha_AdelSanto

Adakah Momen Lebaran Yang Jauh #LebihBaik?

Sebulan lamanya kita menunaikan ibadah puasa, menikmati setiap detik Ramadan dengan memperbanyak amalan dan ibadah. Segala sesuatu kita lakukan dengan ikhlas semata mendapatkan ridho Allah Swt.
Ramadan berlalu dengan cepat, tiba saatnya untuk merayakan hari kemenangan. Seluruh umat muslim di dunia akan bersuka cita menyambut hari kemenangan ini. Kumandang takbir akan bergema di mana - mana. Seluruh rindu akan tumpah ruah saat bisa melewati hari berbahagia di tengah orang - orang tersayang.

Adakah momen lebaran yang jauh lebih baik selain berkumpul dengan ayah, ibu, adik, kakak, dan semua sanak saudara di kampung halaman? Apalagi bagiku, yang harus ikut dengan suami merantau ke kota Pekanbaru, pastinya momen mudik lebaran menjadi sesuatu hal yang bisa dibilang wajib setiap tahunnya.

Memang sudah seharusnya, momen lebaran bersama keluarga di kampung halaman adalah momen yang sangat aku dan suami tunggu - tunggu. Bahkan kami akan mempersiapkan segala sesuatunya jauh hari sebelum lebaran tiba. Bisa saja kami akan mulai mendiskusikan ingin mudik lebaran menggunakan transportasi seperti apa, apakah sanggup berdesakan dengan pemudik di dalam bus antar provinsi, atau memilih konvoi dengan para sahabat menggunakan sepeda motor.

Semua perasaan memang terasa jauh lebih baik saat aku bisa berada di tengah keluarga. Semua rasa lelah setelah menempuh perjalanan berjam - jam dengan sepeda motor segera terbayar lunas setelah aku bisa merengkuh tubuh ibu, mencium punggung tangan ayah, juga memeluk adik - adikku dan berbagi rindu dengan mereka.

Butuh waktu delapan jam untuk mencapai Lubuk Sikaping, kota kelahiranku yang dipagari oleh hijaunya bukit barisan, dengan udara yang bersih dan sejuk. Lubuksikaping adalah sebuah kota kecil yang hanya berjarak dua jam dari pusat kota Bukittinggi.

Bagi kami masyarakat Minangkabau ada masakan khas yang harus selalu ada di setiap kali momen lebaran datang. Apalagi kalau bukan randang alias rendang daging yang sudah pasti lezat sekali. Jika sudah pulang kampung begini, aku tidak akan melewatkan masa untuk ikut mencicipi rendang hitam buatan ibuku. Daging rendang yang empuk, dengan cita rasa pedas yang benar - benar menggugah selera. Selain rendang, sudah tentu ibu juga selalu menghidangkan asam padeh (asam pedas) ikan, dan pangek paku kariang (rendang sayur pakis) yang dimasak dengan mencampurkan potongan sayur pakis, pisang mengkal, sambuang (kecombrang), jengkol, dan ikan tuna.

Selain melepas rindu untuk menyantap masakan ibu, lebaran bersama keluarga memang akan selalu menjadi hal yang paling berkesan setiap tahunnya. Sebab di manapun aku dan suami merantau mencari rezeki, meski aku harus terpisah jarak ribuan kilometer dengan ayah dan ibu, aku akan selalu menyempatkan untuk bisa mudik lebaran dan berada di rumah bersama keluarga besar.

Mengapa?
Sebab hanya selagi aku masih bisa. Selagi orang yang kusayangi masih ada. Akan kugunakan waktu dan kesempatan yang tersisa untuk berkumpul, saling berbagi, dan berusaha untuk ada di sisi mereka. Sebab hanya selalu kenangan indah yang akan kuukir setiap waktu untuk keluargaku, ayah - ibu, dan adik - adikku.
Sebab #LebihBaik kisah dan cerita indah itu terangkai oleh kasih sayang dan cinta dari keluarga.

Harapan terdalamku,
Aku selalu punya waktu untuk berkumpul,
Mendengarkan celoteh - celoteh riang adik - adikku,
Juga selalu ada bersama mereka yang kusayangi di momen lebaran tahun - tahun berikutnya.

***rz***


"Lebaran" #LebihBaik
Tulisan ini kuikutkan pada event BLOG COMPETITION "Lebaran" #LebihBaik yang diadakan oleh Sun Life Indonesia.
Pastinya juga untuk mengenang momen indah LEBARAN Id Fitri 1436 H.

Oleh : Ramita Zurnia

Selasa, 18 Agustus 2015

#FFRabu - Nay, Detektif Cinta

Matanya merah menyala, berkilat - kilat seperti hendak menerkamku.

Aahhh, aku tidak ingin sisi perempuanku menjadi kelemahan di mata musuhku. Yaa, hingga saat ini aku masih menyebutnya sebagai musuh.

"Tidak bisa begitu, Nay. Kamu harus segera ambil sikap dalam hal ini." Semalam Deara berceloteh tak jelas. Aku memilih menutup kupingku hingga membuatnya kesal.

"Tidak, Deara. Tidak. Aku akan menyelidiki semua ini."

"Mau sampai kapan? Semua ini sudah terlalu berlebihan nona detektif." Deara menggodaku.

Ahh, Aku masih bersembunyi di sini. Mengintai Paulo dari kejauhan. Beberapa hari yang lalu Paulo menyatakan cinta padaku. Aku masih butuh banyak bukti, sebelum memutuskan menerima cintanya.*

***

100 kata.
#FFRabu tema "Detektif"
Oleh @Mitha_AdelSanto

Senin, 17 Agustus 2015

#Fiksiku - Detik Terakhir

Ledakan terdengar di mana - mana. Sesekali beruntun, dan beberapa detik hanya ada sunyi serupa suasana pemakaman. Yaa, bahkan aku berpendapat mungkin sebentar lagi akan ada roket yang menukik dan mengoyak daging - daging segar kami.

Aku terhenyak, bumi tempatku berpijak kembali bergetar hebat. Negeri antah berantah dengan penguasa yang nuraninya telah lama musnah.

"Ciiiihhhh." Aku mengumpat, entah sudah berapa lama aku terkurung di bawah langit malam yang bergolak oleh warna merah menyala. Menyuguhkan percikan kembang api raksasa, yang sanggup melahap seisi kota.

Aku menyeret - nyeret langkah di antara reruntuhan, kulayangkan pandangan, tak ada satu pun bangunan yang terlihat utuh. Tentu saja, bom dan roket sialan itu akan meluluhlantakkan semuanya tanpa tersisa.

Kutahan rasa sakit yang menjalari kedua kakiku. Darah yang tadinya mengalir dari robekan luka di betisku sudah menghitam. Mengering.

"Kau sudah siap?"

Aku memperhatikan si pemilik suara. Dalam pandangan kedua mataku, sosok berjubah besar itu melototiku dengan mata merah berkilat - kilat.

"Hei, apa maksudnya?" Kucoba mengeluarkan pertanyaan dengan debar tak jelas di dadaku.

"Sudah tiba waktunya bagi ajalmu, kau tahu?"

Aku yakin keringat dingin mengucur dari pelipisku. Dadaku bergemuruh hebat, embusan angin malam di sela ranting seakan memberi pertanda buruk untuk akhir hidupku. Ajalku, yaa ajalku, mungkinkah dia malaikat maut pencabut nyawa?

"Kau bisa datang kembali nanti." Kucoba melawan riuh suara yang memenuhi benakku. Kali ini tentu tanpa beban, sebab aku mulai menguasai suasana hati dan pikiranku.

"Kau ingin mengulur waktu?"

"Tidak. Aku siap kapanpun itu."

"Lantas?"

Aku tertawa, sepertinya di negeriku ini tidak ada lagi manusia yang masih bernyawa. Kecuali mereka para pemangsa nyawa dan pengendali roket - roket itu.

"Aku ingin menjadi yang terakhir," Ucapanku terhenti, sepertinya oksigen di tempatku mulai kehabisan stok. Aku menahan nyeri di paru - paruku yang mungkin mengering. "Aaah, negeri ini rata sudah. Ribuan nyawa terenggut paksa, bumi menelannya sebagai kuburan massal. Aku ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan bumi porak - poranda."

Sosok tinggi besar itu menyeringai dan terkekeh. Apa dia menertawakanku? Aku meringis, negosiasi diterima. Dan sebuah roket berdentam - dentam, menubruk apapun di sekitarku.

Negosiasi berakhir.
Kupastikan aku akan pulang,
Segera pulang.

***rz***


Fiksi ini adalah pengembangan dari #FiksiMini yang kukirim dari akun twitterku.

@Mitha_AdelSanto
"DETIK TERAKHIR - Aku masih bernegosiasi dengan malaikat."

Minggu, 16 Agustus 2015

#Fiksiku - Jiwa Yang Akhirnya Kembali

"Dania, Dania, buka matamu, Sayang."

Didi melompat, dia panik setengah mati. Dania sama sekali tidak bergerak, Didi panik, panik. Oh Tuhan.

"Kejutan!!!"

Dania menghambur ke dalam dekapan Didi, menyodorkan bibirnya dan mengecup pipi Didi dengan penuh hasrat, menyisakan rasa manis yang menjalar hingga ke pikirannya.

"Terima kasih sayang, aku suka kejutan!" Dania bersyukur ada kejutan di hari ulang tahun pernikahan mereka. Sebuah kalung berliontinkan cinta, dan sebuah guling dengan motif bunga - bunga.

Guling??? Ohh Tuhan!!

Didi menarik rambutnya dengan kesal, Dania masih tampak kaku tanpa embusan napas keluar dari hidungnya.

"Siaaaalllll," Didi mengutuk diri sendiri, rasa sakit di ulu hati membuatnya ingin menangis, ingin menjerit.

Semua berawal dari sebuah mantera.

"Sudah kautukar?"

"Sudah, Mbah."

"Bagus, sekarang tunggulah sebentar,"

"Langsung ada reaksi, kan Mbah?" Mbah Dirjo mengangguk, Didi senang bukan main, Janda Laila akan ada digenggamannya.

"Tidak, Istriku harus kembali." Didi melempar guling milik Janda sebelah, dan menukarnya kembali dengan satu - satunya guling yang mereka punya.

"Dania, kembalilah padaku. Dania, bernapaslah...!!! Aku mohon."

"Mmmm, Uhukk, uhuuuk."
***Rz***
Cerita fiksi ini kukembangkan dari #FiksiMini yang kushare di akun twitterku sebelumnya.

@Mitha_AdelSanto
SUDAH KEMBALI - "Sudah kautukar gulingnya?" || "Sudah, Mbah. Dan istriku kembali bernapas."

Kamis, 13 Agustus 2015

Ceritera Agustus #12 - Cinta Ibu di Sepiring Nasi Goreng Sosis


Terdengar suara berisik sendok dan wajan saling beradu. Suara anak - anak mulai terdengar gaduh di ruang depan. Pasti anak - anak sudah mulai bangun. Nyala api kompor mulai kukecilkan. Campuran nasi dan sedikit irisan sosis di wajan kuaduk - aduk dengan cepat. Aroma wangi nasi goreng memenuhi udara dapur pagi ini. Membangkitkan selera dari perut - perut lapar di sana.

"Aahhh," aku mendesah pelan. Aku sadar, tiga bulan sudah tidak ada aktifitas apapun di tempat ini. Aku menghela napas dalam - dalam, kupenuhi rongga dadaku dengan aroma yang menghangatkan persendian dari tulang - tulangku yang mulai menua.

"Ruwi, kemari Nak."

Salah satu anak perempuanku datang dengan cepat. Kupandangi wajah tirusnya yang mengesankan bahwa si pemilik wajah memang bertubuh kurus. Ruwi masih berusia delapan tahun, namun belum pernah sekalipun Ruwi mengecap bangku pendidikan. Ohh, dadaku kembali terasa sesak jika mengingat hal itu.

"Iyaa, Bu. Apa yang bisa Ruwi kerjakan?"

Aku menunjuk ke arah piring - piring di rak buruk yang tergantung di sudut dapur. "Bantu emak mengisi piring - piring ini yaa. Sebentar lagi kita sarapan, Ruwi pasti sudah lapar bukan?"

Ruwi kecil mengangguk cepat. Tangan - tangan kecilnya sudah terampil mengerjakan hal - hal seperti mengerjakan urusan rumah tangga. Sebab apa daya, Ruwi memang sangat kuandalkan untuk membantuku, apalagi tiga orang adiknya masih sangat kecil.

Sebuah janji aku ucapkan diam - diam sambil memperhatikan tangan kecil Ruwi menuangkan sendok demi sendok sarapan pagi ini ke beberapa piring yang berjejer. "Aaah, maafkan ibu Ruwi. Ibu tidak akan pergi terlalu lama lagi." bisik hatiku dengan sungguh - sungguh.

"Sudah selesai, Nak. Yuk kita bawa ke depan. Alhamdulillah, pagi ini ibu bisa menambahkan potongan sosis lezat ke dalam nasi goreng kesukaan kalian."

Ruwi tersenyum senang. Aku lekas menenteng piring - piring itu dan melangkah ke satu - satunya ruangan di rumah ini yang juga merangkap sebagai kamar tidur.

"Anak - anak, ayooo sarapan." Dev dan Deza berlari ke arahku. Keduanya duduk bersila di atas karpet lusuh hijau tua itu. Si kembar tahun ini sudah berusia lima tahun. Seharusnya mereka juga sudah bisa menikmati bangku taman kanak - kanak. Aaah, ketidakberdayaanku kembali menimbulkan nyeri di ulu hati.

"Makaaan makaaaan." Dev meraih salah satu piring dengan riang. Beberapa potong sosis menyembul dari balik nasi saat dia menyuapnya. Aku bersyukur sebab pagi ini aku masih bisa melengkapi gizi untuk buah hatiku. Lebih tepatnya sebagai pengganjal perut lapar mereka hingga siang nanti.

"Baca doa dulu, Dev." Aku bisa melihat bagaimana wajah Dev langsung berkerut dan tertawa.

"Bismillahirrahmaanirrahiim"

***

Aku meringis, bang Zal belum memberikan isyarat akan mengunjungi kami. Padahal lelaki yang kusebut suami itu telah berjanji akan segera membawa kami dari sini. Membawa kami agar lepas dari penderitaan ini.

Si bungsu Puji meringkuk di dalam gendonganku. Si kecil yang masih belum cerai susu ini sudah berhenti merengek. Entah karena perutnya yang tidak cukup kenyang oleh ASI-ku entah sebab udara malam yang begitu dingin menusuk hingga ke tulang.

Di dekat meja yang kuketahui sudah tidak terpakai itu, ketiga buah hatiku juga mulai tersandar dan terkantuk - kantuk. "Maafkan ibu sayang, kalian pasti kedinginan sekali."

Seingatku ini sudah bulan ketiga kami terkatung - katung tidak jelas. Sementara bang Zal masih belum terlihat tanda - tanda akan segera datang. Angin dari luar membuat kulitku perih, duh Tuhan bilakah deritaku akan berakhir.

Kupastikan Ruwi, Dev dan Deza tertidur pulas. Kututup pintu triplek itu dan menyangkutkan gembok mungil di ujungnya. Kuselimuti jaket usang yang tadinya kupakai ke tubuh Puji yang juga sudah lelap di gendonganku. Kalau bang Zal masih belum menampakkan batang hidungnya, kupikir biarlah aku yang akan menemuinya kali ini.

"Bang Zal, kamu di mana?" Aku mulai gundah sendiri. Puji mulai terasa bergerak - gerak lagi di gendonganku, kemudian tertidur kembali. Mataku tak lepas menatap ke arah warung yang berada di sudut kegelapan jalan raya. Hingga ekor mataku menangkap dengan jelas tubuh bang Zal berada di antara mereka para penikmat dunia.

Kulangkahkan kaki dengan hati - hati. Lalu lalang di jalan raya sudah mulai sepi. Kupastikan hari ini bang Zal akan mengerti dengan apa yang kulakukan, tanpa harus mendaratkan telapak tangannya yang besar ke pipiku lagi.

"Bang Zal."

Yang kupanggil langsung terbelalak. "Ningsih, apa yang kaulakukan di sini, hah?"

Bang Zal langsung berdiri dan meninggalkan kawan - kawannya yang terkekeh menertawakannya. "Ngapain kau ke sini, Ningsih?!!"

Ohhh, bang Zal menarik dan menyeretku meninggalkan tempat bejat itu. Matanya menatapku dengan bengis. Aku tertunduk, dan meredam amarah hatiku.

"Abang tidakmenemui kami. Ini bulan ketiga bang." Kuberanikan untuk menjelaskan keadaan yang ada padanya. Berharap mata hatinya sedikit terbuka.

"PLAAAAKKKK."

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Lagi, tangan besarnya akan menikmati kulit pipiku dengan kasar. "Kau lancang sekali, Ningsih."

"Tapi, Bang."

"Apaaa, apaaa haaah?" Bang Zal menekan leherku dengan jari - jarinya. Mencekikku hingga paru - paruku sesak. Hingga kulit leherku terasa perih. "Bukankah kusuruh kau untuk menunggu, Ningsih. Aku masih harus mendapatkan banyak uang."

"Tapi sampai kapan, bang?"

"Yaaa, sampai suatu waktu. Itu tak perlu kaupikirkan sekarang."

Aku meringis. Hatiku terasa perih sekali. Tiga bulan yang dijanjikan bang Zal, ternyata hanya kebohongan belaka. Kami dibiarkan sengsara di bilik bekas gudang tanpa kejelasan apapun. Bang Zal memilih mendapatkan uang dengan menempuh jalan pintas, dan detik ini juga kuputuskan sendiri jalan terbaik untukku dan anak - anakku.

***

Anak - anak masih menikmati nasi gorengnya. Kulayangkan pandang ke arah wajah - wajah polos mereka. Sebisaku, akan kuusahakan yang terbaik. Seperti Ruwi yang akan kudaftarkan ke sekolah negeri terdekat, juga Dev dan Deza yang akan kumasukkan segera ke TK dekat rumah.

"Ibu akan berangkat kerja yaa Nak. Jangan nakal dan merepotkan kak Ruwi. Nanti ibu akan kembali dengan membawa sosis daging dengan bonus seragam sekolah untuk kalian."

Kukecupi dahi malaikat - malaikat kecilku. Aku bersyukur sekarang masih bisa bertahan demi mereka. Aku harus segera bekerja di sebuah usaha rumahan sosis dan nugget di ujung kampung. Segera kunaikkan Puji ke dalam gendongan dan kulangkahkan kaki menjemput asa.
*** (Rz) ***

Haii sahabat fictionholics, ini adalah cerpen kedua yang kutulis untuk ceritera Agustus sesuai prompt dari @KampungFiksi. Selamat membaca. oleh : @Mitha_AdelSanto

Prompt Ceritera Agustus #12
"Aroma wangi nasi goreng memenuhi udara dapur pagi ini setelah tiga bulan lamanya tidak ada kegiatan apapun di sini. Aku menghirup udara dalam - dalam, memenuhi rongga dadaku dengan aroma yang menghangatkan persendian tulang - tulang yang mulai menua. Sebuah janji aku ucapkan diam - diam, sambil memperhatikan tangan - tangan kecil itu menuangkan sendok demi sendok sarapan pagi ke beberapa piring yang berjejer. Aku tidak akan pergi terlalu lama lagi."


Kamis, 06 Agustus 2015

Ceritera Agustus 7 - Apalah Arti Sebuah Nama, Nak

Dania duduk berselonjor kaki, gadis itu tengah asyik menjamu petang dari teras rumah. Emak sebentar lagi pasti balik, dari siang emaknya bilang akan pergi berbelanja bulanan barang sejam - dua jam ke arah kabupaten.

"Kau tungguilah rumah sebentar, emak harus berbelanja. Banyak stok barang yang sudah habis." begitulah kira - kira yang dikatakan emak Dania sebelum beliau melompat ke atas motor.

Dania masih merangkai lamunan sesaat sebelum seseorang menepuk bahunya dari arah belakang. "Heiiii, melamun lagi?? Lagi lagi kau kedapatan tengah melamun. Tak habis - habis."

Dania meringis. Siapa lagi, suara yang tentunya sangat Dania kenal.

"Tumben kau bertandang sepetang ini, Malika."

Yang diajak bicara memasang tampang lucu. Lantas terkekeh, "Aku prihatin,"

Dania melotot. Malika asyik tergelak. Dania benci diperlakukan seperti itu. Bahkan beberapa tahun terakhir Dania menyadari sensitifitasnya meningkat drastis saat Malika atau siapapun menggodanya.

"Kau selalu memilih melawak dengan lelucon basi seperti itu. Menurutku itu tidaklah lucu."

"Waaah, janganlah kau memasang air muka begitu, seakan hendak menelanku bulat - bulat saja." Malika tergelak lagi. Dania cemberut. Kesal, juga marah. Sebentar lagi senja berlabuh. Dania masih tak beranjak dari duduknya. Memprihatinkan sekali, diejek kawan dan digoda sampai mata terasa perih dan rasanya Dania sangat ingin sekali menangis.

***

"Emak, tak bisakah diganti saja?"

Rengekan Dania kecil membuat emak tersenyum - senyum saja. Sementara bapak ikut tertawa dari ruang tengah.

"Mau diganti dengan yang seperti apa, Nak?" Emak malah menjawab dengan candaan.

"Nak, sini. Duduklah dekat bapak."

Dania ingin menangis, tadi di sekolah teman - teman lelaki terus saja mengejeknya. Bahkan salah satu dari mereka sangat lihai memainkan kata - kata provokasi. Tentu itu sangat tidak menyamankan Dania sama sekali.

"Putri kesayangan bapak ini tentu sangat kuat, bukan?" begitulah cara bapak menenangkan buah hati satu - satunya. Bapak akan mengusap rambut Dania dan menepuk bahunya sekali. "Karena anak bapak tidak lemah, makanya dia wajib untuk berani."

Dania tentu akan segera mengusap sudut matanya yang basah, dan memeluk tubuh bapak dengan tatapan ingin dimengerti.

"Lagi pula, kenapa harus memikirkan ejekan kawan - kawanmu itu, Nak." Emak kemudian menghampiri. "sebab mereka tidak tahu apa - apa makanya berani ngomong sembarangan. Coba kalau mereka mengerti, dan mendengarkan saat emak mengisahkan semua hal tentang kau, dan asal muasal nama itu."

Dania merengut, jika sudah begitu, rasanya malah seperti akan mendengar sebuah dongeng atau kisah legenda saja. Ahh, Dania akan merajuk saja, hingga bapak akan datang dan membujuknya kembali.

***

"Andai aku bisa memilih sendiri, Mak. Mungkin tak akan seperti ini." Dania membuka percakapan dengan emaknya di ruang tengah. Emak sudah pulang selepas azan Maghrib berkumandang.

"Husss, kau akan merengek lagi? Bertahun kita membahas hal yang serupa. Tak bosan - bosan. Dan emak terus memberi penjelasan." emak sedang menjerang air di atas tungku anglo. "Daripada kau sibuk memikirkan perihal itu ke itu juga, ada baiknya bantu emak menyelesaikan semua ini."

Dania menghela napas. Gerah. Hatinya sangat gerah. Emak selalu tegas padanya. Tiba - tiba Dania teringat bapak. Bapak yang akan selalu memenangkannya. Membujuk Dania di saat - saat seperti ini. Lagi, sudut matanya terasa hangat dan basah.

***

"DANIA PUTRI PRIHATINI."

Tahun yang bergejolak. Bergemuruh dan sesak oleh pemberitaan politik yang terus memanas. Demonstrasi di mana - mana. Mahasiswa tidak ada rasa takut sama sekali untuk turun ke jalan dan melakukan demo.

"Waktu itu krisis moneter, presiden yang memegang tampuk kepemimpinan dipaksa turun dari jabatan." jelas emak. Dania tentu telah mendengar kisah itu berkali - kali.

"Lantas Mak?"

Emak merapihkan ujung kerudungnya yang melorot. "Nah itu, akibat dari krisis moneter tentu berimbas kepada seluruh lapisan masyarakat. Begitu juga pada keluarga emak dan bapak. Bapak saja sampai - sampai pernah pulang tanpa membawa duit sepeser, tanpa beras seliter."

Dania menatap emak dalam - dalam. Menjelang usia 50-tahun emak sudah kelihatan tua. Namun kesigapan emak masih tetap tak berubah sejak dahulu.

"Mau makan saja susahnya minta ampun, Nak!! Toko - toko kelontong dan kebutuhan harian semua tutup. Adapun uang di tangan ke mana hendak dibelanjakan. Semua masyarakat takut keluar, bahkan yang punya niatan kotor, memilih menjarah toko - toko demi mendapatkan ganjalan perut."

"Memprihatinkan ya mak."

Dania melotot. Tapi gadis itu berhasil menahan dirinya kali ini. Dania lebih memilih mendengar.

"Iyaaa, betul sekali. Masa itu kehidupan sangat - sangat memprihatinkan. Bahkan emak masih ingat, waktu itu emak tengah hamil tua dan mulai merasakan kesakitan. Dibantu oleh seorang bidan yang cuma dibayar bapak dengan seliter beras, emak bisa melahirkan Dania dengan selamat di tengah gejolak tahun sembilandelapan."

Lawan bicara emak tampak tersenyum. Pipinya terlihat berlesung dalam, saat dia tersenyum begitu. Kali ini Dania sudah sangat tenang.

"Jadi emak selalu bilang pada Dania. Apalah arti sebuah nama. Dania saja yang selama ini sibuk merengek pada emak. Sampai-sampai hendak mengganti nama pula." Emak terkekeh. Dania tahu, mendengar penuturan emak kedua pipinya langsung memanas menahan malu.

"Ah, sampai ada kejadian begitu. Benarkah mak?" emak mengangguk dan tertawa lebar sambil memandang Dania yang menunduk.

"Oyaa, Nak. Siapa tadi nama kau? Emak lupa sudah."

Pemuda itu tersenyum lagi. Dia menatap Dania sebentar dan menjawab pertanyaan emak dengan santai. "AHMAD mak. Nama saya AHMAD JAUHARILUNAS."

***

Hai fictionholics, ini adalah cerpen pertamaku di bulan Agustus ini. Kutulis berdasarkan prompt-7 #CeriteraAgustus dari @KampungFiksi.

Prompt7 :
Apalah Arti Sebuah Nama
Tokoh utamamu memiliki sebuah nama, nama yang unik dengan arti tertentu, atau nama yang biasa saja tetapi ada sejarah panjang di balik nama itu. Tulis kisah tentang nama itu dan apabila tokoh utamamu diberikan pilihan untuk menentukan namanya sendiri, nama seperti apa yang akan dipilihnya. Mulai atau akhiri tulisanmu dengan kalimat "Apalah Arti Sebuah Nama"

***

Oleh @Mitha_AdelSanto 🍁🍁🍁

Selasa, 04 Agustus 2015

#FFRabu - Perempuan Telaga yang Rindu Pulang

Air telaga tampak jauh lebih surut. Kali ini aku sekadar duduk menikmati keindahan petang. Angin musim kemarau berembus perlahan, menyibak kerinduanku akan rumah. Terbersit di benakku keinginan untuk pulang dan melepas rindu dengan suamiku.

"Waaaaa... Mama, lihat ini mamaa..." teriakan Nathan memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Putraku memperlihatkan kail di tangkai pancingnya. Seekor ikan kecil menggelepar lemah saat diangkat ke udara.

"Wahh, hebat sayang." Kudekati Nathan dan membantunya melepas mata kail.

"Kita lepas kembali ya Ma. Kasihan."

Aku hanya mengangguk, mataku berkaca - kaca. Setahun sudah sejak Mas Hazel pergi, sejak itu pula aku sendirian membesarkan Nathan di telaga ini.
***

Words : 100 kata
#FFRabu "Perempuan Telaga yang Rindu Pulang"

Oleh @Mitha_AdelSanto