Jumat, 31 Juli 2015

#CeriteraJuli 31 - Perkenalkan, Namaku Monica

Sejak tadi ponselku terus saja berdering. Sebenarnya aku sangat terganggu dengan kebisingan ini, tetapi aku punya alasan tersendiri hingga aku memilih mengabaikan panggilan masuk, bahkan beberapa pesan SMS masuk juga ogah kusentuh.

Tok... Tok...

Sekarang giliran pintu kost ku yang terdengar diketuk seseorang dari luar. Dan entah siapa pula yang hendak bertamu di jam - jam malas seperti ini. "Siapaaa?" teriakku tanpa beranjak dari tempatku.

"Siemon!!! Kau di dalam? Ini aku."

Sial, aku hapal betul itu suara siapa. Aku menghambur dari dudukku, merapihkan kaosku dan menyambar topi di atas meja.

"Sebentaaaarrrr..." jawabku panik. Huuft. Ada - ada saja, terpaksa kurelakan waktu santaiku tersita oleh hal seperti ini. "Ada apaaa?" sambutku setelah pintu kost kubuka. Sang tamu langsung menubruk kursi kayu di kamar kost ku yang sempit.

"Lama sekali kaubukakan aku pintu," gerutunya geram.

"iyaaa, maaf Jo. Aku di kamar mandi. Lagi pula, kau bertamu di jam seperti ini. Ada apa?"

"Aaah, kaupikir aku ke sini untuk apa hah?" Dia melotot ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu. "Mon, kau harus bantu aku. Pokoknya harus bantu aku, apapun dan bagaimanapun caranya."

Wah, mendengar hal itu sekarang gantian aku yang melototi Joshua. "eeh, tunggu! Bantu apa dulu nih, Bro!" Aku masih heran, sudah tiba - tiba datang, malah membahas sesuatu yang sepertinya melibatkan aku.

"Audisi, Siemon! Audisi untuk menjadi penyanyi idola tahun ini."

***

Aku melangkah keluar dari kost. Setelah memastikan pintu telah terkunci kulangkahkan kaki menuju halte. Jadwalku jadi semakin padat saja. Setelah menengok kondisi kesehatan ibu di rumah sakit, aku akan menemani Joshua untuk mendaftar audisi. Yaa, temanku yang satu itu bisa saja kukatakan rada - rada. Sepengetahuanku sudah acapkali kutemani Joshua untuk hal - hal berbau pendaftaran audisi ini - itu.

"Jo, kau masih belum menyerah?" pernah suatu hari kukomentari saat dia gagal audisi pencarian bakat di sebuah kota. Dia tetap tertawa bahkan terlihat tenang - tenang saja. Ya begitulah watak Joshua, si ambisius yang aneh padahal dia belum mencapai apapun hingga saat ini. Sejujurnya, jangankan untuk menjadi seorang penyanyi terkenal, bakat menyanyi itu saja tak dimilikinya sama sekali. Bahkan suara cempreng Joshua memang sangat tidak enak di kuping. Tapi aku selalu menghargai setiap usahanya.

"Zzztttt... Zztttttt"

Ponsel di sakuku bergetar. Kupastikan ada SMS yang masuk. Sementara sekarang aku telah berhimpitan di dalam bis kota yang penuh sesak. Aku tak masalah jika harus berjejalan di antara para penumpang lain.

Message Received : From Mutiara
"Kakak di mana? Ibu sudah menanyakan kakak dari tadi. Cepatlah kak."

***

Aku melepas topiku dan menyimpannya di ransel sebelum memasuki ruangan serba putih itu. Kurapikan beberapa helai poni yang berantakan di dahiku.

"Assalamualaikum, Ibu." kucium punggung tangan ibu lembut. Ibu menyenyumiku hangat. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi dokter bilang kondisi ibu semakin membaik.

"Kenapa lama sekali, nak?"

Aku meletakkan ranselku di samping ranjang tempat ibu terbaring. Dan kupijit kaki ibu pelan - pelan.

"Di jalan pasti macet sekali, Bu." Mendadak Mutiara muncul dari kamar mandi. Aku tersenyum dan mengangguk. "Yang terpenting kakak kan sudah di sini."

"Kondisi Ibu bagaimana?" aku ingat belum menanyakan kabar ibu hari ini. Ibu tersenyum, senang sekali rasanya saat kulihat ibu sudah mulai bisa tersenyum dan ceria.

"Alhamdulillah, Kak. Dokter bilang besok ibu sudah boleh pulang."

"Oh yaaaa?" kupeluk tubuh ibu dengan gembira. "Alhamdulillah, Monic senang sekali mendengar kabar ini, Bu."

***

Petang sudah berlabuh saja saat aku sampai di kost. Hampir setengah hari aku menemani Joshua untuk ikut audisi. Dan seperti biasa, aku terpaksa harus mengulum senyum geli saat ingat betapa malangnya nasib Joshua yang terpaksa harus menerima kegagalan untuk kesekian kali. Sebenarnya aku kasihan, tapi ya harus bagaimana lagi, bukankah dia memang sangat tidak berbakat?
Baru hendak merebahkan tubuh di kasur, aku mendengar suara keributan di luar. Rasanya ingin kusumpal mulut mereka satu per satu.

"Heii, ada apa ini?"

Mereka menatapku, balas kutatap wajah - wajah para penyewa itu satu per satu. "Ada apa ini? Sudah malam bukannya istirahat malah ngumpul di sini!"

"Dik Siemon, kami bukannya ngumpul. Tapi itu mak Dijah berulah lagi." jawab salah seorang tetangga kost ku.

Aku menarik napas kesal. Mak Dijah yang ngontrak tepat di depan kost ku terlihat tenang saja. "Sudah, bubar, bubar."

Mak Dijah yang berwajah alim mungkin merasa merdeka dan bergegas masuk ke dalam kontrakannya.

"Dasar mak Dijah. Masih saja suka mengadu domba. Bukannya menjadi orang yang disegani, ini malah sebaliknya." celoteh seorang ibu- ibu tetangga lain.

"Jangan heran, makanya bagi ibu - ibu nih, kalau dirasa nggak perlu, jangan suka ngumpul dan bergosip ini itu deh. Lihatkan apa yang terjadi, mak Dijah malah mengadu domba kita, yang rugi kita jugakan?" seseorang di antara mereka menasehati.

"Sudah, sudah. Lebih baik sekarang kita semua masuk, istirahat." Kucoba menyudahi percakapan mereka semua. Aku masuk dan memilih segera menyulam impian dengan indah.

***

"DAN INILAH SANG JUARA - "

Hening, semua peserta yang memenuhi ruangan besar ini terdiam. Tak sabar menunggu lanjutan kata - kata dari si pembawa acara.

"DAN JUARANYA ADALAH MU - TI - A - RA"

Ruangan yang semula hening, mendadak riuh. Aku memeluk ibu erat. Adikku, Mutiara berhasil meraih juara pertama dalam Event Lomba Kreatifitas Remaja se - Kabupaten. Lagi, si cantik yang masih duduk di bangku kelas dua SMA itu berhasil menyabet juara.

"Selamat ya, Mutia." Kupeluk tubuh mungilnya hingga napas kami sesak.

"Hehee, ini berkat doa Ibu, juga kakak." Mutiara mengecupi pipiku dan ibu bergantian. "Lihat kak, selain piala, souvenir kenang - kenangan ini, aku juga berhak atas tabungan pendidikan senilai sepuluh juta rupiah."

Ohh Tuhan, aku bangga sekali. Aku selalu bangga pada Mutiara, meski ini adalah lomba yang kesekian yang pernah dimenangkannya. Bahkan aku masih ingat, di kamarnya sudah terdapat puluhan hadiah dari yang ukuran mini hingga raksasa. Dan semua adalah hasil kerja keras Mutiara.

Kulihat ibu bahkan sampai menitikkan air mata. Kami bertiga berpelukan lagi. Aku selalu bahagia melewati momen - momen bersama ibu dan adikku, selain mereka siapa lagi yang aku punya?

***

Di PERPUSTAKAAN UMUM

Aku mengibaskan kemoceng ke arah buku - buku di lemari besar, juga debu - debu nakal yang terselip di sudut lemari. Beberapa kali aku menahan bersin akibat debu yang terhirup.

"Hei, Bro." Teriak Joshua dari pintu masuk. Aku membalas sapaannya dengan mengacungkan tinjuku ke udara. Dia tergelak dan mendekatiku. "Sibuk?"

Aku menggeleng. "Cuma membersihkan debu - debu ini saja."

Joshua memegang bagian kaki kursi plastik yang kupakai sebagai tumpuan berdiri menjangkau bagian atas lemari.

"HAAATTTT -- HATTCCCCHHHIIIIIMMMMM."

Tiba - tiba aku bersin. Aku nyaris kehilangan keseimbangan. Kursi plastik yang kuinjak melengkung tidak terkendali. Aku panik. Sangat panik.

"Oooo.. Oww..Owww.."

BRUUUKKKK

Aku terjatuh.
Aku terjatuh dan menimpa tubuh Joshua.
Ohh Tuhan, aku panik sekali. Sial, topi yang melekat di kepalaku langsung terbang entah ke mana. Sepertinya ada angin nakal yang telah berhasil menjahiliku.

"Awwwww, Siemon, kau menimpaku tahu!"

Aku tak berusaha menimpali ocehan Joshua, aku memikirkan topiku, sebab jika tanpa topi -

"Siemon??????"

Dalam keadaan masih terduduk di lantai, Wajah Joshua yang hanya berjarak dua inchi saja dari wajahku terlihat melongo. Bahkan mulutnya terbuka lebar, "Siemon?? Kau, kauuuu?"

Aku tahu wajahku terasa panas. Joshua pasti melihat dengan jelas bagaimana pipiku merona pinky dibuatnya.

"KAU SEORANG ANAK PEREMPUAN????"

Entahlah, aku menyumpal bibirnya dengan kedua tanganku. "Dasar pria, melihat cewek cantik saja langsung melotot, Jo, Jo." Aku mengambil topiku dan kembali menyembunyikan rambut hitam sebahuku.

"Joshua, PERKENALKAN, NAMAKU MONICA."

***

Cerpen ini kuikutkan pada event #CeriteraJuli prompt #31 @KampungFiksi
Oleh : @Mitha_AdelSanto


Rabu, 29 Juli 2015

#CeriteraJuli prompt #30 - "Kiara dan Arjuna dari Dunia Maya"

"PINK CAFE, 16:00 WIB."

Kiara masih membuka pesan yang masuk ke kotak inbox di akun fesbuknya. Masih tak percaya bahwa dia telah deal untuk ngopi darat dengan Barata, teman lelaki dari yang setahun terakhir dikenalnya dari dunia maya.

"Hai, Kiara. Salam kenal."

Pesan pertama yang mengawali chit - chat di antara mereka. Kiara yang semula cuek, tiba - tiba iseng untuk meladeni setelah ikutan stalk akun fesbuk cowok itu dan ujung - ujungnya keisengan itu berakhir dengan chatting yang berkelanjutan hingga sekarang. "Keren banget sih nih anak..."

"PINK CAFE, 16:00 WIB."

Kiara masih saja melototi layar lap top. Masih ada banyak waktu untuk sekadar bersiap dan berdandan. Kiara masih saja menatap layar, terlihat jelas dia tengah asyik memperhatikan photo di album fesbuk Barata.

"Tampan, tinggi, putih, dan keren." Cerocos Kiara dengan mata berbinar - binar pada sahabatnya. Dhea yang mendengar hanya bisa melotot. "Pokoknya ganteng, Dhe. Persis Arjuna dalam tokoh pewayangan itu."

"Kamu yakin, Kia?"

"Yakin dong, Dhe. Kenapa? Jangan bilang kamu ingin menuduh Barata sebagai penipu, sama seperti teman fesbukmu yang pernah nipu kamu dulu."

"Bukannya gitu, Kiara. Cuma, kamu terlihat sangat percaya dengan dia. Sementara dia, entah siapa dia yang sebenarnya kamu juga belum tahu, Ki." Dhea ngeri jika yang dijumpai Kiara nanti ternyata adalah om - om gatel bahkan mungkin ABG-Tua yang jelalatan. Hih.

"Awas ya Dhe, jangan mikir yang aneh - aneh. Nggak bakalan terjadi seperti yang kamu bayangkan." Kiara bersungut - sungut, apalagi saat Dhea memperlihatkan wajah ngeri begitu.

***

"PINK CAFE, 16:00 WIB."

Kiara sengaja datang lebih awal. Gadis itu duduk di sebuah meja yang agak tersembunyi dari keramaian. Atas saran Dhea, akhirnya Kiara memutuskan untuk sedikit waspada. Kiara yang cantik tentunya tidak ingin menjumpai kebohongan besar. Paling tidak, Kiara pikir Dhea lebih pengalaman dalam hal ini. Dhea yang selalu tertipu oleh penampilan teman fesbuknya yang ternyata hanya efek editan kamera saja.

Kiara masih memantau meja nomor sembilan. Dari kejauhan Kiara bisa melihat dengan jelas kalau tempat itu masih tampak kosong. Barata bilang dia sudah order tempat di meja sembilan.

Pukul 15:50 WIB

Kiara mulai gelisah. Jantungnya mulai deg - deg'an. Sepuluh menit lagi dia akan bertemu dengan teman chattingnya. Ada perasaan berbunga-bunga, tapi juga ada perasaan penuh tanda tanya.

"Waspada. Kamu hanya harus memantau, Kia. Pokoknya sebelum dia melihatmu, pastikan kamu yang melihatnya terlebih dulu. Atau kamu akan menyesal, Kiara." petuah Dhea saat Kiara ingin berangkat ke Cafe tadi.

Kiara mulai bosan menunggu, dia mengisi waktu dengan berselancar di dunia maya lagi. "Eeehhh, ada pesan masuk lagi." desis Kiara. Buru-buru dia membuka pesan di inboxnya.

"Kiara sayang, aku sebentar lagi sampai. Kamu pasti datang bukan?"

Kiara menggigit ujung kukunya. Grogi, dan gregetan. Perasaannya meluap - luap. "Ohhh, Racuuuun." umpatnya pelan.

Kiara memandang meja nomor sembilan, Oh Tuhan. Ada seseorang duduk di sana. Kiara merasakan oksigen di tempat itu semakin menipis saja. Dia lekas menarik napas.

"Tampan, tinggi, putih, dan keren."

Kiara mengurut dada, perasaannya bercampur aduk. Kali ini bener - bener surprise.

***

PINK CAFE, 15:56 WIB

Kiara menjadikan tasnya sebagai tameng. Dia bergegas keluar dari cafe, napasnya ngos - ngosan.

"Bruuuukkk."

Kiara menabrak seseorang di pintu keluar. Gadis itu terpelanting. "Oh Tuhan, kesialan apalagi ini."

"Heii, maaf, maaf Nona."

Kiara mencoba untuk berdiri. Sakit sekali rasanya. Tapi rasa sakitnya sampai ke hati. "Iya, tak apa." sahut Kiara.

"Lhoo, Kiara?"

Kiara menoleh, Lelaki yang ditubruknya barusan tersenyum. Gigi putih berbaris rapi, senyumnya yang menawan ditambah dengan keindahan lain yang membuat Kiara terpana,
-- dan PINGSAN.

***

PINK CAFE, 16:00 WIB
Meja nomor sembilan.
Kiara tersenyum malu, Barata tergelak.

"Jadi, jadi dia..."

"Iya Kiara. Yang kamu lihat tadi mang Tarjo. Supir aku. Sengaja aku suruh masuk duluan ke cafe untuk memastikan apakah kamu sudah datang apa belum." jelas Barata sambil terkekeh lagi. Kiara hanya cemberut, dan memasang tampang manyun.

Kiara memang tak percaya. Barata yang duduk di depannya, dan lelaki yang tadi dilihatnya, "Dasar Dhea." Kiara sangat menyesal menuruti kata - kata Dhea.

"Jadi pas melihat lelaki pendek, gendut, botak, dan berkulit gelap duduk di sini, kamu langsung berpikir kalau itu aku?"
Kiara merasakan pipinya memanas. Merona merah jambu. Paling tidak semua berjalan sesuai rencana. Dan kali ini Kiara pastikan Dhea akan menyesal.

"Kamu sudah siap, Kiara cantik? Aku akan mengenalkanmu pada keluargaku."

Barata mengajak Juara berdiri sembari menggenggam jemari Kiara dengan hangat. Kiara sangat berbahagia, Barata menekan tuts di layar ponsel, lalu dia tersenyum kepada Kiara. Perlahan, Kiara merasakan jiwanya seperti tersedot. Terserap ke dalam ruang waktu yang terasa sangat berbeda. Kiara tahu bahwa sekarang dia memasuki dunia yang tak lagi sama.

***

*Fiksi ini kuikutkan pada event #CeriteraJuli prompt #30 @KampungFiksi *

Tema :
"Tokoh ceritamu memutuskan untuk bertemu dengan seorang teman yang hanya dikenalnya melalui internet. Selama ini dia tidak memperlihatkan sosok yang sesungguhnya. Mengapa dia melakukan itu? Apa yang terjadi saat mereka bertemu."

@Mitha_AdelSanto


#Fiksiku - Ijinkan Aku untuk Menangis

Di kamar yang tidak terlalu luas, Dania duduk menghadap cermin. Dia berlama - lama mematut wajahnya sendiri. Sebentar lagi suaminya akan pulang. Sementara Dania belum sempat dandan atau sekadar memoles wajah.

Jam dinding mungil tergantung di samping tempat tidur. Lima menit lagi, suaminya akan sampai di rumah. Dania melompat dari duduknya, dia buru - buru lari ke kamar mandi. Dia harus segera bersiap - siap menyambut suaminya di depan pintu.

Dania bergegas, Dania memeras kedua bola matanya. Yeayy, kering sudah, sesuai permintaan suaminya tadi malam. Dania mencoba melukis senyuman di bibirnya. Memoleskan sedikit lipstik merah nyala, dan blush on merona di dua pipinya.

"Semoga Mas Nathan tidak marah lagi."

Ting Tong.

Sempurna. Bel berbunyi. Dania berlari membukakan pintu. Menyambut suaminya dengan senyuman paling manis. Dania berharap kali ini suaminya bahagia.

"Tidak ada air mata lagi kan, Sayang?" Ujarnya dengan mata berbinar.

***

*flashfiksi ini saya kembangkan dari FIKSIMINI yang saya share di twitter di akun saya @Mitha_AdelSanto*

IJINKAN AKU UNTUK MENANGIS - Dania memeras kedua bola matanya. Kering sudah, sesuai permintaan suaminya tadi malam.

***

#CeriteraJuli prompt #29 - Voucher Keberuntungan


"NONA WINNIE, ANDA MEMENANGKAN VOUCHER UNTUK DINNER DI RESTORAN KAMI BESOK MALAM."

Winnie sampai melompat - lompat karena tidak percaya. Sepertinya dia tidak bermimpi apapun semalam. Entah bagaimana bisa, tetapi yang paling penting Winnie merasa sangat beruntung bisa memperoleh VOUCHER bersantap malam di sebuah restoran ternama di kotanya. Sepertinya esok malam dia akan menjelma seorang puteri cantik yang bersiap menikmati malam dengan mengendarai kereta kencana. "Hebaaaaattttt..."

BENAR - BENAR SEBUAH KEBERUNTUNGAN YANG TERAMAT BESAR.

"Kau sangat beruntung, Ya." celoteh Viena berisik. Dia mengacak - acak tatanan rambut Winnie dengan gemas.

Winnie tak menggubris. Gaun terbaik yang pernah dia beli sudah melekat pas di tubuhnya. Cantik sekali saat dipadukan dengan heels milik Viena yang berhasil dia pinjam. Winnie merapikan rambutnya, dan mematut wajah sebentar.

"Aku berangkat, Putri Tidur. Daaah."
Winnie menghambur ke arah pintu kamar. Malam ini, peri paling cantik akan menikmati malam paling indah. Yaa, Winnie berdoa semoga ada pria tampan yang langsung jatuh cinta padanya.

***

RATATOUILLE RESTO
Cahaya lampu berkerlap kerlip. Malam yang sangat berbeda. Winnie sedikit bimbang melangkahkan kakinya. Di pintu gerbang resto seorang pelayan menyambutnya dengan baik.

"Nona Winnie? Mari saya tunjukkan arah meja anda." Winnie ternganga. Voucher yang dipegangnya sudah berpindah tangan.

Hebaaatttt, pelayan itu sudah mengenalinya terlebih dahulu. Winnie melangkahkan kakinya mengikuti pelayan. Winnie terpana saat pelayan itu membawanya ke ruangan yang sepertinya khusus dipersiapkan untuk sang pemenang.

Dekor resto yang apik dan sangat cantik. Sebuah meja bulat besar dengan dua kursi telah menunggunya, seorang pelayan membantunya menarik kursi, dan Winnie menyatu dengan suasana resto yang sangat luar biasa.

"Nyamankan dirimu, Nona. Sebentar lagi hidangan pembuka akan segera tiba." pelayan yang tadi menarikkan kursi untuknya mengingatkan Winnie yang masih saja terpesona.

***

"LEZAAAAT, SEMUANYA SANGAT SANGAT LEZAAAAAT..." Winnie masih saja memuji kenikmatan yang sedari tadi memanjakan lidahnya. Menu utama dan juga menu penutup juga telah memenuhi perutnya. Kenyang. Hebat.

Winnie sedikit kewalahan menghadapi selera makannya yang gila - gilaan. Pelayan yang melayaninya hanya tersenyum, dan Winnie juga tak mau ambil pusing dengan hal itu.

"Jika anda sudah selesai, Nona. Saatnya kita bertemu dengan chef terbaik resto kami. Sekaligus pemilik resto ini."

"Wow.. " Winnie mengangguk cepat. "Tentu, saya juga ingin berterima kasih, semua hidangan ini sangat lezat."

"Mari Nona."

***

"Nona Winnie,"

Winnie terbelalak. Sosok lelaki tanpa topi koki di depannya tersenyum sinis. Suara beratnya menggelegar, membuat Winnie merinding.

Winnie melangkah maju, memastikan sosok itu dengan lebih seksama. Tubuhnya tegap, tinggi besar. Winnie menahan rasa ingin tahunya saat lelaki itu balik mendekatinya. "Masih ingat aku, Winnie?"

Winnie menahan napas. Selintas otaknya memutar berbagai kisah lampau. Mencoba menemukan memori yang sesuai dengan tokoh, kejadian, dan waktu. Winnie gemetar hebat. Mungkin saat ini wajahnya memucat. Kedua kakinya mulai terasa lemas. Winnie merasakan mulas di perutnya.

"Raa, Raa - Taa -Tooo..."

"Heiii, kau masih ingat padaku?" Lelaki itu tergelak. "Bagaimana Winnie, masakan buatanku sangat lezat bukan? Aku tahu kau nyaris tidak bernapas saat melahapnya."

Lelaki itu duduk di meja persis berhadapan dengan Winnie. Mengingat hal itu Winnie mual hebat, dia memuntahkan makanan yang dilahapnya tadi dengan perasaan sangat jijik. Winnie menyesal. Winnie merasa sangat menyesal.

Ratato.
Winnie ingat dengan jelas siapa lelaki itu. Beberapa tahun yang lalu, saat pindah ke kota ini, Winnie memilih melanjutkan pendidikan di salah satu SMA Negeri. Di kelasnya, ada seorang anak laki - laki yang nyaris tak pernah bergaul dengan siswa lainnya. Anak laki - laki yang aneh, dan entah kenapa anak itu harus jatuh cinta padanya. Winnie tentu menolak. Anak itu Ratato. Yang pernah bersumpah akan membalas penolakan Winnie.

Winnie tersandar lemas bercampur takut. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Gaun peri yang dipakainya membuatnya susah untuk bernapas. VOUCHER, semua karena VOUCHER yang tak jelas ini.

"Winnie, kau sudah siap, Sayang?"

Ratato sudah tidak sabar lagi. Dia mengulurkan kedua tangannya yang berbulu lebat. Winnie bergidik. Jari - jari besarnya dipenuhi bulu hitam lebat, menarik tubuh Winnie tanpa kasihan. Tubuh Winnie melemas. Tulang - tulangnya remuk, Winnie merasakan paru - parunya menyempit. Winnie masih bisa mendengar suara gelegak air yang mendidih.
Samar, Winnie masih bisa melihat kuku - kuku tajam bersiap merobek kulitnya. Saat itulah Winnie merasa hari ini adalah hari yang paling sial dalam hidupnya.

"SELAMAT NONA. ANDA MENDAPATKAN VOUCHER BERSANTAP SEPUASNYA DI RESTORAN KAMI."

***

Fiksi ini kuikutkan di Event #CeriteraJuli prompt #29 @KampungFiksi

Tema :
Tokoh ceritamu mendapatkan voucher untuk bersantap di sebuah restoran terkenal, sekaligus memperoleh kesempatan untuk mewawancarai chef resto tersebut. Ternyata chef di restoran itu adalah bekas musuh bebuyutannya semasa SMA. Apa yang terjadi??

@Mitha_AdelSanto



Selasa, 28 Juli 2015

#CeriteraJuli Prompt 28 - Rahasia Janji Tahun Kesepuluh

Anne melempar badannya ke sofa empuk di ruang tengah. Hari yang sangat melelahkan. Seharian dia sibuk membereskan urusan kantor ditambah lagi dengan beberapa tugas tambahan yakni memberikan arahan pada beberapa karyawan baru di kantornya.

Menjadi seorang wanita karir yang sangat sukses, mungkin butuh waktu yang sangat lama untuk meraihnya. Begitu juga dengan Anne, butuh bertahun-tahun juga baginya hingga meraih posisinya saat ini. Anne besar dalam asuhan keluarga yang penuh cinta. Keluarga yang mengajarkannya cara bertahan dari berbagai penderitaan.

Anne mencoba menyamankan tubuhnya di atas sofa besar itu. Terlihat dengan jelas bahwa dia kelelahan sekali. Udara yang sejuk membuat Anne mengantuk. Entah sudah berapa kali dia menguap hingga matanya perih berair.

Anne terlelap.
Jam besar di sudut ruangan berdentang memberi tanda pukul 00.00 tepat tengah malam. Anne sangat pulas, tak ada suara apapun selain desah napasnya yang teratur, sementara dari langit, rintik hujan terdengar berdenting menyentuh atap.

"Anne, Anne. Bangunlah."
Anne menggeliat. Sendi-sendinya terasa berat waktu digerakkan. Anne mengucek matanya, menguap lebar-lebar, dan mencari asal suara yang memanggil namanya. Dia beranjak turun dari sofa.

"Anne..."
Dia mendengar suara itu lagi. Anne menoleh ke belakang. Dia tertegun, dan berusaha untuk tak berteriak.

"Ro - Robert..."

Anne betul-betul tak habis pikir. Kakaknya. Ya, itu kakaknya yang sepuluh tahun terakhir pergi dari rumah. "Kenapa kau bisa ada di sini?"

Robert terkekeh. Dia menumpukan dagunya di bantalan sofa. "Lho, kenapa? Aku mengunjungimu, apa itu salah?"

Anne duduk di hadapan Robert yang masih saja cengengesan. "Iyaa,  tapi ini sudah tahun kesepuluh sejak kau putuskan untuk pergi. Kau tak lupa bukan?"

Robert semakin terkekeh. Suara tawanya memecah kesunyian malam. Suara hujan sudah tak terdengar lagi.

"Anne, ingatanmu tidak sedang sakit bukan? Aku datang sesuai janjiku. Di tahun kesepuluh, aku datang sesuai waktu yang kita sepakati." Robert memasang tampang memuakkan. Anne mulai merasakan peluh membuat bajunya terasa lengket.

"Janji?"

"Ya,  janji. Kau harus bergabung denganku dan saudara kita lainnya. Misi kita baru akan di mulai,  Anne." Robert menyeringai.

Anne terdiam. Tahun kesepuluh, Robert datang sesuai janji. "....Misi kita baru akan dimulai,  Anne."

***

Anne bersandar ke salah satu dinding. Ucapan Robert beberapa malam yang lalu masih terngiang di benaknya. Dan entah mengapa, sejak malam itu Anne merasa kosong. Hampa. Menderita.

Kali ini Anne merasa beban pikirannya sangatlah berat. Sedari dulu segala hal terasa mudah untuk diputuskan. Anehnya, beberapa hari ini otaknya terasa lamban sekali bekerja.

Anne menghela napas dengan berat. Sekilas ucapan Robert membuat hatinya menghangat. Namun di sisi lain Anne merasa sayang meninggalkan kehidupannya yang sekarang.
Akan tetapi...
***

Anne sudah menentukan pilihan. Sudah lama dia tidak menikmati kebebasan hidupnya. Rasanya kali ini Anne ingin terbebas dari kerumitan hidup yang selama ini dijalaninya. Kebisingan yang tidak jelas. Suasana kantor yang hiruk pikuk, juga manusia - manusia yang sulit diajak kompromi.

Anne menyeringai. Mata bulatnya berkilat - kilat. Malam semakin pekat. Anne menyusul Robert, Nathan, juga saudaranya yang lain. Anne tidak ingin lagi melupakan jati dirinya. Inilah tujuan mengapa dia harus ada di dunia manusia. Anne tak pernah lupa, misi akan segera dimulai.

Di langit malam, rembulan tampak kemerahan. Dalam keremangan malam, Anne mengepakkan sayapnya, sesekali terlihat bibirnya merekah tersenyum puas. Anne menyeringai, menampakkan taring - taringnya yang tajam.

***
@Mitha_AdelSanto, 28 Juli 2015
#CeriteraJuli prompt 28 @kampungfiksi

Senin, 27 Juli 2015

#Fiksiku - Rahasia Gadis Sunyi

Sebentar lagi gelap turun, senja telah berlabuh satu jam yang lalu. Dari arah pinggiran kota tempatku berdiri saat ini,  suara laut terdengar begitu jelas, jeritan ombak menghempas, seakan sedang meluapkan amarah yang tak tertahan.

Duh, nyerinya terasa hingga ke jantungku.

Pantai.
Aku yakin pasti ada sebuah pantai di balik hutan kecil di pinggiran kota. Meski baru seminggu menjelajahi daerah ini,  aku bisa mengenali semua tempat dengan tepat.

"Lantas pekerjaanmu bagaimana?" Desak Meyta

Aku mengangkat bahu. Masa bodoh. Beberapa waktu terakhir aku muak dengan semua hal. Menghadapi tekanan di tempat kerja, setiap hari akan diomeli Boss. Yang pasti, kali ini rasa jenuh seperti memaksa mencuat keluar dari otakku.

Aku melepaskan beban yang menghimpit di hatiku.  Jika terus diingat, maka bisa dipastikan aku akan menangisi diri hingga bermalam-malam. Yaa,  hasilnya bisa dilihat dari lingkar hitam di kedua mataku.

Aku menarik langkahku semakin lebar. Kusibak beberapa batang tumbuhan semak yang menghalangi jalanku. Cuping hidungku bergerak-gerak memastikan telah mencium aroma laut. Aroma kebebasan, aroma ketenangan.

***

"Sudah berapa bulan?!? Sebenarnya apa yang kauinginkan?"
Tangan kekar itu mengguncang bahuku dengan tak sabar. Belum puas, dia mengarahkan kepalan tinjunya ke dinding di sebelahku. Aku hanya sesenggukan, baru beberapa menit yang lalu dia memeluk dan mengecup pipiku, dan sekarang dia berubah sangar terhadapku.

"Aku pun tak tahu, Rey!" isakku lagi. "seharusnya aku yang marah. Bukankah kau yang selalu memaksaku?"

Arrrgghhh.

Aku mengacak rambutku. Kulepas kunciran dan membuang pengikatnya. Angin laut menampar pipiku yang basah oleh air mata. Aku terduduk lesu di atas pasir. Ombak menari-nari menyentuh jemari kakiku yang telanjang tanpa alas. Membiarkan air laut membasuh seluruh duka dan kepedihanku.

"Hai, apa yang kauperbuat di sini?"

Sebuah suara merdu menyapaku di tempat sepi seperti ini. Kupikir, aku bisa menyendiri, paling tidak menikmati kesendirianku. Tetapi mengapa malah ada orang lain juga di tempat ini.

Aku menoleh, seorang gadis manis kelihatannya seumuran denganku. Dia tersenyum, dan menghampiriku. Dia juga bertelanjang kaki. Rambut panjangnya berkibar oleh tiupan angin. Giginya putih dan sangat rapi. Aku tak ambil pusing, kubiarkan dia duduk di sebelahku. Mungkin ketenangan pantai malam ini harus kubagi juga dengannya. Siapa tahu dia juga tengah menyendiri, atau sedang lari dari beban hidup yang tak bisa dipikulnya lagi.

"Haiiii," sahutku membalas sapaan tadi sekenanya. Aku menatap ke laut lepas. Menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga paru-paruku terasa sesak. "kau sendiri, bagaimana bisa sampai ke tempat ini?"

Dia tersenyum. Lantas bermain-main dengan pasir di jemarinya. "Namaku Gadis. Aku tinggal di dekat sini." Jawabnya mantap. Dia memandangku sejenak dan tersenyum kembali. "Setiap malam, aku selalu menikmati tempat ini. Duduk di pasir putih, bermain dengan ombak, bahkan hingga aku terlelap."

Aku ternganga, persis dengan apa yang akan aku lakukan malam ini. Pernyataan barusan membuatku tak mengerti. Ternyata, selain aku, juga ada orang lain yang lebih suka menyendiri menikmati kesunyian. Entahlah, aku tak punya waktu untuk memikirkannya.

"Kau mau mendengarkanku? Sudah lama sekali aku tak pernah berbicara dengan orang lain."

"Maksudmu?" dengan heran, aku balik bertanya

Dia tersenyum lagi. "Aku terbiasa menyepi di sini. Terlalu banyak waktu yang kuhabiskan sendiri. Jadi, aku ingin ngobrol denganmu. Lagi pula kita sudah sama-sama berada di sini bukan."

Aku menghela nafasku dalam-dalam. Memang, tak ada salahnya kami mengobrol. Toh, aku hanya diminta untuk mendengarkannya saja. Jika enggan, aku bisa berpura-pura mengantuk dan tidur.

Gadis terlihat tenang. Baru kusadari rupanya juga cantik sekali. Kulitnya putih lembut seperti satin saja. Setiap kali tersenyum, pipinya menyuguhkan lesung pipi yang memikat hati.

"Tahukah kau, aku selalu sendirian. Seperti sengaja diasingkan." Ungkapnya perlahan. "Aku dijauhkan dari kebisingan dunia."

Aku menyimak. Sungguh,  aku mendengarkan kelanjutannya. "iya, tapi kenapa?"

"Aku tak mengenal rupa orang tuaku. Sedari kecil hal yang kuingat hanyalah kisah bahwa aku memilki paman, dan setiap kali pula pamanku berganti. Aneh bukan?"

Aku tak menyela. Aku memberikan waktuku untuk mendengar kelanjutannya.

"Ada saja paman yang mengunjungiku, sayangnya merekalah yang selalu datang untuk berkunjung. Tidak denganku. Aku harus menunggu di sebuah rumah yang mereka bangun khusus untukku."

Gadis terdiam sejenak. Kupastikan wajahnya memucat. Di langit,  separuh bulan melingkar dengan sendu.

"Aku selalu sunyi, aku selalu tak mengerti dengan sekelilingku. Mereka yang berkunjung selalu saja berganti. Mereka lembut dan baik padaku, sampai aku tumbuh remaja hingga sekarang, baru aku paham. Kebaikan mereka ternyata beralasan. Mereka memanfaatkanku untuk kepentingan mereka saja."

Nada kepedihan dan luka yang sangat dalam tergambar jelas dalam getar suaranya. Aku memeluk diriku sendiri. Angin laut terasa dingin, namun aku bisa menikmati semuanya.

"Hingga suatu waktu, kautahu apa itu?? Ada yang berbeda dengan diriku. Aku bisa merasakan ada yang sedang tumbuh dan berdetak di nadiku. Aku bisa merasakannya. Sangat jelas, dan kutahu rasanya sangat luar biasa."

Entah kenapa, Gadis tersenyum padaku. "Apa? Apa yang terjadi?" tanyaku dengan gejolak penuh di dadaku yang sesak.

"Semakin lama aku mengerti. Yaa, aku menyadari semua saat perutku semakin melar,  besar, dan membuncit."

DEG!!!

Aku merasa seperti dihantam ribuan palu raksasa. Aku terguncang. Seolah gempa besar mengguncang bumi tempatku berpijak. Aku bernapas dengan sesak. Rasanya nyeri sekali. Kupastikan perutku sedikit mulas. Dan aku mual.

"Kau, kauu, ha, ha-mil?" Akhirnya pertanyaan itu bisa kuucapkan, meski harus terbata. Gadis mengangguk. Aku masih menyimpan banyak pertanyaan di benakku.

"Ya. Aku mengandung. Pamanku berkunjung dan marah besar padaku. Dia tak ingin aku membesarkan kandunganku bahkan hingga memiliki anak." Aku melongo.

Gadis melanjutkan ceritanya. "Dia memaksaku menggugurkannya. Aku sangat takut. Aku tidak ingin kesepian seumur hidupku. Paling tidak, jika aku telah hamil, aku ingin melahirkan anakku yang kelak akan menjadi teman sepiku."

"Lantas?" desakku. Kualihkan pandangan ke arah perutnya yang terlihat rata. Dia menunduk. Menyembunyikan kesakitan di hatinya yang pasti sangat-sangat terluka.

"Aku tak sempat melahirkannya. Paman memaksaku, meski dia tahu itu berkemungkinan juga anaknya."

Ohhhh, seperti langit akan runtuh saja. Kurasakan tubuhku limbung. Aku bingung dengan apa yang kurasakan. Rasanya semua tiba-tiba berubah gelap. Aku tak bisa merasakan apa-apa.
Mungkinkah aku...

***

"Rindu, Rindu. Buka matamu, sayang. Kumohon buka matamu."

Suara yang sangat kukenal. Kurasakan kepalaku masih sangat pusing sekali. Kubuka mataku pelan.

"Rindu!!! Kau sadar juga!" aku tahu itu suara Meyta memekik kegirangan.

Aku heran, mengapa aku bisa terbaring di kasur empuk begini. Kukumpulkan ingatan, bukankah semalam aku...

"Rindu, maafkan aku! Please, jangan pernah pergi lagi."

Aku menoleh. Kurasakan si pemilik suara segera merengkuhku. Aku sangat hafal.

Rey!!!
Yaa... Kupastikan Rey telah menyesali sikapnya padaku tempo hari. Air mataku mengucur tak terbendung. Namun aku masih saja bingung.

"Semalam Rey menghubungiku, dia menjelaskan bahwa kalian bertengkar hebat dan sikapnya membuat kau marah. Dia takut terjadi apa-apa padamu, Rindu. Lantas aku ingat pantai yang pernah kau ceritakan padaku, kami buru-buru ke sana, dan menemukanmu tergeletak di pasir. Dan... "

"Gadis??" tanyaku menyela. "Bagaimana dengan Gadis?"

Meyta menggeleng. Rey apalagi, dia hanya menggeleng tak mengerti.

"Kau sendirian, sayang. Tak ada orang lain, lagi pula siapa dia? Gadis siapa?" Rey menatapku kebingungan. "Aku hanya mencemaskanmu Rindu. Aku tahu sikapku salah, tapi aku tak ingin kau pergi dan menghilang begitu. Dengar, aku akan bertanggung jawab. Kita akan menikah."

Aku masih tak percaya. Kubiarkan semua berjalan semestinya. Aku bersyukur Rey menyesali kesalahannya, dan belajar menjadi lelaki yang jauh lebih bertanggung jawab.

Kupeluk lelakiku dengan luapan perasaan bahagia. Meyta terlihat berkaca-kaca. Harapanku, mulai detik ini tak akan ada lagi kata sunyi dalam kamus hidupku. Sebab sebentar lagi,  semua warna dan tawa bahagia akan menjadi menu utama dalam hidupku.

***

Pantai Sunyi
Beberapa tahun yang lalu, ditemukan jasad seorang wanita muda dalam keadaan mengenaskan.

***
 
"Rahasia Gadis Sunyi"
@Mitha_AdelSanto (Pekanbaru, 27 Juli 2015)

Sabtu, 25 Juli 2015

#FLASHFICTION - NEGERI CERMIN

"Bu, lihat." Suara Elia terdengar girang, Aku melongok, Elia menarik tubuhnya ke dalam pecahan cermin yang kupegang. Darah mengalir deras.

Aku terpekik, panik dan tak tahu harus berbuat apa. Kudengar suara cekikikan Elia. "Nak,  kau tak apa? "

"Elia tak apa - apa,  Bu. Elia hanya bermain - main."

Aku menarik napas. Kali ini Elia sudah keterlaluan. Hampir saja jantungku ini copot dan aku nyaris mati berdiri.

"Kenapa kau lakukan ini,  Nak?"

"Tenanglah, Bu. Elia sudah terbiasa."

Elia kembali menyusup ke dalam cermin. Kali ini kulihat dia lenyap menembusnya. Darah kembali merembes.

Semakin lama semakin memerah di ubin. Aku histeris, "Eliaaaa,  Eliaaaa,  Anakkuuuu..."

"Bu, Elia terlalu lama menunggu. Negeri cermin selalu memantulkan kebahagiaan. Setiap kali Elia menatapnya, setiap kali pula Elia paham akan dunia."

Aku terus menjerit,  entahlah. Aku bergidik membayangkan semuanya.

***

Pagi hari, rumahku ramai oleh kerumunan warga. Aku tak paham. Elia memilih pergi ke negeri cermin. Aku digiring ke mobil polisi. Kedua tanganku di borgol. Warga menyumpahi, mencaci maki.

"DASAR PEMBUNUUHHH !!! MEMBUSUKLAH DI PENJARA SANA!!! "

***

"Ibu,  Ibu,  Elia takut,  Bu. Elia janji tidak akan nakal lagi. Buuuu, ampunnn Bu,  ampuuunnn... "

***
 
"Negeri Cermin"
@Mitha_AdelSanto (Pekanbaru - Juli  2015)

#PestaFiksi01 RedCarra - PERJALANAN RINDU

 Kulihat dia tersenyum simpul. Sebentar lagi petang rebah. Jingga - jingga menggumpal bersama awan. Kakinya terus menapaki tanah.

"Kau akan ke mana?" Tanyaku bersemangat. Dia tetap diam mengulum senyum. Kurasa langkah kakinya semakin memendek. Setidaknya, seharian ini dia berjalan tanpa beristirahat sedikitpun.

"Kau lebih baik diam!!!"

Aku terhenyak, dia menghardikku. Bukannya menjawab atau sekadar memberi penjelasan, dia selalu memilih berucap kasar padaku.

"Kau tahu? Setiap langkahku adalah rasa sakit. Setiap pedih yang kujejakkan di tanah adalah rasa sakit. Semua kujalani sendirian, kau tahu?"

Kulihat dia tergelak. Kutahu, gadis itu Rindu. Kupastikan, dia bukan tertawa sebab bahagia, melainkan oleh rasa sakit yang terlalu nyata.

"Kau tahu? Bahkan lelaki bajingan itupun membiarkanku sendirian menanggung sakit yang dia berikan."

Kali ini aku enggan membantah, enggan bertanya. Kutahu, Rindu menyeret kakinya ke arah jurang di depan sana. Membungkam ocehanku yang tak lagi mendesak benaknya.

Setelahnya, aku dan kenangan - kenangan di benaknya melesat cepat ke dasar jurang. Mengakhiri perjalanan rindu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2Zo7U-Lz0DwZOKZGJRE0jqULtc_IqRYzw7LiQ5mdVKBh5pbaMDB1d4mPPwQFb5TjinUHxtUjcbS_Qe3w5xSLBIQin9vp0JqQ-7iuVfQClxMENAuDfpd7qwWhsUTvfVMnJ5Z66gyLvxWTm/s1600/Lonely+Tree+Paography+Wallpapers+06.jpg

***

"Perjalanan Rindu"
kutulis untuk merayakan #PestaFiksi01 RedCarra
@Mitha_AdelSanto

#FM - USAHA TERAKHIR

Didi terdiam di sudut ruang tengah. Beberapa minggu terakhir, semua hal terasa berat untuk dia lalui.
Dokter memvonis bahwa benturan akibat dari kecelakaan yang baru saja dia alami menjadikannya harus kehilangan ingatan.

Amnesia.
Ya, Didi divonis amnesia.

***

Untuk beberapa saat, Didi tak ingin ambil pusing tentang siapa jati dirinya. Yang terpenting saat ini adalah terus melanjutkan hidup, mencoba melalui hari - hari yang terasa sangat begitu kosong. Daripada hidup dalam kebingungan, dan mengais sisa - sisa ingatan yang sama sekali tidak memunculkan gambaran apapun di benaknya.

"Ahh sudahlah, Nak. Suatu hari ingatanmu pasti kembali." Desah ibunya lirih.

Beberapa hari ini Ibu sengaja datang ke kontrakannya, yaa ibunya bilang agar dia tidak bengong sendirian, apalagi hidup tanpa ingatan seperti ini rasanya hanya akan membuat hidupnya semakin tidak jelas.

Beberapa potong potret lama berserakan di sekitar lantai, hingga di pangkuannya. Didi menunduk. Dia merasa sangat lelah, beberapa saat dia telah memaksakan otaknya bekerja keras memunculkan kenangan.

"Arrgghhhh... !!!" Didi melempar lembaran potret - potret tersebut. Ibunya hanya bisa diam dan pasrah. "Bu, apa aku tak pernah memiliki kenangan berkesan di sepanjang hidupku?" tanyanya frustasi.

"Mungkin,"

"Apa maksud ibu dengan berkata mungkin?" desaknya lagi.

TING TONG... TING TONG...

Suara bel membungkam percakapan antara ibu dan anak tersebut. "Sebentar, biar Ibu bukakan pintu."
Wanita itu bergegas meninggalkan Didi yang terlihat sangat kesal.

***

"Kirana??? Kirana Siapa???"

Didi mengernyitkan keningnya, Ibunya mengantarkan seorang tamu ke kamarnya. Tamu yang ingin berbicara empatmata saja. Ya, seorang wanita muda berdiri tepat di depannya. Wajahnya terlihat sangat menarik, rambutnya lurus sebahu, dan bibirnya merah, terlihat sangat lembut sekali.

"Kirana yang mana?" Ulang Didi lagi. Wanita itu tersenyum. Didi sulit mengartikan senyuman di bibir tipis itu.

"Kau akan ingat aku, Mas."

Tanpa mampu menerjemahkan semuanya, Didi melayang dalam keindahan yang nyata. Kecupan paling ampuh melekat ketat di kelopak bibirnya. Didi mengerti, dia mengikuti semua irama syahdu yang mengaliri nadinya.

"Kirana, kaulah cintaku." bisiknya mantap.

KIRANA, kekasih gelapnya. Istri tetangga, yang berhasil mengembalikan semua ingatannya.


*Pengembangan dari #FM saya yang dikirim ke akun twitter @Fiksimini *

USAHA TERAKHIR - Setelah divonis amnesia oleh dokter, Didi terpaksa mencuri kenangan dari kecupan istri tetangga.