Kamis, 24 September 2015

#FragmenKemarau - Luka


"Kamu harus bisa menerima semua itu, Zai. Yang terpenting sekarang adalah masa depanmu bersama anak–anak."

Ingatan Zaida kembali mengantarnya pada kenangan itu. Kenangan yang pada dasarnya hanya membuat hatinya teriris. Merobek luka lama yang sudah pasti semakin berdarah–darah.

Hatinya terenyuh lagikah?
Zaida menatap petang sedikit lebih lama dari biasanya. Angin musim kemarau berembus lembut mengusir hawa panas yang terus membuat otaknya gerah.

"Zaida, kau bisa menungguku sedikit lebih lama bukan? Tidak terlalu lama, hanya sedi....kit lebih la....ma dari kepergianku biasanya."

***

Malam itu udara terasa begitu memuakkan. Tetes peluh sudah meminta dibasuh. Pasti menyenangkan sekali jika bisa diguyur air sejuk dari pancuran di belakang rumah, sekaligus mengguyur kepedihan yang hanya membuat sesak.

Tetapi tidak, malam ini Zaida rela bermandi keringat, setelah menuntaskan kewajibannya saat Baskoro menariknya gemas hingga mereka menyatu berulang–ulang.

"Aku selalu saja merindukanmu, Zai."

Ahhh, merindukannya?
Perempuan itu tidak lantas menyahut. Baskoro mengulurkan tangan, merengkuh segala kegundahan yang sudah bisa dipastikan telah membelit hati istrinya.

"Kau akan pergi?"

"Ya, Zai."

"Kapan?"

"Secepatnya. Maksudku, besok."

"Besok????" Zaida bisa merasakan bagaimana ulu hatinya seperti diremas–remas hingga hancur tak berbentuk. Melihat anggukan Baskoro, bibir Zaida seakan terkunci rapat.

Ohhh.
Zaida menepis rasa dongkol sekaligus kekecewaan di hatinya. Membantah dan berdebat, hanya akan menunjukkan sisi lemahnya saja. Sementara tangisnya sekalipun tidak akan menyurutkan niat Baskoro.

"Zai, sayangku. Ayolah, jangan jadikan malam terakhir kita rusak hanya sebab perasaanmu. Aku ingin berlama–lama menikmati madumu dan tenggelam dalam keindahan. Jangan rusak apa yang sudah menjadi hakku."

Zaida hanya bisa menelan rasa pahit, sementara Baskoro benar–benar berpuas diri mereguk apa yang dikatakannya sebagai haknya. Entah sudah ke berapa kali Baskoro melambungkan rindu ke awang–awang, sementara pikiran Zaida terus saja menerawang.

Bukan, tidak, tidak!
Bukan begini seharusnya. Sebagai istri, aku ingin menyampaikan keinginanku, bukan lantas menerima apapun yang sudah diputuskan. Seharusnya kau mengajakku berembuk, Baskoro! Bukan mendesakku menerima keputusanmu!

Zaida meringis. Batinnya menangis. Sementara tubuh suaminya telah terkulai lemas di sisinya. Nyenyak sudah dalam dengkuran–dengkuran yang terdengar memuakkan.

***

Elia merengek dari ayunan kainnya. Zaida datang tergopoh, lantas meraih tubuh putri kandungnya.

"iyaaa, ibu di sini, sayang. Ibu bersamamu, Elia."

Dikecupnya dahi dan kedua pipi gadis kecilnya itu berkali–kali. Elia mulai merengek kembali. Sudah pasti bayinya itu kehausan.

Zaida duduk di bangku kayu yang berada di sisi jendela. Menyusui Elia sembari menatap kuntum–kuntum bunga dahlia terlihat pucat di ranting kemarau yang sebulan terakhir membakar semesta. Zaida membiarkan angan–angan membawa dirinya ikut berguguran bersama kembang–kembang jambu yang luruh tertiup angin.

Aahhhh
Zaida tak ingin terbawa suasana. Beberapa detik, ada yang mampir di benaknya, menusuk–nusuk ingatan yang membuat dadanya bergejolak.

Ini sudah tahun ketiga. Musim kemarau tahun ini terasa begitu parah. Separah pemberitaan yang dikabarkan oleh media massa, seperti musibah kemarau dan kekeringan, belum lagi musibah kabut asap yang merajalela di Sumatera dan Kalimantan sana.

Zaida menarik napas dalam–dalam, lantas mengembuskannya kembali ke udara. Elia kecil sudah kembali nyaman di pangkuannya. Bahkan Elia mulai melepaskan hisapan dari puting Zaida.

Tahun ketiga.
Kegundahan yang sama masih membelenggunya. Zaida hanya tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Bukan karena dia tidak ingin melepaskan diri, hanya saja dia selalu mencoba menerima takdir. Ya, takdir

Seperti lirik lagu dangdut yang dijeritkan oleh radio tetangga. Bukan tentang bang Toyib yang tak pulang–pulang, melainkan tentang suaminya. Yaa, Baskoro belum menunjukkan batang hidungnya. Semenjak percumbuan terakhir mereka di malam itu, kemesraan yang ternyata membuahkan seorang anak yang harus dikandungnya sendiri selama sembilan bulan.

"Zai, kau bisa menikah lagi."

"Aku tidak berminat menikah lagi, mak."

"Kau masih muda, tak perlu menunggu Baskoro kembali, toh sejak dia pergi mengabarimu saja dia tidak pernah, Zai."

"Takdirku, mak. Biarlah." Zaida akan memeluk tubuhnya sendiri. Menahan genangan di matanya dan membendungnya beberapa detik sebelum akhirnya semua luruh juga di pipinya.

***

Teruntukmu,
Yang terkasih,

Kemarau tahun ini, Zaida.
embus angin terdengar menghempas–hempas. Kepahitan demi kepahitan mencambuk diriku. Musim berlalu berkecamuk, semua terasa menyakiti diriku, hatiku.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku masih saja berkutat dengan helai–helai kenangan bisu. Yang terus saja menghadirkanmu, rupamu, dirimu, dan dirimu.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku masih tak bisa mengubah takdir. Meninggalkanmu, ternyata adalah kesalahan terbesar yang pernah kuputuskan, Zai.

Kemarau tahun ini, Zaida
Angin terasa begitu dingin. Belulang terasa meremuk saja. Mungkin, alampun tahu bahwa aku sendiri tak lagi mendapatiku ruhku berada di dalam ragaku.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku pergi, darimu selamanya.
Aku pergi, tanpa bisa mencoba tuk menemukan jalan pulang, hingga aku memilih mengakhirinya. Maafkan aku.

"Baskoro, suamimu"

***

Words : 740

#FragmenKemarau - "Luka"
Sepertinya, fiksiku kali ini sedikit sendu. Sengaja kutulis untuk menjawab tantangan Mimin @KampusFiksi. Namun, sedikit terlambat, ada beberapa kendala di dunia nyata yang membuatku harus gigit jari, ehh terlambat untuk posting di blog.
But, its okay. Tulisan yang sudah jadi sayang untuk dibiarkan. Jadi, tetep kuposting.
So, Selamat membaca. :))

Ramita Zurnia (twitter: @Mitha_AdelSanto)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar