Lelaki itu tetap berdiri. Bayang - bayangnya memanjang oleh lembayung petang. Semilir angin, deru beberapa truk memecah kesunyian, dan sepertinya dia nyaman menyender di salah satu batang pohon ketapang tua yang berdaun rindang.
Aku tak ingin pergi, Miya. Aku terlanjur memilihmu.
Lelaki itu menahan napas beberapa detik. Melonggarkan paru - paru, dan menimbun oksigen kembali. Beberapa ekor murai asyik bertengger di dahan, cericitnya terdengar merdu, menambah kesyahduan petang.
Aaaahhh.
Lelaki itu teramat risau. Kebimbangan hatinya tergambar jelas dari ekspresi wajah. Seandainya Miya mencoba memahami, atau memilih memberi kesempatan sekali lagi. Mungkin kegundahan ini akan sirna dan terhempas disapu angin, tanpa sisa!
Senja semakin melabuhkan diri, beberapa petani telah memanggul pacul dan menggiring hewan ternaknya menuju rumah masing - masing. Lelaki itu menyempatkan diri untuk melempar senyum dan membalas sapaan mereka.
Aaaah, Miya.
Begitu dalam keinginanku untuk meminangmu. Membentuk rumah tangga impian bersama, dan menjadikanmu ibu bagi anak - anakku kelak.
Lelaki itu menunduk sejenak, menahan luapan luka yang tidak sanggup dibendungnya. Bahkan beberapa bulir air mata terlihat tumpah ruah.
"Serkan, kau paham betul apa mauku. Lupakan aku, lupakan mulai detik ini juga!"
"Apa maksudmu, Miya?"
"Kau tentu tahu maksudku."
Miya lantas berbalik dan berlari menjauhinya. Sungguh tega. Bahkan gadis itu tidak lagi menoleh ke arahnya. Jangankan untuk mendengarkan penjelasan, bahkan gadisnya itu tak lagi ingin berlama - lama menatapnya seperti dulu.
Tidak, bukan lagi tatapan sayang.
Tak ada lagi sentuhan mesra.
Benci. Kebencian. Hanya kebencian.
Serkan. Yaaa, semenjak lahir ibu memberikan nama Serkan padanya. Nama yang baik, namun tidak diikuti oleh nasib baik. Serkan ingin menangis sepuas - puasnya. Menumpahkan kesakitan itu sejadi - jadinya. Namun hatinya tetap saja berdarah, meski sekalipun punggung tangannya telah memar menghantam pokok batang ketapang.
"Bang Serkan, Bang, Abang. Bagaimana bisa Abang berada di sini. Lekas pulang Bang!" Teriakan panik seorang bocah membuyarkan renungannya. Bahkan Serkan sendiri baru menyadari bahwa gelap mulai beranjak turun menjemput malam.
"Faisal, ada apa ini?" Serkan terikut panik.
"Kak Miya, Bang. Kak Miya...Aaaah, sebaiknya Abang ikut aku saja. Ayuuuk!"
Mendengar nama Miya, Serkan lantas menghambur. Dengan setengah berlari Serkan langsung mengikuti langkah kaki Faisal.
Miya! Miya! Miya!
Serkan panik. Sebetulnya dia ingin tahu apa yang sedang terjadi, namun bocah itu tidak punya waktu untuk memberi penjelasan.
"Ayuuuk, Bang Serkan. Cepaaat...!!!"
Serkan mulai terbatuk - batuk. Sudah lama sekali rasanya dia tak pernah lagi berolah raga. Berlari sedikit saja jantungnya serasa mau copot saja. Dari kejauhan Serkan bisa menangkap dengan jelas sosok Miya.
Yaaa Tuhaaan!
Serkan mulai merasakan ketidakberdayaan membelenggunya. Langkahnya perlahan melambat. Dia sungguh tidak tahan lagi, situasi ini membuat hatinya berdesir aneh. Sangat aneh.
"Miyaaa, apa yang kaulakukan?"
Serkan berhasil mencapai halaman rumahnya. Nafasnya sedikit terengah - engah. Mendengar seruan pertanyaan itu tentunya Miya menoleh sekaligus berkacak pinggang. Wajahnya yang rupawan terlihat memerah menahan gejolak amarah.
"Aku kembali, Serkan!"
"Apa maksudmu dengan kata kembali?" Serkan melontarkan pertanyaan dengan santai. Dia berhasil menenangkan diri.
"Kembali, Serkan. Aku kembali padamu. Sayang, aku mengandung anakmu!"
Praaang!
Sebentuk hati yang tulus dan setia terpecah berkeping - keping. Serkan memejamkan matanya. Menghela napas berat, beserta menahan ngilu di ulu hati yang timbul akibat mendengar pernyataan Miya.
Miya kembali. Serkan seharusnya menyukai hal ini. Namun badai bergemuruh di sisi lain. Serkan paham betul akan kesalahan ini. Serkan bahkan paham betul dengan kelancangan ini. Serkan terduduk di tanah. Kedua kakinya melemas.
Miya kembali.
Miya mengandung anaknya.
Serkan tidak senang mendengarnya. Sungguh untuk kali ini lelaki itu benar - benar membenci ungkapan hati Miya. Serkan terus mengutuk diri sendiri. Di depan pintu rumah, istrinya terdiam sambil menggendong tubuh bayi Fatimah erat di dadanya dengan air mata bersimbah di dua pipinya. Sementara Miya, gadis pujaannya mematung menunggu pertanggung-jawaban darinya.
*** rz ***
#Fiksiku - "Badai di Bawah Senja"
Yeaaay, :)) :* :*
Menyenangkan sekali, untuk kali ini inspirasi muncul dari langit. Serkan, Serkan, Serkan. Kautimbulkan badai di bawah senja. Kaupaksa keindahan lembayung sirna. :'(
Tengkiyuuuw udah nyempetin baca, gaes. :*
Oleh : Ramita Zurnia
(id twitter: @Mitha_AdelSanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar