Rabu, 30 September 2015

#FFRabu - Kolam Air Mata




Ibu mencoba meraih tubuhku.

Aku sangat takut. Bahkan ketakutan itu membuat darahku berdesir-desir. Aku mencoba bertahan,

tubuhku bergetar hebat. Bukan karena kedinginan, namun karena menahan hantaman gemuruh yang 

menyeretku jauh dari tepian.



“Bu, aku tidak sanggup...” rengekku

“Bertahan, Aini. Bertahanlah, nak!”

Ibu meraihku lagi.

Meleset!

Ibu terlihat tak mampu menahan  badannya, arus air membuat gerak ibu semakin lamban, sementara 

tubuhku sendiri sudah terasa berat.

“Jangan lepaskan aku, bu.” Kali ini air mataku tak sekadar bergayut di pelupuk mata.

“Jangan menangis, Aini.”

Pegangan ibu merenggang, kami berdua hanyut, sementara riak-riak kolam air mata ini semakin

lama semakin menenggelamkan harapanku, juga ibu.


*** 


words : 100 (pas)

#FFRabu - Kolam Air Mata

Tulisanku di penghujung September ini kusetor untuk# FFRabu di @MondayFF

oleh : Ramita Zurnia (id twitter: @Mitha_AdelSanto)

Kamis, 24 September 2015

#FragmenKemarau - Luka


"Kamu harus bisa menerima semua itu, Zai. Yang terpenting sekarang adalah masa depanmu bersama anak–anak."

Ingatan Zaida kembali mengantarnya pada kenangan itu. Kenangan yang pada dasarnya hanya membuat hatinya teriris. Merobek luka lama yang sudah pasti semakin berdarah–darah.

Hatinya terenyuh lagikah?
Zaida menatap petang sedikit lebih lama dari biasanya. Angin musim kemarau berembus lembut mengusir hawa panas yang terus membuat otaknya gerah.

"Zaida, kau bisa menungguku sedikit lebih lama bukan? Tidak terlalu lama, hanya sedi....kit lebih la....ma dari kepergianku biasanya."

***

Malam itu udara terasa begitu memuakkan. Tetes peluh sudah meminta dibasuh. Pasti menyenangkan sekali jika bisa diguyur air sejuk dari pancuran di belakang rumah, sekaligus mengguyur kepedihan yang hanya membuat sesak.

Tetapi tidak, malam ini Zaida rela bermandi keringat, setelah menuntaskan kewajibannya saat Baskoro menariknya gemas hingga mereka menyatu berulang–ulang.

"Aku selalu saja merindukanmu, Zai."

Ahhh, merindukannya?
Perempuan itu tidak lantas menyahut. Baskoro mengulurkan tangan, merengkuh segala kegundahan yang sudah bisa dipastikan telah membelit hati istrinya.

"Kau akan pergi?"

"Ya, Zai."

"Kapan?"

"Secepatnya. Maksudku, besok."

"Besok????" Zaida bisa merasakan bagaimana ulu hatinya seperti diremas–remas hingga hancur tak berbentuk. Melihat anggukan Baskoro, bibir Zaida seakan terkunci rapat.

Ohhh.
Zaida menepis rasa dongkol sekaligus kekecewaan di hatinya. Membantah dan berdebat, hanya akan menunjukkan sisi lemahnya saja. Sementara tangisnya sekalipun tidak akan menyurutkan niat Baskoro.

"Zai, sayangku. Ayolah, jangan jadikan malam terakhir kita rusak hanya sebab perasaanmu. Aku ingin berlama–lama menikmati madumu dan tenggelam dalam keindahan. Jangan rusak apa yang sudah menjadi hakku."

Zaida hanya bisa menelan rasa pahit, sementara Baskoro benar–benar berpuas diri mereguk apa yang dikatakannya sebagai haknya. Entah sudah ke berapa kali Baskoro melambungkan rindu ke awang–awang, sementara pikiran Zaida terus saja menerawang.

Bukan, tidak, tidak!
Bukan begini seharusnya. Sebagai istri, aku ingin menyampaikan keinginanku, bukan lantas menerima apapun yang sudah diputuskan. Seharusnya kau mengajakku berembuk, Baskoro! Bukan mendesakku menerima keputusanmu!

Zaida meringis. Batinnya menangis. Sementara tubuh suaminya telah terkulai lemas di sisinya. Nyenyak sudah dalam dengkuran–dengkuran yang terdengar memuakkan.

***

Elia merengek dari ayunan kainnya. Zaida datang tergopoh, lantas meraih tubuh putri kandungnya.

"iyaaa, ibu di sini, sayang. Ibu bersamamu, Elia."

Dikecupnya dahi dan kedua pipi gadis kecilnya itu berkali–kali. Elia mulai merengek kembali. Sudah pasti bayinya itu kehausan.

Zaida duduk di bangku kayu yang berada di sisi jendela. Menyusui Elia sembari menatap kuntum–kuntum bunga dahlia terlihat pucat di ranting kemarau yang sebulan terakhir membakar semesta. Zaida membiarkan angan–angan membawa dirinya ikut berguguran bersama kembang–kembang jambu yang luruh tertiup angin.

Aahhhh
Zaida tak ingin terbawa suasana. Beberapa detik, ada yang mampir di benaknya, menusuk–nusuk ingatan yang membuat dadanya bergejolak.

Ini sudah tahun ketiga. Musim kemarau tahun ini terasa begitu parah. Separah pemberitaan yang dikabarkan oleh media massa, seperti musibah kemarau dan kekeringan, belum lagi musibah kabut asap yang merajalela di Sumatera dan Kalimantan sana.

Zaida menarik napas dalam–dalam, lantas mengembuskannya kembali ke udara. Elia kecil sudah kembali nyaman di pangkuannya. Bahkan Elia mulai melepaskan hisapan dari puting Zaida.

Tahun ketiga.
Kegundahan yang sama masih membelenggunya. Zaida hanya tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Bukan karena dia tidak ingin melepaskan diri, hanya saja dia selalu mencoba menerima takdir. Ya, takdir

Seperti lirik lagu dangdut yang dijeritkan oleh radio tetangga. Bukan tentang bang Toyib yang tak pulang–pulang, melainkan tentang suaminya. Yaa, Baskoro belum menunjukkan batang hidungnya. Semenjak percumbuan terakhir mereka di malam itu, kemesraan yang ternyata membuahkan seorang anak yang harus dikandungnya sendiri selama sembilan bulan.

"Zai, kau bisa menikah lagi."

"Aku tidak berminat menikah lagi, mak."

"Kau masih muda, tak perlu menunggu Baskoro kembali, toh sejak dia pergi mengabarimu saja dia tidak pernah, Zai."

"Takdirku, mak. Biarlah." Zaida akan memeluk tubuhnya sendiri. Menahan genangan di matanya dan membendungnya beberapa detik sebelum akhirnya semua luruh juga di pipinya.

***

Teruntukmu,
Yang terkasih,

Kemarau tahun ini, Zaida.
embus angin terdengar menghempas–hempas. Kepahitan demi kepahitan mencambuk diriku. Musim berlalu berkecamuk, semua terasa menyakiti diriku, hatiku.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku masih saja berkutat dengan helai–helai kenangan bisu. Yang terus saja menghadirkanmu, rupamu, dirimu, dan dirimu.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku masih tak bisa mengubah takdir. Meninggalkanmu, ternyata adalah kesalahan terbesar yang pernah kuputuskan, Zai.

Kemarau tahun ini, Zaida
Angin terasa begitu dingin. Belulang terasa meremuk saja. Mungkin, alampun tahu bahwa aku sendiri tak lagi mendapatiku ruhku berada di dalam ragaku.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku pergi, darimu selamanya.
Aku pergi, tanpa bisa mencoba tuk menemukan jalan pulang, hingga aku memilih mengakhirinya. Maafkan aku.

"Baskoro, suamimu"

***

Words : 740

#FragmenKemarau - "Luka"
Sepertinya, fiksiku kali ini sedikit sendu. Sengaja kutulis untuk menjawab tantangan Mimin @KampusFiksi. Namun, sedikit terlambat, ada beberapa kendala di dunia nyata yang membuatku harus gigit jari, ehh terlambat untuk posting di blog.
But, its okay. Tulisan yang sudah jadi sayang untuk dibiarkan. Jadi, tetep kuposting.
So, Selamat membaca. :))

Ramita Zurnia (twitter: @Mitha_AdelSanto)


Minggu, 13 September 2015

#Nymphomaniac - Maura, Kekasihku Tersayang

Dia hanya memperhatikan wanita itu. Melahap sinar mata memelas, yang meremas hasrat kelelakiannya.

Tidak!
Bagas menahan diri. Bagas akan terus mencoba untuk mengendalikan diri. Kali ini dia telah berjanji untuk tidak menyambut ajakan yang sebenarnya sangat menggoda imannya.

"Bertahanlah, Maura." desahnya tanpa mencoba mendekati tubuh gadisnya itu.

Maura meliuk, angin malam menampar kerampingan sekujur kulitnya. Sesekali dia mencoba membuang keinginannya, namun hasrat tubuhnya yang rentan, membuatnya seakan menggelepar tak nyaman.

"Bagas, kau ingin menyiksaku kali ini?"

"Bertahanlah, Maura. Aku yakin kau bisa melawannya!"

Perih. Nyeri.
Maura membuang pandangannya. Malam ini terasa begitu panas, tubuhnya bergetar, seirama dengan debar tak menentu di dadanya. Malam membekapnya. Membekap keliaran yang selalu tidak bisa dikungkungnya.

"Aku gerah, Bagas. Udara malam ini terasa begitu panas."

Rengekan Maura ingin disambut Bagas dengan pagutan lembut di bibir. Atau pelukan erat saat tubuh mereka menyatu, yang akan membuat napas keduanya sesak.

Bagas menggeliat. Maura benar-benar tersiksa sendiri. Gadisnya yang terkasih, memiliki tingkatan hasrat yang jauh lebih tinggi di atasnya.

Maura mulai meringis. Bagas selalu kehabisan akal, seperti malam-malam sebelumnya, sebab saat pertahanannya bobol, Bagas tahu bahwa dirinya akan lumat selumat-lumatnya dalam cengkraman Maura.

"Bagas, tidak bisakah - "

"Bertahan, Maura. Aku tidak ingin menyakitimu."

"Menyakitiku? Maksudmu lebih baik aku seperti ini?" Maura mulai meradang. Penolakan lagikah ini? Terkadang Maura berpikir seliar imajinasinya, mengapa sulit sekali bagi Bagas untuk menerima keinginannya.

"Bukan begitu, sayang."
Bagas sangat terenyuh. Setiap kali gulita menghampiri, Maura akan merintih seperti ini. Mengajaknya kembali melayari kesyahduan, mengulangi beberapa kecupan hingga pagi datang.

"Mungkin sebaiknya aku membiarkan tubuhku dimangsa kebejatan lelaki mana saja, bukankah aku juga menginginkan semua kenikmatan itu, dan - "

Bagas terperanjat. Darahnya berdesir sangat cepat. Dihampirinya Maura tersayang, Maura-nya yang malang. Dikecupnya kelopak mata Maura. Air mata menetes di kedua sudutnya.

"Tidak, sayang! Hentikan segala kekonyolanmu itu. Jangan kaujadikan dirimu mangsa keliaran yang bergejolak dalam darahmu. Maura, sudah berapa kali kukatakan. Aku mencintaimu."

Maura terisak, Maura mengutuk dirinya sendiri. Malam selalu menjadikannya berkeringat.

***

"Hanya untuk kali ini, Bagas. Tolonglah."

Maura menggeser tubuhnya seinchi lebih rapat. Beberapa kali sudah trik Bagas selalu lumpuh di tangannya.

"Maura, semalam kau sudah berjanji."

"Itu janjimu, bukan aku!"

"Heiiii, janji kita, sayang." Bagas sampai harus melotot akibat mendengar celotehan Maura.

Maura tergelak. Begitulah. Beberapa kali keinginannya tak bisa dibendungnya. Bahkan sepagi ini, keinginan itu terasa meluap-luap.

Gila.
Maura harus menekan harapnya dalam - dalam. Merasakan bibir Bagas mengembuskan napas dan menyentuh cuping hidungnya saja dia telah menggelepar pasrah.

Bagas mengecupnya. Benar-benar mengecupnya. Maura mencoba membuka bibir, namun detik itu juga kecupan itu berakhir.

Aah, kecewa. Maura kecewa sekali. Bagas terkekeh membaca ekspresi masam di wajah kekasihnya itu.

"Ayo bangun! Setelah itu mandi, dan kita sarapan."

"Tetapi sayang, kita bisa - "

"Tidak Maura. Tidak untuk kali ini." Bagas mencubit lembut pipi Maura. Sebenarnya ajakan Maura memang sangat diinginkannya. Apalagi ketika cipratan air mengenai kulit mereka.

Aaah.
Bagas tergoda. Namun tidak untuk pagi ini. Maura sedikit cemberut saat meraih handuk dan berlari ke kamar mandi.

"Sayang, aku menunggu di ruang makan yaaa."

Bagas sedikit bimbang. Ada beberapa hal yang harus dikatakannya pagi ini. Maura pasti akan meradang saat mendengarnya. Sebab untuk beberapa hal, Maura memang harus siap menerimanya.

Entahlah. Perasaan Bagas semakin tidak enak. Nanti sore dia harus berangkat keluar kota. Beberapa urusan pekerjaan telah menunggunya. Untuk beberapa minggu ke depan, dan Maura, bagaimana dengan gadisnya itu.

Bahkan sepagi ini, Maura seakan ingin mengajaknya bergumul. Kembali mengulangi keintiman yang semalaman suntuk telah mereka layari.

***

Words : 568
Baiklaaaah..
Sedikit vulgar, aaah demi kampus fiksi, Akhirnya aku mencoba melepaskan diri dari ketidak-biasaanku menulis hal seperti ini. 568 kata untuk tema #Nymphomaniac.
Oleh : Ramita Zurnia (id twitter: @Mitha_AdelSanto)





Rabu, 09 September 2015

#FFku - Karma

PLAKKK..

Perempuan itu tak bergeming.
Gambar telapak tangan mulai membiru di area pipi hingga pelipisnya. Renato mengumpat lagi. Mengutuk, dan menyumpah - nyumpah. Perempuan itu tetap berdiri, tidak meringis, tidak merengek sedikitpun.

Renato meneriakinya lagi dengan kata - kata tidak enak didengar. Entah kali keberapa, lelaki itu menempelengnya lagi hingga tubuhnya terasa goyah. Deana tertunduk, dan masih menikmati rasa perih yang bertahan di wajahnya.

"Kau pergilah, Deana, pergilah!!!"

Deana menatap wajah Renato dalam - dalam. Renato membuang muka dan mengepal kedua tangannya. Sebenarnya Deana sangat ingin membalas perlakuan ini, Deana selalu paham bahwa ini sudah sangat tidak adil baginya, tetapi dia selalu tidak ingin mengotori tangannya hanya untuk melampiaskan dendam.

"Kenapa kau ingin aku pergi, Renato? Kau bisa mencabut nyawaku, jika perlu."

Renato tidak menjawab. Beberapa kali dia pulang dalam keadaan mabuk, beberapa kali pula dia pulang dengan memeluk beberapa perempuan sundal ke rumah. Jika sudah kalah judi, dia akan melampiaskannya dengan menenggak berbotol - botol bir oplosan, lalu pulang terhuyung - huyung, dan melampiaskannya lagi pada tubuh ringkih yang tidak pernah sekalipun dia beri perhatian.

"Akhiri semuanya sekarang, Renato!" Suara Deana memang terdengar bergetar. Renato memaksa bola matanya memperhatikan Deana sejenak, tubuh perempuan itu semakin kurus saja. Hanya bagian perutnya yang terlihat sedikit membulat. Bahkan Renato sendiri tidak tahu berapa bulan sudah darah dagingnya bertahan di sana.

"Pergilaaaah, Deana. Pergi."

Deana tidak beranjak, apapun yang terjadi, terjadilah. Deana hanya ingin di sisi Renato, paling tidak hingga bayinya lahir. Jika tidak, maka biarlah semua berakhir. Toh, selama ini Deana merasa dirinya sudah tidak diinginkan lagi. Bahkan untuk pulang ke rumah orang tuanya saja, Deana juga sudah tidak sanggup.

Dia yang memutuskan untuk pergi dan memilih hidup dengan laki - laki ini. Dia juga yang mati - matian membela saat bapak mengamuk d ab menuding laki - laki brengsek ini. Dan dia juga yang mengancam ibu saat laki - laki ini diusir pergi setelah membuat masalah di rumahnya dulu.

Yaaa, laki - laki ini. Yang setengah mati diperjuangkan dan dicintainya. Laki - laki yang sama, yang akhirnya mencampakkannya begitu saja. Mungkinkah ini karma?

***

Words : 342
#FFku - Karma
Oleh : Ramita Zurnia (id twitter : @Mitha_AdelSanto)

Selasa, 08 September 2015

#FFRabu - Aku Bukan Film Komedi

"Hahahahaaa."
Suara tawa mereka terdengar menggema oleh dinding - dinding menjulang bioskop. Adegan lucu yang menurutku sangat memuakkan dan mereka semua terkekeh menyaksikannya. Aku gerah. Film komedi yang sedang diputar benar - benar telah mengocok perut mereka.

"Sim Salabim, Abrakadabra."

Kubisik mantra itu perlahan, sambil tak lupa mengayunkan tongkat sihir ke arah mereka. Diam - diam, aku nyaris menahan napas dari kursi paling belakang.

Wuuusssss,
Tawa mereka lenyap.
Mendadak kesunyian mengurung keriangan mereka.
Mantraku bekerja.

Aku keluar dari persembunyianku, duduk dengan tenang di bangku penonton, memangku sekantung popcorn.
Sesekali aku tertawa, mereka melolong dari dalam layar sana.

"Hahaaaa, kita impas!"

***

Words : 100 pas
#FFRabu - "AKU BUKAN FILM KOMEDI"
#FFRabu di @Mondayff kali ini bertemakan "Film". Selamat membaca.
Oleh : Ramita Zurnia (id twitter: @Mitha_AdelSanto)

Sabtu, 05 September 2015

#Fiksiku - Badai di Bawah Senja

Lelaki itu tetap berdiri. Bayang - bayangnya memanjang oleh lembayung petang. Semilir angin, deru beberapa truk memecah kesunyian, dan sepertinya dia nyaman menyender di salah satu batang pohon ketapang tua yang berdaun rindang.

Aku tak ingin pergi, Miya. Aku terlanjur memilihmu.

Lelaki itu menahan napas beberapa detik. Melonggarkan paru - paru, dan menimbun oksigen kembali. Beberapa ekor murai asyik bertengger di dahan, cericitnya terdengar merdu, menambah kesyahduan petang.

Aaaahhh.
Lelaki itu teramat risau. Kebimbangan hatinya tergambar jelas dari ekspresi wajah. Seandainya Miya mencoba memahami, atau memilih memberi kesempatan sekali lagi. Mungkin kegundahan ini akan sirna dan terhempas disapu angin, tanpa sisa!

Senja semakin melabuhkan diri, beberapa petani telah memanggul pacul dan menggiring hewan ternaknya menuju rumah masing - masing. Lelaki itu menyempatkan diri untuk melempar senyum dan membalas sapaan mereka.

Aaaah, Miya.
Begitu dalam keinginanku untuk meminangmu. Membentuk rumah tangga impian bersama, dan menjadikanmu ibu bagi anak - anakku kelak.

Lelaki itu menunduk sejenak, menahan luapan luka yang tidak sanggup dibendungnya. Bahkan beberapa bulir air mata terlihat tumpah ruah.

"Serkan, kau paham betul apa mauku. Lupakan aku, lupakan mulai detik ini juga!"

"Apa maksudmu, Miya?"

"Kau tentu tahu maksudku."

Miya lantas berbalik dan berlari menjauhinya. Sungguh tega. Bahkan gadis itu tidak lagi menoleh ke arahnya. Jangankan untuk mendengarkan penjelasan, bahkan gadisnya itu tak lagi ingin berlama - lama menatapnya seperti dulu.

Tidak, bukan lagi tatapan sayang.
Tak ada lagi sentuhan mesra.
Benci. Kebencian. Hanya kebencian.

Serkan. Yaaa, semenjak lahir ibu memberikan nama Serkan padanya. Nama yang baik, namun tidak diikuti oleh nasib baik. Serkan ingin menangis sepuas - puasnya. Menumpahkan kesakitan itu sejadi - jadinya. Namun hatinya tetap saja berdarah, meski sekalipun punggung tangannya telah memar menghantam pokok batang ketapang.

"Bang Serkan, Bang, Abang. Bagaimana bisa Abang berada di sini. Lekas pulang Bang!" Teriakan panik seorang bocah membuyarkan renungannya. Bahkan Serkan sendiri baru menyadari bahwa gelap mulai beranjak turun menjemput malam.

"Faisal, ada apa ini?" Serkan terikut panik.

"Kak Miya, Bang. Kak Miya...Aaaah, sebaiknya Abang ikut aku saja. Ayuuuk!"

Mendengar nama Miya, Serkan lantas menghambur. Dengan setengah berlari Serkan langsung mengikuti langkah kaki Faisal.

Miya! Miya! Miya!
Serkan panik. Sebetulnya dia ingin tahu apa yang sedang terjadi, namun bocah itu tidak punya waktu untuk memberi penjelasan.

"Ayuuuk, Bang Serkan. Cepaaat...!!!"

Serkan mulai terbatuk - batuk. Sudah lama sekali rasanya dia tak pernah lagi berolah raga. Berlari sedikit saja jantungnya serasa mau copot saja. Dari kejauhan Serkan bisa menangkap dengan jelas sosok Miya.

Yaaa Tuhaaan!
Serkan mulai merasakan ketidakberdayaan membelenggunya. Langkahnya perlahan melambat. Dia sungguh tidak tahan lagi, situasi ini membuat hatinya berdesir aneh. Sangat aneh.

"Miyaaa, apa yang kaulakukan?"
Serkan berhasil mencapai halaman rumahnya. Nafasnya sedikit terengah - engah. Mendengar seruan pertanyaan itu tentunya Miya menoleh sekaligus berkacak pinggang. Wajahnya yang rupawan terlihat memerah menahan gejolak amarah.

"Aku kembali, Serkan!"

"Apa maksudmu dengan kata kembali?" Serkan melontarkan pertanyaan dengan santai. Dia berhasil menenangkan diri.

"Kembali, Serkan. Aku kembali padamu. Sayang, aku mengandung anakmu!"

Praaang!
Sebentuk hati yang tulus dan setia terpecah berkeping - keping. Serkan memejamkan matanya. Menghela napas berat, beserta menahan ngilu di ulu hati yang timbul akibat mendengar pernyataan Miya.

Miya kembali. Serkan seharusnya menyukai hal ini. Namun badai bergemuruh di sisi lain. Serkan paham betul akan kesalahan ini. Serkan bahkan paham betul dengan kelancangan ini. Serkan terduduk di tanah. Kedua kakinya melemas.

Miya kembali.
Miya mengandung anaknya.

Serkan tidak senang mendengarnya. Sungguh untuk kali ini lelaki itu benar - benar membenci ungkapan hati Miya. Serkan terus mengutuk diri sendiri. Di depan pintu rumah, istrinya terdiam sambil menggendong tubuh bayi Fatimah erat di dadanya dengan air mata bersimbah di dua pipinya. Sementara Miya, gadis pujaannya mematung menunggu pertanggung-jawaban darinya.

*** rz ***

#Fiksiku - "Badai di Bawah Senja"

Yeaaay, :)) :* :*
Menyenangkan sekali, untuk kali ini inspirasi muncul dari langit. Serkan, Serkan, Serkan. Kautimbulkan badai di bawah senja. Kaupaksa keindahan lembayung sirna. :'(
Tengkiyuuuw udah nyempetin baca, gaes. :*
Oleh : Ramita Zurnia
(id twitter: @Mitha_AdelSanto)



Jumat, 04 September 2015

#FFku - Kegundahan Bang Dika dan Permintaanku

Aku paham betul, melihat air mukanya yang kusut begitu, aku tahu Bang Dika sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Sesuatu yang bisa saja sangat rahasia. Mungkin juga sesuatu yang aku sendiri sebagai istrinya tidak boleh tahu.
Tetapi rahasia apa?
Entahlah, aku bingung!
Aku bahkan menahan keinginanku untuk mencari tahu. Padahal sebenarnya aku sudah penasaran setengah mati.

"Bang, ada apa?"

Tidak seperti biasanya, Bang Dika tak pernah tidur memunggungiku. Namun malam ini, desah napasnya terdengar berat. Mungkinkah suamiku tengah menanggung beban berat? Tubuhnya tetap meringkuk seperti bayi yang kedinginan. Aku memeluknya, mencoba mencari tahu keresahan yang ditanggungnya.

"Ceritalah, Bang. Dena akan mendengarkan, kali ini tanpa membantah, Bang." Aku mendesaknya. Kulonggarkan pelukanku di tubuhnya, dan kuraih wajahnya agar tepat berada di dekatku. "Ceritalah, Sayang. Bagilah kesusahan hati Abang dengan Dena."

Aku tahu Bang Dika belum tidur. Dengan jarak sedekat ini aku ingin keintiman memagut kami. Bukan ketidak - nyamanan seperti ini. Aku mengusap pipinya pelan. Kulit di sekitar rahangnya mulai terasa kasar, kupastikan cambangnya telah tumbuh lebih panjang.

"Tidurlah, Dena sayang."

"Baaang..."

"Dena, tidurlah."

"Abang ceritalah, ayoooo..." Aku mendesaknya lagi. Bang Dika membuka matanya. Dia memandang wajahku. Kucoba menemukan sesuatu yang tersirat dari pandangannya.

"Bener Dena mau tahu?" Aku mengangguk cepat. Aku memang sudah menunggu - nunggu penjelasannya. "Baiklah. Dena ingat besok hari apa?"

"Sabtu, Bang. Terus?"

"Dena tahu besok itu tanggal berapa?"

"Yaa tahulah, Bang. Besok tanggal tiga, dan Abang juga pasti ndak lupa juga bukan. Besok itu ulang tahun Dena ke duapuluhtujuh."

"Nah, itu." Aku mengernyitkan jidat. Di bawah temaram lampu kamar aku sangat kebingungan. Bang Dika menatapku lagi.

"Maksudnya?"

"Dena sayang, Abang belum bisa membelikan kado untuk Dena. Uang tabungan kita saja selalu terpakai untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari. Abang minta maaf."

Deg.
Hatiku mendadak bergemuruh. Duuh Dena, semua gara - gara permintaan tidak jelas beberapa hari yang lalu. Aku benar - benar menyesal. Kupeluk lagi tubuh Bang Dika. Kuciptakan rasa nyaman untuknya. Aku ingat betapa permintaanku telah membuat kegundahan yang nyaris menimbulkan masalah. Aku tersenyum - senyum sendiri. Beberapa hari yang lalu, mulut comelku telah membuat masalah besar. Ohhh Dena.

"Bang, andai saja bisa, pada ulang tahun Dena kali ini, Dena ingin sekali mendapatkan kado istimewa. Semisal paketan perhiasan berlian, dan beberapa kalung emas."

***

Words : 367
Flash Fiction : "Kegundahan Bang Dika dan Permintaanku"
Yeaaay, thanks for reading.
Heheee, tengkiyuuuw sudah membaca yaa fictionholics. :* Sekedar penyegaran, menulis di malam hari ternyata lebih afdol. Beberapa ide langsung nongol dan langsung disikat deh. Sikaaaattt.. =D
Oleh : Ramita Zurnia
Id twitter : @Mitha_AdelSanto

FlashFiction - Demi Sepasang Kaki

"Diamlah, aku tak butuh ceramah! Aku muak mendengarnya!!"

Parau suara penuh penolakan terlontar dari mulut Puspa. Perempuan itu memilih asyik merapihkan ujung rok-nya yang tampak kusut dan berlipat - lipat. Wajahnya terlihat lelah, namun dia tetap menimpakan make - up menor di wajah dan gincu merah menyala di kelopak bibirnya.

"Kapan kau akan sadar, Puspa!"

"Abang tidak usah mengeluh lagi, waktuku tidak banyak. Abang bisa bertenang di rumah." Puspa menyisir rambut tebalnya, dan menyemprotkan cairan parfum ke sekujur badan. Aroma parfum murahan yang dibelinya di pasar menguar di udara, menyempitkan paru - paru siapa saja yang menghirupnya.

Puspa melangkah keluar dari bilik tersebut. Melengos pergi tanpa menatap wajah suaminya. Puspa terseok, sepatu bertali dengan heel hingga sejengkal menahan kecepatan langkah kakinya. Puspa berusaha menahan genangan di kedua matanya. Kesakitan yang terus dia sembunyikan. Ketidak-berdayaan yang selama ini dia tutupi dari suaminya.

Puspa menoleh ke belakang. Suaminya masih termangu di depan pintu. Beberapa bulan terakhir, tanggung jawab itu telah berpindah padanya. Beban hidup keluarga sudah harus berada di pundaknya.

Puspa menahan isakan. Dia harus bekerja. Paling tidak, malam ini dia akan pulang membawa beberapa helai rupiah. Mereka - mereka yang royal dan berbaik hati, akan membayarnya sesuai tarif yang telah disepakati.

Puspa hanya mencoba berdiri di atas kakinya sendiri. Dan entah sampai kapan dia akan berhenti menjajakan diri.
Mungkin, ketidak - nyamanan itu akan berlangsung hingga sepasang kaki mampu dia beli.
Sepasang kaki, untuk suaminya yang sangat dia cintai.

***
Words : 239
Flash fictionku - "Demi Sepasang Kaki"
04 September 2015. =)
@Mitha_AdelSanto

Kamis, 03 September 2015

#Fiksiku - Aninda

Aninda terpelanting.
Udara malam membuat kulitnya terasa perih. Hawa dingin tiada henti menusuk - nusuk hingga ke tulang.

"Owww,"

Rasa sakit di pergelangan kaki membuat Aninda segera tersadar. Oooh. Aninda menyumpal mulutnya sendiri. Bukankah ini adalah taman di belakang rumah. Aninda mengucek matanya berkali - kali, memastikan semua yang terpampang di depan matanya bukan mimpi.

"Owww." Aninda kembali meringis. Trik mencubit kulit sendiri membuatnya sangat yakin sekali. Dirinya memang berada di antara pohon palm di belakang rumah. Tak habis pikir dengan apa yang terjadi, Aninda memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

"Sepertinya aku mengigau, dan berjalan di dalam tidurku." Seperti itulah hal yang terlintas sejenak di benak Aninda malam ini. Aninda hanya ingin tidur dan menebus waktu istirahatnya hingga esok pagi.

"Kamu yakin bahwa itu tidak ada kaitannya dengan hal mistis, Anin?" Suara Kinaya terdengar bergetar. Kinaya menyadari betul bahwa bulu kuduknya berdiri.

Aninda menggeleng. Beberapa potong roti terasa nikmat di mulutnya. Sarapan selalu menjadi suatu kewajiban bagi Anin. Kalau tidak, maka maag-nya akan kembali berkunjung dan kambuh tiada henti.

"Nggak, Nay. Aku hanya kelelahan. Pasti karena itu makanya aku sampai berjalan dalam tidurku. Udah, ah. Jangan mikir yang aneh - aneh deh, Nay. Pleaseee."

Kinaya masih bergidik ngeri. Sebab bisa saja hal yang dicemaskannya itu memang benar - benar dialami oleh sahabatnya. "Tetapi, Aninda, ini sudah kali ketiga -- "

Belum selesai Kinaya menuturkan maksudnya, Aninda telah buru - buru memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya. Kinaya kesal, kali ini, lagi - lagi Aninda tidak mau mendengarkannya.

"Sarapan aja, Nay. Jangan aneh - aneh deh."

***

Kraaaaaakkkk...

Aninda terperanjat. Dia yang tengah asyik menekuri pekerjaannya, langsung terkaget - kaget. Hawa malam ini memang terasa lebih dingin. Aninda mengakui dirinya sangat penasaran dengan asal datangnya suara berderak barusan.

Aninda menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan. Lampu kamarnya mulai berkedip tidak jelas. Entah memang akibat suasana malam yang berangin, namun ekor mata Aninda dengan jelas menangkap daun jendela kamarnya tersingkap dengan tirai vitrase yang dikuakkan angin.

"Lhoo, sepertinya jendela ini sudah kukunci rapat sejak sore tadi. Apa mungkin --"

Aaaah, Aninda menepis prasangka buruk yang hinggap di pikirannya. Aninda menguap lagi. Rasa kantuk membuatnya semakin tidak fokus. Beberapa berkas terlihat masih berserakan menunggunya. Aninda tidak ingin memaksakan diri. Tubuhnya butuh istirahat, pastinya dia tidak ingin tubuhnya memberontak dan jatuh sakit.

Praaaaanggggg...

Aninda baru saja hendak merebahkan tubuh di kasur. Kali ini telinganya menangkap suara pecahan kaca. Dia langsung menghambur, Aninda mulai merasakan keringat dingin bergelayut di tubuhnya. Membuat dia merasa tak nyaman.

Siaaaalllll.. Ada apalagi ini.
Aninda mulai muak saat matanya mendapati pecahan kaca yang berceceran di lantai kamar. Napasnya mulai terdengar tidak beraturan. Dia berjinjit, tentunya Aninda tidak ingin pecahan kaca itu menembus kulit kakinya.

Oohhhh.. Aninda berusaha menahan jeritan. Cermin besar di meja riasnya. Aninda bisa melihat dengan jelas. Beberapa bagian cermin terlihat retak, dan sisanya berderai di lantai.

"BERSIAPLAH ANINDA. AKU AKAN MENCABUT NYAWAMU!!!"

Aninda terhenyak, tulisan bertintakan darah menuliskan namanya di cermin itu. Serupa pembalasan untuk sesuatu. Tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya mendadak pucat pasi. Selintas, dia mulai menggali sisa - sisa ingatan. Beberapa orang terlihat panik dan berlarian, sementara Aninda, dia semakin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan seonggok tubuh berlumuran darah di pinggir jalan.

Aninda meraung. Menjerit kuat.
Mungkinkah kematian sudah di depan mata?

*** (rz) ***

Baiklah, entah mengapa aku kembali mencoba menulis fiksi horror. Mungkin, tidak menyeramkan, tidak menggugah iman dengan rasa takut. Tetapi, aku telah menulisnya sobat. Kutuntaskan dengan sekali duduk dan hasilnya memang seperti ini. =D

Oleh : @Mitha_Adelsanto


#FFHorror - Pembalasan Dari Masa Lalu

"Arinda, pergi Nak! Pergiii!!"

Jeritan Emak membuat Arinda ketakutan. Arinda tidak sanggup melangkahkan kedua kakinya, sementara lolongan kesakitan Emak jelas - jelas mencabik perasaan siapa saja yang mendengarnya.

"Emaaaaakkkk..." Arinda ingin menjerit sekuat tenaga, menghambur ke arah Emak, dan menarik tubuh Emak dari tempat terkutuk itu. Namun tidak pada kenyataannya. Arinda menutup mulutnya rapat - rapat. Mengunci setiap kata dan menelannya bulat - bulat.

Rembulan sudah terkurung kabut hitam. Gelap. Arinda meringkuk di balik salah satu pohon besar. Tidak tahu hendak melangkah ke mana. Arinda hanya ingin kembali ke gubuk tadi, menerobos semak hutan, dan mencoba menyelamatkan Emak.

"Emaaaakkk..."

Arinda terisak.
Malam telah membekap seluruh keberaniannya. Entah bagaimana dengan nasib Emak. Rasa bersalah membuat Arinda melolong meratap - ratap. Arinda memeluk diri. Air matanya mengucur tiada henti.

Arinda ingin berbalik. Kuat keinginan hatinya untuk kembali ke tempat semula. "Emak harus selamat. Harus!!"

Angin menderu - deru. Gemuruh di dada Arinda sulit untuk diterjemahkan. Arinda mengabaikan sayatan beberapa semak berduri yang mengenai betisnya. Dia hanya ingin berlari sekencang - kencangnya. Emak juga harus selamat, Arinda tidak ingin egois kali ini.

"Emaaak, emaaaaakkkk..."

Arinda meraung. Beberapa meter di depannya, tubuh Emak terguling mencium tanah. Darah bersimbah di atas rumput kering. Hawa anyir menguar ke udara. Arinda menyeret langkahnya semakin dekat lagi.

"Maaak,  eemm - maaaaakkkk..."

Arinda menelan tangisnya sendiri. Sementara di belakangnya, sosok tinggi besar bermata merah menyala - nyala, tengah bersiap untuk menerkamnya. Sedetik sebelum semua berakhir, Arinda memastikan ada yang tercabik - cabik. Terburai. Dan darah kental memancar dari perutnya.

"Sebab kehidupanku di masa lalu,  harus dibayar dengan kematian kalian."

** (rz) **

Words : 253
Akhirnya fictionholics.
Saat aku mencoba menulis di genre Horror ternyata rasanya sangat berbeda. Duuh, demi #HorrorisR aku melewati hal yang benar - benar menantang. Membuat keringat sedikit lebih banyak berceceran dibandingkan menulis fiksi romantis dan cinta - cintaan. :D
Tetapi tidak masalah, apapun hasilnya, tentu aku akan terus menulis dan menulis. :))
Oleh : Ramita Zurnia
(Id twitter : @Mitha_AdelSanto)

Rabu, 02 September 2015

Ceritera September #2 - Kesendirian, Inginkah Kau Kuakhiri?

Cahaya matanya yang bulat, berkilat - kilat menatap ke arah purnama merah yang terlihat membulat penuh. Sesekali udara panas membelit kulitnya, menyisakan kegerahan tak terkira.

Sial, rasanya baru semalam aku tinggal di kota ini. Pergolakan hati seperti itu akan membuat Surti meringis. Dia lantas bersandar pasrah ke kursi rotan tua yang selalu setia menemaninya. Setiap saat, ketika dia menghabiskan waktu - waktu yang ada untuk merenung dan memikirkan nasib. Yaa, memikirkan takdir.

Surti menikmati embusan angin malam di kedua pipinya. Atap. Yaa, beberapa waktu terakhir, Surti selalu menikmati malam di atas atap. Tinggal di puncak tertinggi, permukiman yang menjulang ke langit. Bangunan - bangunan besar tumbuh tak terkendali dari perut bumi. Tiada lagi lahan tersisa, selain setapak yang berbentuk gang - gang sempit. Sesempit hati para penguasa.

Surti selalu menikmati kesendirian ini. Entah karena suatu keharusan, Surti sendiri sudah mulai lupa. Yang tersisa di ingatan tuanya hanya sedikit kenangan manis yang pernah dihabiskan ketika Bang Syamsul masih di sisinya.
Surti kembali menatap langit. Purnama semerah darah. Tertutup oleh tirai asap polusi yang mematikan kota ini dengan perlahan - lahan.

***

Sendiri. Surti selalu sendiri. Setiap penghuni rusun sudah terbiasa jika mendapatinya duduk bersemedi di atas puncak tertinggi. Tidak ada yang akan mengusik. Sebab semua orang terlalu sibuk dan bahkan kekurangan waktu untuk diri mereka sendiri.

Surti akan tersenyum. Menyunggingkan senyuman tulus yang sudah jarang didapati di kota ini. Surti tidak mengerti, dulu selagi Bang Syamsul masih menemaninya, kehidupan mereka teramat berwarna. Bahkan apabila mereka menghabiskan waktu di taman kota, semua orang baik yang mereka jumpai tidak pernah lupa menyempatkan diri untuk tersenyum, ataupun membalas senyum mereka.

Aaah, Surti mendesah pelan. Sepertinya menu makan malam kali ini terasa hambar. Semangkuk mie instan yang diseduhnya tadi pasti terlalu banyak kuahnya. Surti tidak ingin bersikap seperti tetangganya, yang lantas melemparkan potongan roti yang dirasa sudah keras dan tidak enak ke tempat sampah.

Surti menarik napas dalam - dalam. Berusaha mendapatkan oksigen terbaik yang sudah jarang didapatkannya. Pandangan matanya kembali melahap keruwetan kota di bawah sana. Jeritan suara klakson terdengar begitu bising. Surti sudah tidak mengherankan semua itu. Sebab entah kenapa sepertinya sudah tidak ada lagi satu manusiapun yang hendak memelihara rasa sabar di dalam dirinya.

Surti kembali menikmati suapan - suapan dengan penuh rasa syukur. Mengunyah dan melumatnya dengan tidak henti - hentinya berterima kasih kepada Tuhan.

***

Surti masih menekuri diri. Memikirkan seantero negeri penuh oleh manusia dengki. Lalu - lalang di jalanan sana, kota yang tidak pernah henti dengan aktifitas tidak jelas. Seakan hanya menjadi pembatas antara hidup dan mati baginya.

Surti ingin berdiri, kursi rotannya berderit - derit. Udara malam semakin memuakkan. Surti tetap bertahan di atap. Enggan turun menuju anak tangga, ataupun menaiki lift yang akan memanjakan kaki tuanya.

Surti sendiri. Tetap saja sendiri. Kelima anaknya sudah jarang berkunjung dan memperhatikannya. Sesekali, Surti menyalahkan waktu yang berjalan begitu cepat. Tidak jarang pula Surti mencoba sekuat bumi tempat dia berpijak.

Sama saja.
Tidak ada yang berbeda.

Surti menarik diri dari pelukan malam. September, 2065. Semua manusia saling memangsa. Saling memangsa diri mereka sendiri. Membiarkan segala kegelapan menyelimuti hati. Menumbuhkan berjuta ambisi tak terkendali. Surti sangat paham akan hal ini.

"Semua hati sudah mati. Mereka yang masih bernyawa tidak lain hanyalah seonggok jiwa - jiwa yang sekarat. Tidak lebih."

***

Yeaay, Welcome September.
Akhirnya sahabat, Tulisan pertamaku di bulan ini selesai juga. Tentunya sesuai dengan (prompt) #CeriteraSeptember-2 dari kakak - kakak di @KampungFiksi
Selamat membaca. :* :* :*
Oleh : Ramita Zurnia (ID Twitter : @Mitha_AdelSanto)


#FFRabu - Kau Sebut Aku Ular

Malam - malam yang kita miliki selalu seperti ini. Bahkan gulita selalu saja tidak berarti. Kau selalu saja keluyuran. Meninggalkan rasa bosan untukku. Setiap hari. Setiap malam.
Tidak ada detik yang berlalu dengan kemesraan.

"Enyahlah, aku muak."

Engkau akan mendesis - desis. Melontarkan perkataan - perkataan yang sangat berbisa dan pasti menohok tepat di jantungku.

Kapankah kau akan nyaman di pelukanku?

Anehnya, aku sendiri tidak pernah tahu. Bahkan saat kau menggedor pintu setiap kau pulang, meneriaki dan memakiku tanpa rasa sabar.

"Dasar perempuan ular!! Aku memeliharamu untuk mengabdi padaku!! Berhentilah mengurusi hidupku." Lidahmu selalu mendesis, menelan keberanianku bulat - bulat.

***

Words : 100 (Pas)
Yeaay, MondayFF tema ULAR. Rabu, 02 September 2015.
Oleh : Ramita Zurnia (ID Twitter : @Mitha_AdelSanto)