"Diamlah, aku tak butuh ceramah! Aku muak mendengarnya!!"
Parau suara penuh penolakan terlontar dari mulut Puspa. Perempuan itu memilih asyik merapihkan ujung rok-nya yang tampak kusut dan berlipat - lipat. Wajahnya terlihat lelah, namun dia tetap menimpakan make - up menor di wajah dan gincu merah menyala di kelopak bibirnya.
"Kapan kau akan sadar, Puspa!"
"Abang tidak usah mengeluh lagi, waktuku tidak banyak. Abang bisa bertenang di rumah." Puspa menyisir rambut tebalnya, dan menyemprotkan cairan parfum ke sekujur badan. Aroma parfum murahan yang dibelinya di pasar menguar di udara, menyempitkan paru - paru siapa saja yang menghirupnya.
Puspa melangkah keluar dari bilik tersebut. Melengos pergi tanpa menatap wajah suaminya. Puspa terseok, sepatu bertali dengan heel hingga sejengkal menahan kecepatan langkah kakinya. Puspa berusaha menahan genangan di kedua matanya. Kesakitan yang terus dia sembunyikan. Ketidak-berdayaan yang selama ini dia tutupi dari suaminya.
Puspa menoleh ke belakang. Suaminya masih termangu di depan pintu. Beberapa bulan terakhir, tanggung jawab itu telah berpindah padanya. Beban hidup keluarga sudah harus berada di pundaknya.
Puspa menahan isakan. Dia harus bekerja. Paling tidak, malam ini dia akan pulang membawa beberapa helai rupiah. Mereka - mereka yang royal dan berbaik hati, akan membayarnya sesuai tarif yang telah disepakati.
Puspa hanya mencoba berdiri di atas kakinya sendiri. Dan entah sampai kapan dia akan berhenti menjajakan diri.
Mungkin, ketidak - nyamanan itu akan berlangsung hingga sepasang kaki mampu dia beli.
Sepasang kaki, untuk suaminya yang sangat dia cintai.
***
Words : 239
Flash fictionku - "Demi Sepasang Kaki"
04 September 2015. =)
@Mitha_AdelSanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar