Cahaya matanya yang bulat, berkilat - kilat menatap ke arah purnama merah yang terlihat membulat penuh. Sesekali udara panas membelit kulitnya, menyisakan kegerahan tak terkira.
Sial, rasanya baru semalam aku tinggal di kota ini. Pergolakan hati seperti itu akan membuat Surti meringis. Dia lantas bersandar pasrah ke kursi rotan tua yang selalu setia menemaninya. Setiap saat, ketika dia menghabiskan waktu - waktu yang ada untuk merenung dan memikirkan nasib. Yaa, memikirkan takdir.
Surti menikmati embusan angin malam di kedua pipinya. Atap. Yaa, beberapa waktu terakhir, Surti selalu menikmati malam di atas atap. Tinggal di puncak tertinggi, permukiman yang menjulang ke langit. Bangunan - bangunan besar tumbuh tak terkendali dari perut bumi. Tiada lagi lahan tersisa, selain setapak yang berbentuk gang - gang sempit. Sesempit hati para penguasa.
Surti selalu menikmati kesendirian ini. Entah karena suatu keharusan, Surti sendiri sudah mulai lupa. Yang tersisa di ingatan tuanya hanya sedikit kenangan manis yang pernah dihabiskan ketika Bang Syamsul masih di sisinya.
Surti kembali menatap langit. Purnama semerah darah. Tertutup oleh tirai asap polusi yang mematikan kota ini dengan perlahan - lahan.
***
Sendiri. Surti selalu sendiri. Setiap penghuni rusun sudah terbiasa jika mendapatinya duduk bersemedi di atas puncak tertinggi. Tidak ada yang akan mengusik. Sebab semua orang terlalu sibuk dan bahkan kekurangan waktu untuk diri mereka sendiri.
Surti akan tersenyum. Menyunggingkan senyuman tulus yang sudah jarang didapati di kota ini. Surti tidak mengerti, dulu selagi Bang Syamsul masih menemaninya, kehidupan mereka teramat berwarna. Bahkan apabila mereka menghabiskan waktu di taman kota, semua orang baik yang mereka jumpai tidak pernah lupa menyempatkan diri untuk tersenyum, ataupun membalas senyum mereka.
Aaah, Surti mendesah pelan. Sepertinya menu makan malam kali ini terasa hambar. Semangkuk mie instan yang diseduhnya tadi pasti terlalu banyak kuahnya. Surti tidak ingin bersikap seperti tetangganya, yang lantas melemparkan potongan roti yang dirasa sudah keras dan tidak enak ke tempat sampah.
Surti menarik napas dalam - dalam. Berusaha mendapatkan oksigen terbaik yang sudah jarang didapatkannya. Pandangan matanya kembali melahap keruwetan kota di bawah sana. Jeritan suara klakson terdengar begitu bising. Surti sudah tidak mengherankan semua itu. Sebab entah kenapa sepertinya sudah tidak ada lagi satu manusiapun yang hendak memelihara rasa sabar di dalam dirinya.
Surti kembali menikmati suapan - suapan dengan penuh rasa syukur. Mengunyah dan melumatnya dengan tidak henti - hentinya berterima kasih kepada Tuhan.
***
Surti masih menekuri diri. Memikirkan seantero negeri penuh oleh manusia dengki. Lalu - lalang di jalanan sana, kota yang tidak pernah henti dengan aktifitas tidak jelas. Seakan hanya menjadi pembatas antara hidup dan mati baginya.
Surti ingin berdiri, kursi rotannya berderit - derit. Udara malam semakin memuakkan. Surti tetap bertahan di atap. Enggan turun menuju anak tangga, ataupun menaiki lift yang akan memanjakan kaki tuanya.
Surti sendiri. Tetap saja sendiri. Kelima anaknya sudah jarang berkunjung dan memperhatikannya. Sesekali, Surti menyalahkan waktu yang berjalan begitu cepat. Tidak jarang pula Surti mencoba sekuat bumi tempat dia berpijak.
Sama saja.
Tidak ada yang berbeda.
Surti menarik diri dari pelukan malam. September, 2065. Semua manusia saling memangsa. Saling memangsa diri mereka sendiri. Membiarkan segala kegelapan menyelimuti hati. Menumbuhkan berjuta ambisi tak terkendali. Surti sangat paham akan hal ini.
"Semua hati sudah mati. Mereka yang masih bernyawa tidak lain hanyalah seonggok jiwa - jiwa yang sekarat. Tidak lebih."
***
Yeaay, Welcome September.
Akhirnya sahabat, Tulisan pertamaku di bulan ini selesai juga. Tentunya sesuai dengan (prompt) #CeriteraSeptember-2 dari kakak - kakak di @KampungFiksi
Selamat membaca. :* :* :*
Oleh : Ramita Zurnia (ID Twitter : @Mitha_AdelSanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar