Selasa, 01 Desember 2015

#FFRabu - Cik Melati



Cuaca semakin tak menentu. Sebentar hujan, sebentar mendung, kemudian cerah.
Meski begitu, tidak menyurutkan semangat seorang perempuan yang  sejam terakhir masih berdiri
di halaman. Dia tampak menunduk, menghadapkan wajahnya ke arah kelopak mawar yang mulai
terlepas satu per satu.
Mukanya sendu. Entah memang wajah ayunya selalu terlihat sedemikian pilu.
“Cik Melati, cik Melati, mari menari,”
Terdengar teriakan segerombolan bocah tanpa alas kaki.
Kontan yang diseru namanya melonjak – lonjak, melompat, bersilat – silat.
Cik Melati, begitu dia disebut. Kakak perempuanku yang berwajah sendu. Orang sekampung pasti
mengenalnya. Tua, muda, dan anak – anak. Semenjak diputus paksa keperawanannya, cik Melati
selalu menangis dan tertawa


*** 
100 pas

#FFRabu - Cik Melati
disetor ke mondayFF dengan tema Kakak Perempuan
oleh @Mitha_AdelSanto

#FFRabu - Ketakutan Kakak



“Kak, keluar yuk! Piknik, shopping, atau makan – makan,”

Dia tidak akan menjawab, tidak akan pernah menjawab, sebab dia terlalu menyukai kesendiriannya.

“Kaaaaak,” kali ini kutinggikan sedikit nada suaraku, dan jangankan menyahut, menoleh pun tidak.
Kakak tetap saja berdiam diri di sudut kamarnya.

Kusentuh pundaknya lembut, “Kaaaak,” bisikku.

Lagi, kak Melati tak meresponku.

Melihatnya seperti ini, aku ingin sekali  menangis. Hatiku terbelit oleh rasa cemas yang meradang, 
sebentar lagi ibu tiri kami akan pulang dan masuk kamar dengan berkacak pinggang.
Aku takut. Takut sekali. Apa mungkin? Setelah mengambil lidah dan pendengaran kakak perempuanku, 

sekarang ibu akan mencoba merenggut kakak dari hidupku.


***
100 kata

#FFRabu - Ketakutan Kakak

oleh @Mitha_AdelSanto 

 

Rabu, 25 November 2015

#FFRabu – Kepahitan Yang Masih Belum Berubah



“Pak, semalam adik cerita sama ibu. Sepatu adik sudah rusak parah, pak.”

“Rusak lagi, bu?”

“Iya, alasnya sudah mau lepas, pak. Ibu bingung.”

Djoko menahan napasnya beberapa detik. Ini tahun kesekian masa pengabdiannya sebagai guru bantu di sebuah sekolah dekat rumahnya. Di usianya yang telah melewati kepala empat, Djoko masih setia menjadi salah satu tenaga pengajar meski hanya bergaji kecil.

Alhamdulillah, kepahitan yang masih belum berubah, oleh istrinya sepatu adik masih ditambal dan ditambahi lem setan agar bisa tahan sekuat baja.

“Bilang sama anak-anak, tiga bulan lagi bapak gajian 'kan, bu? Semoga bapak bisa membelikan sepatu baru.” Ujarnya dengan bersemangat.


***
#FFRabu – Kepahitan Yang Masih Belum Berubah
Disetor ke MondayFF dengan tema “GURU”
Oleh : @Mitha_AdelSanto

Sabtu, 14 November 2015

KISAH PUTI SARI BANILAI (Legenda Lembah Harau)



Pagi masih berkabut, ketika di sebuah batang air terdengar gemericik air ditimbakan dan menghempas kembali di sela bebatuan. Begitulah di kampung ini, di waktu subuh aktifitas sudah dimulakan. Riuh rendah terdengar suara - suara perempuan tengah asyik bercakap. Sesekali terdengar serius, sesekali terdengar subuh pecah oleh suara gelak tawa.
"Kau asyik tergelak, Serunai? Awaskan mata, jangan sampai kain yang kaucuci terhanyut pula."
"Iya, Uni. Janganlah Uni merisaukan kain - kain ini, kutengok Uni dari tadi tak jua habis - habis menyabun."

Gadis bernama Serunai tadi tergelak. Dia turun ke air yang dingin itu, melanjutkan membilas pakaian - pakaian yang sudah selesai disabuni.
"Oyaa, kudengar kabar dari mandeh, katanya orang sekampung akan memasak di rumah Rajo Maulana Kari pagi ini." Upiak Gadih memotong gurauan kedua gadis tadi.
"Perihal apa, Uni?" Serunai mengernyitkan keningnya.
"Jadi kalian juga belum tahu? Mandeh bilang petang nanti selepas Ashar Puti Sari Banilai hendak ditunangkan dengan kekasih pujaan hatinya."
Serunai dan Ambun saling pandang. Jadi cerita yang beredar itu benar. Tentang puti cantik anak rajo di kampung mereka, yang hendak membina perkawinan dengan kekasihnya.
"Wah, senanglah hati si Puti Sari Banilai, Uni. Sudahlah anak rajo, cantik rupawan, hendak bertunangan pula sekarang dengan bujang yang mencintainya."

"Nasib baik tertoreh di garis tangan si Puti Sari Banilai, Serunai. Bukan seperti kisau engkau, tahun depan sudah tujuhbelas tahun tapi mandeh kau tak membolehkan kau kenal dengan seorang bujang manapun." Gurauan Ambun kali ini membuat Serunai merengut.
"Sudah, lekaslah. Sebentar lagi matahari naik. Kalian asyik bergurau dari tadi. Lepas ini tentu mandeh akan mengajak kita turut serta memasak ke rumah rajo," Upiak Gadih kembali mengingatkan kawan - kawannya.

***

Di salah satu bilik rumah gadang beranjungan itu, tampak Puti Sari Banilai duduk bercermin merias diri. Baju kurung bermotif kembang melekat cantik di tubuhnya. Puti menatap cermin, dara itu tersenyum. Dia menjalin rambut panjangnya dengan bersemangat. Beberapa waktu lagi rombongan keluarga Bujang Juaro akan datang maanta tando. Itu pertanda tak lama lagi Puti Sari Banilai akan diperistri oleh bujang yang dipilihnya sebagai tautan hati.
"Sari Banilai, kau masih bersolek mematut diri, Nak?" Tentu Sari Banilai hapal betul suara merdu itu. Mandehnya yang masih tampak cantik itu masuk ke biliknya. "Bagaimana perasaan kau, Nak? Kau canggungkah?"
Puti Sari Banilai berbalik ke arah mandehnya. Dia tersenyum. "Indak mandeh. denai sudah siap lahir bathin. Tentulah denai sangat bahagia, sebab tak lama lagi denai akan dipersunting oleh bujang yang baik hati itu."
Mandeh Sari Banun memeluk anak gadisnya. Air mukanya terlihat senang bukan kepalang. Perkara menunangkan anak gadis, hingga menikahkannya kelak Sari Banun tak hendak bermain - main. Itu bukanlah perkara mudah yang bisa disepelekan begitu saja. Sebab di ranah Minangkabau ini segala sesuatu akan selalu bersangkut - paut dengan adat.

"Mandeh tentu ingin kau bahagia, Nak." Sari Banun merapikan jalinan rambut Sari Banilai. "Ya sudah, kau tenanglah di sini. Mandeh hendak ke belakang melihat persiapan untuk jamuan petang nanti."
Puti Sari Banilai mengangguk. Mandeh menyingkap tirai kain pintu bilik dan bergegas keluar. Sebentar lagi, rombongan keluarga Bujang Juaro akan datang. Puti Sari Banilai sedikit merasa resah. Mengingat itu, kedua pipinya kembali bersemu merah.

***

Anjungan rumah gadang masih dipenuhi beberapa orang wanita paruh baya dari pihak pangkal atau pihak yang mananti tando. Mereka asyik menyirih dan menikmati pinang di dalam carano. Air muka mandeh – mandeh dan bundo kanduang  itu terlihat begitu ceria, serupa keceriaan matahari petang yang mulai condong di langit senja.
Rajo Maulana Kari duduk bersila di atas tikar pandan. Acara menanti tando putrinya telah berjalan lancar sesuai harapan. Beliau menghisap lintingan tembakau pucuk enaunya dalam - dalam. Mengembuskan kepulan asapnya kembali ke udara.
Tak jauh di depan, duduk mamak - mamak Sari Banilai, saudara laki - laki dari istrinya si Sari Banun. Mereka juga nampak tengah menikmati nikmatnya rokok ditemani secangkir kopi hitam.
"Lepas pertunangan kemenakan denai, kalian hendak berlayar ke lautan sana. Denai kira itu terlalu berlebih - lebihan." Salah seorang mamak rumahnya mencoba memberi saran.
Rajo Maulana Kari bersandar ke dinding bilik. Matanya menatap ke arah kelompok perempuan di dekat pintu sana. Di antara mereka, Rajo Maulana bisa melihat jelas anak gadisnya tengah tertawa. Mungkin mandeh dan  etek - eteknya terus menggoda Sari Banilai.
"Begitulah, denai ingin Sari Banilai bahagia, Uda. Selepas dia dipinang, tentu tak lama lagi dia akan menikah."
"Denai paham betul itu, tapi untuk membahagiakan hatinya kau tak perlu membawanya berlayar, kau tahu lautan menyimpan banyak mara."
Lelaki itu masih sangat menikmati rokoknya. Dia tak lagi menjawab, bukankah dia hanya ingin menyenangkan hati putrinya. Tentang mara di lautan, Tuhan yang satu punya kuasa lebih.

***

Matahari petang telah rebah di balik pucuk bukit barisan yang menjulang. Bujang Juaro duduk termenung di dekat pokok batang getah habis ditebang. Tadi Buyuang Palala menyampaikan pesan padanya. Pesan dari pihak tunangan terkasihnya si Puti Sari Banilai. Baru beberapa hari mereka ditunangkan, sekarang datang pula pesan yang serasa membuat darahnya badabok – dabok seperti akan ada hal besar yang menyiksa batinnya.
Dari tempatnya duduk sekarang, Bujang Juaro bisa melihat bagaimana Puti Sari Banun berjalan tergesa - gesa. Gadisnya tentulah datang tidak sendiri. Begitulah, sebelum mereka resmi suami istri, mereka belum boleh berjumpaan berdua saja. Sepertinya Sari Banilai datang dengan salah seorang eteknya, dan Bujang Juaro masih sempat menikmati betapa cantik dan jelitanya calon istrinya itu. Berbaju kurung hijau, rambut panjang dikepang dua, dengan selendang melingkar di bahu, dan juga senyuman yang merekah tulus di bibirnya.
"Dinda, Dinda Puti Sari Banilai. Apakah hal yang membuatmu sampai memberi pesan untuk diri denai." Bujang Juaro menyambut Sari Banilai dengan pertanyaan yang menyiratkan kegundahan hatinya.

Puti Sari Banilai duduk di atas batang getah kering, duduk bersebelahan dengan kekasih hatinya. Dia menunduk, tak berani bertatapan mata dengan Bujang Juaro.
"Dinda Puti, jawablah tanya hati denai, dinda. Sebelum badan diri denai kaku tanpa nyawa sebab menunggu jawaban di bibir engkau."
"Iya, kanda. Denai sengaja meminta engkau datang. Sebab - "
"Sebab apa, dinda? Terangkanlah." Desak Bujang Juaro tidak sabar. Gemuruh di dadanya sukar dijelaskan. Seakan - akan ada sesuatu yang akan hilang dan direnggut paksa dari hatinya. Pemuda itu menatap tunangannya dengan resah.
"Kanda, selepas kita bertunangan. Hari dan tanggal pernikahan kita sudah ditetapkan. Pun selepas musim panen tahun ini kanda dan denai akan bersanding di pelaminan sebagai anak daro dan marapulai." Puti Sari Banilai masih tetap menunduk. Pantangan bagi seorang perempuan menatap wajah pasangan yang belum menjadi suaminya.
"Lantas, di mana permasalahannya dinda?"
Puti Sari Banilai mengangkat wajah, melepaskan pandang ke arah langit jingga. Sulit baginya memilih kata yang tepat untuk diucapkan. "Begini, kanda. Ayahanda Rajo Maulana Kari, hendak membawaku berlayar ke lautan sana. Beliau ingin merayakan atas kelancaran pertunanganku dengan kanda tempo hari."
"Dengan berlayar ke seberang lautan sana, dinda?" Bujang Juaro tak mampu lagi menahan gejolak hatinya. Serasa bumi tiba – tiba terbelah dan menelan raganya hidup - hidup.
"Kanda, tenanglah. Kanda harus tahu, denai hanya pergi beberapa hari. Setelahnya kita akan bertemu kembali. Denai berjanji. Allah Tuhan nan Satu menjadi saksi."
Dari kejauhan di arah perkampungan cahaya suluh mulai dinyalakan. Cahayanya berpendar seperti bintang - bintang yang bertebaran.
"Baiklah, dinda. Denai mengerti. Berjanjilah, kita akan saling menjaga cinta meski jarak terbentang berbatas lautan sekalipun. Berjanjilah, Dinda Puti Sari Banilai."
Puti Sari Banilai berdiri, beberapa meter di belakang kekasihnya. Dia mengangguk setuju. "Baiklah, kanda. Denai bersumpah tak ada yang bisa memisahkan kasih sayang kita. Apabila denai meninggalkan kanda Bujang Juaro, maka Allah Tuhan nan Satu jadi saksi, biarlah badan diri denai berubah menjadi batu." Gadis itu menyampaikan sumpah janjinya dengan bersungguh - sungguh.
Alam bergemuruh hebat. Angin berembus meliukkan dahan - dahan pohon getah. Berderau - derau seakan melumatkan dahan dari batangnya. Bujang Juaro menatap wajah kekasihnya, hatinya tak lagi sesak setelah mendengar sumpah janji setia itu.
"Baiklah, dinda nan kukasihi. Denai terima sumpah janji engkau. Begitupun pada diri denai, pabila cinta kita denai khianati, maka Allah juga jadi saksi denai terima pabila badan diri berubah menjadi seekor ular besar. Denai bersumpah !!!"

***

Lautan biru membentang luas. Langit cerah, matahari terang. Air laut terlihat berbuih - buih saat badan kapal melaju membelahnya.
"Engkau bisa memilih - milih kain tercantik untuk kaupakai, Puti Sari Banilai. Kain terbaik untuk pernikahan engkau."
Begitulah cerita mandeh sepanjang perjalanan mereka. Tetapi dua hari sudah mereka terapung di lautan, dan daratan yang hendak dituju belum jua terlihat di pandangan. Puti Sari Banilai hanya berdiam di bilik sempit di lambung kapal. Ayahandanya begitu senang bisa membawa anak gadisnya berpesiar. Ketika mencapai daratan nanti, bolehlah mereka membeli berbagai macam barang untuk persiapan pernikahan Puti Sari Banilai nantinya.
Beberapa jam saja, cuaca berubah gelap. Langit menghitam sepekat - pekatnya. Laut yang sebelumnya tenang berubah menjadi gulungan ombak besar. Menghempas - hempas badan kapal yang ditumpangi anak - beranak itu.
"Apa hal ini, Ayahanda." Rarau Puti Sari Banilai dari biliknya. Mandeh Sari Banun berlari dan merengkuh putrinya.
"Berdoa, Puti Sari Banilai. Mengucaplah anakku. Allah tengah menguji kita. Badai dan gelombang besar tengah menghadang, Nak." Mandeh dan anak itu berpelukan. Bibir - bibir keduanya terus berucap doa - doa.
"Tetaplah di bilik, jangan keluar sebelum badai lepas berlalu." Teriak Rajo Maulana Kari dari bagian atas kapal. Beliau dan nakhoda kapal berusaha sekuat mungkin mengendalikan kapal saat dihempas gelombang dan ombak besar. Hujan besar turun, kapal kecil terombang - ambing.

***

Matahari pagi membangunkan Rajo Maulana Kari, beliau langsung teringat dengan anak istrinya. Lelaki paruh umur itu menghambur ke lambung kapal. Dikuakkannya daun pintu dan menemukan anak - istrinya masih tertidur berangkulan.
"Dinda Sari Banun, Puti Sari Banilai, bagaimana keadaan engkau berdua?" Jeritnya cemas. Mandeh Sari Banun tararau saat melihat suaminya datang.
"Ada hal apa, kanda Rajo? Bagaimana kondisi lautan? Kau pun tidak apa - apa bukan?" Rajo Maulana mengangguk. Beliau memastikan segala hal pada anak istrinya dalam keadaan baik.

"Tuanku Rajo, lihatlah..."
Tuanku Rajo Maulana Kari bergegas naik, itu suara si Buyuang. Beliau menyaksikan kapal mereka terjepit di antara bebatuan karang dan tebing besar beberapa puluh meter dari pantai.
"Tuanku, badan kapal kita tersangkut sudah, melekat kuat ke tebing ini. Arus laut semalam membuat kapal kita terantuk dan terjepit di antara karang." Jelas Buyuang sambil menyeka keringatnya.
Matahari semakin meninggi saja, Rajo Maulana Kari memutuskan turun sebentar ke dalam air dan melihat kondisi kapalnya. Beberapa bagian kapalnya rusak, tersekat oleh batu besar itu.
"Buyuang, ulurkan temali. Kita harus lekas menambatkan kapal di batu sana. Kalau tidak, mungkin kapal kita tak akan bertahan. Bisa saja kapal kita karam" Rajo Maulana Kari menunjuk bebatuan besar yang menjulang di depan kapalnya.
"Baik, Tuanku."
"Buyuang, setelah kapal ditambatkan, kau uruslah segala perlengkapan yang masih bisa dibawa." Buyuang kembali mengangguk, sementara Rajo Maulana tergesa menjemput Puti Sari Banilai dan istrinya Sari Banun.
Mereka turun ke air dan berjalan menuju pantai. Mereka berdoa semoga ada penduduk yang akan membantu mereka. Puti Sari Banilai tertegun sejenak, dia teringat akan satu hal, akan pujaan hati yang kini entah berada di daratan mana.

***

Yang Maha Kuasa selalu punya cara untuk menolong, beberapa hari sudah berlalu sejak badai besar murka di lautan tempo hari. Rajo Maulana Kari dan keluarga dibantu dengan senang hati oleh penduduk kampung pulau itu. Kiranya kampung itu dipimpin oleh seorang penghulu adat yang bernama Rajo Darah Putiah.
"Kami berlayar dari tanah Hindustan, Tuanku. Semalam badai dan gelombang besar menyeret kapal kami. Sangat beruntunglah kami sekeluarga selamat. Hanya saja, kapal yang kami tumpangi rusak parah dan terdampar di bebatuan dekat pantai." Jelas Rajo Maulana Kari saat perjamuan makan yang disuguhkan di hari pertama rombongan keluarganya tiba di sana.
"Lautan memang menyimpan banyak rahasia, Tuanku. Terkadang cuaca tak bisa kita terka. Kemalangan atau keberuntungankah yang menghadang di depan mata, kita tiada pernah akan tahu rahasia Yang Maha Kuasa."
"Betul sekali, Tuanku. Lantas perkenalkan, Tuanku Rajo Darah Putiah. Istri denai yang bernama Sari Banun, juga anak gadis denai satu - satunya yang bernama Puti Sari Banilai."

***

Tahun - tahun berlalu cepat sesudah keluarga Rajo Maulana Kari memilih tinggal dan menetap di kampung itu. Pun hari ini, pernikahan Puti Sari Banilai dilangsungkan dengan megah. Masyarakat kampung bergotong royong memasak berbagai jamuan untuk perhelatan. Beberapa kerbau disembelih, ayam dan itik juga ikut dipotong.
"Beruntung benar nasib si Rambun Paneh, bujang segagah dia bisa mempersunting dara jelita dari Hindustan. Sudahlah dia dara baik hati, cantik rupawan pula." beberapa gadis muda berceloteh sambil memasak untuk perjamuan.
Di pelaminan nan megah, anak daro duduk bersisian dengan marapulai, keduanya memakai pakaian pengantin terbuat dari beludru berwarna merah. Beludru terbaik yang pernah ada, kainnya lembut bertitahkan emas, berkilau - kilau ditimpa cahaya, pun juga dengan  suntiang yang melekat anggun di kepala Puti Sari Banilai.
Keduanya tak henti - henti tersenyum gembira. Sementara itu di seberang pulau sana si Bujang Juaro menekan dadanya berkali - kali. Dadanya yang selalu nyeri setiap membayangkan rupa elok pujaan hatinya. Bertahun Bujang Juaro menunggu kepulangan kekasih yang tiada dia tahu keberadaannya. "Dinda Puti Sari Banilai, Di manakah engkau, dinda?"

***

Tersebablah setelah pernikahan itu, Puti Sari Banilai melahirkan seorang putera. Rajo Maulana Kari tentulah sangat berbahagia. Satu – satunya cucu kesayangan yang selalu dimanjakan - manjakannya.
"Atuk, marilah bermain." Ajak cucunya memaksa. Rajo Maulana Kari yang sudah tak muda itu selalu menuruti kehendak cucunya. Bahkan beliau membuatkan mainan dari bambu.
"Jangan jauh - jauh, Jang. Mainlah di dekat atuk. Nanti kau terjatuh pula ke laut."
Cucunya yang dipanggil Bujang tergelak, dia memutar mainannya dengan penuh semangat dan nasib malang terlempar pula mainan itu ke laut. Tentu saja bocah itu menangis menjerit - jerit, dan tentulah saja Rajo Maulana Kari jadi kehilangan cara untuk menenangkan.
"Apa hal ini, kenapa anak bujang mandeh tersedu sedan begitu?" Puti Sari Banilai menghampiri anaknya. Dia membelai rambut Bujang dengan penuh kasih sayang.
"Mandeh, mainan denai jatuh ke laut. Ambilkan kembali, mandeh. Mainan denai harus balik selekasnya."

"Nantilah atuk buatkan lagi, Jang. Seberapa yang engkau mau akan atuk buatkan." bujuk Sari Banun pula.

Si Bujang kian meraung tak jelas. Air matanya bercucuran seperti hujan yang turun saja. Puti Sari Banilai menarik napas dalam - dalam.
"Sudah, Nak. Kau tunggulah sejenak di sini. Mandeh akan menyelam dan mengambilkan mainan kau. Tapi kau harus berjanji, tetaplah diam dan menunggu di sini."
Puti Sari Banilai mengecup kening Bujang. Tanpa berpikir panjang, dia langsung terjun ke laut. Menyatu dengan ombak laut yang berbuih - buih. Langit mendadak gelap. Mendung terlihat hitam pekat. Sungguh malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, ombak besar datang lantas menyeret tubuh Puti Sari Banilai. Menyaksikan itu, Rajo Maulana Kari dan Sari Banun menjerit ketakutan, "Putiiiii Sariiii Banilai, Tolooonggggg... toloongggg.... selamatkan anak ambo."
Puti Sari Banilai pasrah, membiarkan ombak menarik tubuhnya. Dalam keadaannya saat itu Puti Sari Banilai berulang kali menyebut nama Tuhan, "Yang Maha Kuasa, apa benar salah dan dosa denai. Surutkanlah air laut-Mu, denai pasrahkan pada-Mu segala persoalan perihal hidup dan mati."
Guntur dan kilat bersahutan, angin bertiup kencang sekali. Sari Banun menangis dan menjerit. Dia memeluk si Bujang yang ikut menangis. Penduduk sekampung berdatangan sudah, tapi apa hendak dikata. Mereka pun juga sama tak berdaya. Pabila ikut melompat ke laut sama saja mengantarkan nyawa saat ombak dan gelombang sebesar ini.
Dalam keadaan pasrah, Puti Sari Banilai bisa merasakan bagaimana kedua kakinya terasa berat. Namun anehnya, Yang Maha Kuasa mengabulkan doanya, air laut tiba - tiba surut. Seperti tertarik sesuatu dan meresap ke dalam bumi. Kedua orangtuanya juga penduduk lain hanya terbelalak dari atas tebing bukit sana. Lautan mengering sekejap mata.
Puti Sari Banilai semakin pasrah. Air laut telah surut, namun anehnya Puti sari banilai merasakan tubuhnya semakin berat dan kaku saja. Terlebih kedua kakinya, enggan digerakkan sama sekali. Saat itulah Puti Sari Banilai teringat sesuatu. Sesuatu yang bertahun terlupakan sudah olehnya. Bujang Juaro, perihal janji dan sumpah setia. Tiba – tiba saja Puti Sari Banilai tararau, tangisan dan raungannya terdengar sangat memilukan hati. Orang sekampung bergegas turun ke laut yang telah mengering.
Putiiii, Putiiiii...” Jerit mereka pula.
Puti Sari Banilai terus menangis meraung – raung. Sumpah janji yang dulu terucap telah terlaksana, sebelum semua terlambat dia terus membaca doa. Hingga tak lama berselang, perlahan - lahan seluruh tubuhnya kaku dan berubah menjadi batu.
Semua penduduk yang menyaksikan ikut meraung dan mararau. Suara arauan mereka menyatu dengan kesakitan yang dirasakan Puti Sari Banilai yang termakan sumpahnya sendiri.

***

oleh : Ramita Zurnia
twitterku : @Mitha_AdelSanto 


Lembah Harau adalah sebuah ngarai dekat kota Payakumbuh di kabupaten Lima Puluh Kota, provinsi Sumatera Barat. Lembah Harau diapit dua bukit cadas terjal dengan ketinggian mencapai 150 meter. Lembah Harau .dilingkungi batu pasir yang terjal berwarna-warni, dengan ketinggian 100 sampai 500 meter. Topografi Cagar Alam Harau adalah berbukit-bukit dan bergelombang. Tinggi dari permukaan laut adalah 500 sampai 850 meter, bukit tersebut antara lain adalah Bukit Air Putih, Bukit Jambu, Bukit Singkarak dan Bukit Tarantang.
Konon, nama "Harau" diambil dari kata "orau / arau" yang berarti jeritan/raungan.
*Catatan kaki :
Batang air                   : sungai kecil berarus deras
Uni                              : sebutan untuk kakak perempuan
Mandeh                       : ibu
Puti                              : Putri
Rajo                             : Raja
Rumah gadang            : Rumah adat Minangkabau
Maanta tando              : Datang untuk meminang
Denai                          : aku
Indak                           : tidak
Mananti tando             : pihak perempuan yang menunggu pinangan
Mamak                                    : paman / saudara laki – laki ibu
Kemenakan                 : keponakan
Etek                             : sebutan kepada bibi
Uda                             : abang
Mara                            : bahaya / aral
Badabok – dabok        : berdebar – debar
Anak daro                   : pengantin perempuan
Marapulai                   : pengantin laki – laki
Suluh                           : obor / penerang
Berderau – derau        : berderak
Rarau / arau / rarauan: raungan / raung / meraung
Bujang                         : pemuda
Dara                            : anak gadis
Suntiang                      : hiasan di kepala pengantin Minangkabau
Atuk                             : kakek