Aku bergidik. Bulu–bulu kudukku langsung meremang sendiri.
"Beberapa kali pedagang nasi goreng keliling diganggu saat melintasi tempat itu," celetuk seorang pengunjung warung kopi tempatku biasa nongkrong dan minum kopi.
"Gilanya, bukan di jam–jam tengah malam lagi, tetapi bakda Isya. Bukankah ini terlalu berani." seorang pak tua di bangku paling ujung ikut menambahi.
"Sebenarnya, tempat macam apa itu, pak?" Aku sungguh tertarik–meski tak bisa kupungkiri bahwa aku juga sangat anti dengan hal seperti ini. Namun rasa penasaranku kali ini membuatku malah menepis perasaan itu.
"Kau belum tahu? Tempat itu, dulunya ditempati oleh satu keluarga yang kaya raya. Kemudian terjadi musibah memilukan, suatu waktu–terjadi perampokan–dan sekeluarga, mereka sekeluarga tewas dibantai,"
"Semuanya? Tidak ada yang tersisa?"
Beliau menggeleng cepat, kuperhatikan lelaki tua beruban itu meneguk kopinya sampai habis, dan berbisik, "Tidak ada satupun yang selamat–tragisnya lagi, anak perempuan tuan kaya raya itu, digilir terlebih dahulu sebelum dihabisi nyawanya."
Bapak–bapak yang lain mengiyakan, aku sedikit merinding saat angin bertiup mengenai tengkukku.
"Arwahnya penasaran, begitulah yang kudengar, dik. Yang sering menampakkan diri dan menggoda para pejalan kaki di depan rumah itu ya sosok anak perempuan tadi." Pemilik warung ikut menambahi.
"Duh, kasihan ya pak, kok saya malah kasihan mendengar nasib buruk yang menimpa gadis itu,"
"Aaah, sudahlah Marta. Mari lanjut ngopi, jangan terlalu dipikirkan, nanti gadis itu malah mencarimu. Hahahaa, ahh, bukannya kamu sudah janji mau menemani saya main catur malam ini," bang Aditra pemilik warung menepuk bahuku, sebenarnya ada hal yang mengganjal di pikiranku, namun saat mencoba mengingatnya dengan jelas, aku malah merasa otakku buntu.
***
Sebenarnya aku sudah mulai lupa dengan cerita–cerita seram yang kudengar. Namun entah mengapa, malam membawaku kembali pada ingatan yang tidak wajar.
Meski tidak pernah kucoba memberanikan diri untuk sekedar menguji nyali dengan masuk atau mendekati bangunan tua yang nyaris roboh itu – anehnya malam ini – aku merasa sangat tidak nyenyak dengan tidurku. Di benakku terus saja terbayang–bayang tempat itu. Tempat yang selalu kulewati setiap hari, entah saat akan berangkat ke kantor atau ke manapun aku pergi. Masalahnya, rumah itu berdiri persis di persimpangan menuju komplek perumahan yang kutempati.
Aku gelisah sekali. Berkali–kali kuhempaskan tubuhku di kasur yang terasa kaku, hawa gerah menyerang meski sebenarnya dingin AC yang kusetel sama persis dengan malam–malam biasanya.
Tiba–tiba, selenting cerita itu terbersit kembali di kepalaku. Tentang gadis yang diperkosa dan dibantai oleh para perampok jahanam itu.
Aaah, aku paham betul bahwa itu bukan urusanku. Sudah pasti takdirlah yang membawa gadis itu ke dalam bencana yang memang sudah digariskan Tuhan untuknya. Takdir yang kejam, sudah pasti – begitulah pikirku.
Dingin AC malahan membuat keringatku tumpah. Memang malam ini terasa sangat aneh. Aku memang tidak akan menggubrisnya, sebab mungkin malam ini udara memang sangat panas, ditambah dengan musim kemarau yang menyembunyikan hujan berbulan–bulan sudah.
Tik tok tik tok
Detak jam di dinding terdengar mendominasi malam. Aah, pukul 01:15. Kupilih untuk segera membuka jendela kamar, membiarkan angin malam menggapai–gapai kulitku, dan menjamah segala keresahanku.
Semua masih terlihat baik–baik saja. Hingga ekor mataku menangkap sosok perempuan dengan jarak beberapa meter dari arahku saat ini. Dia mengenakan gaun pendek selutut, berwarna merah, merah menyala, serupa warna darah – kontras sekali saat kulitnya terlihat bercahaya dipantulkan oleh temaram lampu taman di halaman rumahku.
Perempuan bertubuh mungil – seorang gadis? – dan entah apa yang dilakukannya di tengah malam buta seperti ini. Tetapi tunggu, bukankah rumahku berpagar tinggi hampir mencapai dua meter, lantas dari mana datangnya gadis itu–jika aku sendiri telah mengunci rapat pagar di gerbang depan.
***
Aku masih memperhatikannya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menapak di tanah. Itulah yang pertama kali ingin kupastikan. Sebab memang sungguh tidak masuk akal apabila yang kudapati adalah dua kakinya mengambang di udara– ditambah suara cekikikan– dan tubuhku dipastikan langsung lemas tak berdaya.
"Hei, sedang apa?"
Hening. Dia tidak langsung menjawab. Memang sudah kuputuskan untuk keluar dan menghampirinya. Toh, ini masih berada di kawasan halaman rumah, jadi pastilah tidak se–horror perasaan cemasku saat mendengar kisah dari pengunjung warung.
"Haii, Nona. Kau sedang apa–bukankah ini sudah terlalu malam bagi seseorang–berada di luar rumah."
"Aku–tidak bisa pulang."
Akhirnya, sedikit rasa lega membuat rasa cemasku lenyap seketika. Gadis ini sudah pasti makhluk yang sama sepertiku, "Loh, ada apa? Nona minggat dari rumah? Kenapa? Apa nggak sebaiknya anda menunggu hingga pagi datang, dan mencoba bicara baik–baik dengan keluarga anda, kurasa mereka pasti akan mengerti, dibandingkan anda harus berada di sini tengah malam begini, dan –"
"Aku tidak bisa pulang,"
Kalimat yang masih sama, lagi gadis itu menjawab dengan jawaban yang sama. Kuperhatikan rambutnya yang sebahu, menutupi hampir separuh dari wajahnya saat dia terus menunduk seperti itu. Aku ingin melakukan sesuatu, namun aku sendiri tidak tahu harus menawarinya untuk masuk ke dalam rumah–atau memintanya pergi dan kembali pada keluarganya.
"Nona–maafkan saya, namun ini sudah terlalu malam. Nona sebaiknya pulang dan kembali, tidak baik bagi seorang perempuan masih berada di luar seperti ini,"
Ooh, naluri membawaku berada tepat di depannya. Berhadapan. Ya, aku berhadapan langsung dengannya. Dia mulai menangis. Kontan, aku jadi panik setengah mati.
"Nona, ohh, tolong jangan menangis seperti ini, saya, saya tidak ingin para tetangga berdatangan dan menghakimi saya nantinya. Ayolah, katakan di mana rumah anda, akan saya bantu mengantar anda kembali pada keluarga anda."
Perempuan itu semakin terisak–isak. Suara tangisannya menyatu bersama deru angin malam. Aku kebingungan, bahkan aku sampai menyumpah–nyumpah di dalam hati.
Tuk tuk, tuk tukkk
Suara kentungan khas petugas keamanan mulai terdengar tak jauh dari rumahku. Pastilah beberapa menit lagi mereka akan melintas di depan rumahku. Ohh, apa yang akan kukatakan jika mereka menangkap basah aku–dan seorang perempuan yang sedang menangis–di pekarangan rumahku sendiri.
Tuuk tukkk, tuukkk tuuukkk
"Aaah, ayolah nona, hentikan tangisanmu. Saya saat ini sangat tidak mengerti dengan kesulitan anda, namun tolong, jangan beri saya kesulitan juga–"
Tuuuk tuuukk tukkk tuukkk
Suara kentungan semakin dekat saja. Dan perempuan ini masih menunduk. Semakin menyimpan mukanya dalam–dalam. Kepanikan membuatku tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Nona ini, masih saja terisak–isak.
Ohhh Tuhan, satu, dua, tiga. Ketiga petugas keamanan itu melongok ke arah kami. Kupastikan cahaya lampu taman akan sangat memudahkan mereka untuk menangkap tubuh kami dari balik pagar sana.
"Dik Marta– lhooo, apa yang kamu lakukan malam–malam begini?" Salah seorang dari mereka terkaget–kaget mendapatiku duduk di luar rumah seperti ini.
"Iyaa Pak, aku tak bisa tidur–dan anu Pak, jadi begini– sebenarnya,"
"Dik Marta, jangan keseringan berada di luar seperti ini, sendirian lagi, nanti kesambet loh," Sambung petugas satunya.
"Tapi saya tidak sendirian, Pak. Ini, Nona ini sepertinya butuh bantuan–"
"Dik, kamu tidak sedang mengigau bukan?"
"Maksud, Bapak?"
"Yaa itu maksudku, kamu sendirian di luar malam–malam begini, apa ndak sedang mengigau itu namanya. Malah nanti kamu bisa ditaksir hantu atau jin, hahahaa."
Aku semakin tidak mengerti, mendengarmya jelas–jelas membuat perasaanku juga semakin terasa tidak enak. "Sendirian? Eeeh, tapi, Pak."
"Sudah, dik Marta masuk saja. Kami lanjut ngeronda ya Dik."
Tuuk tuuuk, tukkk tuukkk
Suara kentungan itu kembali terdengar. Semakin lama semakin menjauh. Aku berbalik, dan perempuan itu masih duduk di tempatnya. Masih menunduk. Masih membiarkan separuh wajahnya tertutupi oleh rambut.
Anehnya, aku tidak merasa takut. Aku bersyukur, dia sudah tidak menangis lagi. Paling tidak, satu masalah sudah teratasi.
"Nona, heii–jika anda tidak ingin pulang, baiklah, sebaiknya anda masuk bersamaku. Angin malam terasa semakin dingin, anda tidak ingin berada di luar semalaman bukan?"
Aku berdebar. Berdebar menunggunya mengangkat wajah. Poni–poninya tersibak, aaaah, dia tersenyum–namun tatapan dari kedua matanya terlihat kosong. Dia begitu cantik, aku tahu dia sangatlah cantik–meskipun wajahnya terlihat membiru, dan darah segar terus saja menetes–netes dari hidung dan bibirnya yang pecah, berbaur dengan gaunnya yang merah darah.
***
Words : 1303
#HorrorisR – "Gadis Bergaun Merah"
Ohh, Menjawab tantangan di genre #FiksiHorror rasanya memang masih sulit. Gilanya, ini fiksi terpanjang yang kuselesaikan dengan peluh bercucuran. Gas pollllll, serem atau tidak, tetep bersemangat deh. =D
Oleh : Ramita Zurnia
Twitterku : @Mitha_AdelSanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar