Aninda terpelanting.
Udara malam membuat kulitnya terasa perih. Hawa dingin tiada henti menusuk - nusuk hingga ke tulang.
"Owww,"
Rasa sakit di pergelangan kaki membuat Aninda segera tersadar. Oooh. Aninda menyumpal mulutnya sendiri. Bukankah ini adalah taman di belakang rumah. Aninda mengucek matanya berkali - kali, memastikan semua yang terpampang di depan matanya bukan mimpi.
"Owww." Aninda kembali meringis. Trik mencubit kulit sendiri membuatnya sangat yakin sekali. Dirinya memang berada di antara pohon palm di belakang rumah. Tak habis pikir dengan apa yang terjadi, Aninda memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
"Sepertinya aku mengigau, dan berjalan di dalam tidurku." Seperti itulah hal yang terlintas sejenak di benak Aninda malam ini. Aninda hanya ingin tidur dan menebus waktu istirahatnya hingga esok pagi.
"Kamu yakin bahwa itu tidak ada kaitannya dengan hal mistis, Anin?" Suara Kinaya terdengar bergetar. Kinaya menyadari betul bahwa bulu kuduknya berdiri.
Aninda menggeleng. Beberapa potong roti terasa nikmat di mulutnya. Sarapan selalu menjadi suatu kewajiban bagi Anin. Kalau tidak, maka maag-nya akan kembali berkunjung dan kambuh tiada henti.
"Nggak, Nay. Aku hanya kelelahan. Pasti karena itu makanya aku sampai berjalan dalam tidurku. Udah, ah. Jangan mikir yang aneh - aneh deh, Nay. Pleaseee."
Kinaya masih bergidik ngeri. Sebab bisa saja hal yang dicemaskannya itu memang benar - benar dialami oleh sahabatnya. "Tetapi, Aninda, ini sudah kali ketiga -- "
Belum selesai Kinaya menuturkan maksudnya, Aninda telah buru - buru memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya. Kinaya kesal, kali ini, lagi - lagi Aninda tidak mau mendengarkannya.
"Sarapan aja, Nay. Jangan aneh - aneh deh."
***
Kraaaaaakkkk...
Aninda terperanjat. Dia yang tengah asyik menekuri pekerjaannya, langsung terkaget - kaget. Hawa malam ini memang terasa lebih dingin. Aninda mengakui dirinya sangat penasaran dengan asal datangnya suara berderak barusan.
Aninda menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan. Lampu kamarnya mulai berkedip tidak jelas. Entah memang akibat suasana malam yang berangin, namun ekor mata Aninda dengan jelas menangkap daun jendela kamarnya tersingkap dengan tirai vitrase yang dikuakkan angin.
"Lhoo, sepertinya jendela ini sudah kukunci rapat sejak sore tadi. Apa mungkin --"
Aaaah, Aninda menepis prasangka buruk yang hinggap di pikirannya. Aninda menguap lagi. Rasa kantuk membuatnya semakin tidak fokus. Beberapa berkas terlihat masih berserakan menunggunya. Aninda tidak ingin memaksakan diri. Tubuhnya butuh istirahat, pastinya dia tidak ingin tubuhnya memberontak dan jatuh sakit.
Praaaaanggggg...
Aninda baru saja hendak merebahkan tubuh di kasur. Kali ini telinganya menangkap suara pecahan kaca. Dia langsung menghambur, Aninda mulai merasakan keringat dingin bergelayut di tubuhnya. Membuat dia merasa tak nyaman.
Siaaaalllll.. Ada apalagi ini.
Aninda mulai muak saat matanya mendapati pecahan kaca yang berceceran di lantai kamar. Napasnya mulai terdengar tidak beraturan. Dia berjinjit, tentunya Aninda tidak ingin pecahan kaca itu menembus kulit kakinya.
Oohhhh.. Aninda berusaha menahan jeritan. Cermin besar di meja riasnya. Aninda bisa melihat dengan jelas. Beberapa bagian cermin terlihat retak, dan sisanya berderai di lantai.
"BERSIAPLAH ANINDA. AKU AKAN MENCABUT NYAWAMU!!!"
Aninda terhenyak, tulisan bertintakan darah menuliskan namanya di cermin itu. Serupa pembalasan untuk sesuatu. Tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya mendadak pucat pasi. Selintas, dia mulai menggali sisa - sisa ingatan. Beberapa orang terlihat panik dan berlarian, sementara Aninda, dia semakin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan seonggok tubuh berlumuran darah di pinggir jalan.
Aninda meraung. Menjerit kuat.
Mungkinkah kematian sudah di depan mata?
*** (rz) ***
Baiklah, entah mengapa aku kembali mencoba menulis fiksi horror. Mungkin, tidak menyeramkan, tidak menggugah iman dengan rasa takut. Tetapi, aku telah menulisnya sobat. Kutuntaskan dengan sekali duduk dan hasilnya memang seperti ini. =D
Oleh : @Mitha_Adelsanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar