Ledakan terdengar di mana - mana. Sesekali beruntun, dan beberapa detik hanya ada sunyi serupa suasana pemakaman. Yaa, bahkan aku berpendapat mungkin sebentar lagi akan ada roket yang menukik dan mengoyak daging - daging segar kami.
Aku terhenyak, bumi tempatku berpijak kembali bergetar hebat. Negeri antah berantah dengan penguasa yang nuraninya telah lama musnah.
"Ciiiihhhh." Aku mengumpat, entah sudah berapa lama aku terkurung di bawah langit malam yang bergolak oleh warna merah menyala. Menyuguhkan percikan kembang api raksasa, yang sanggup melahap seisi kota.
Aku menyeret - nyeret langkah di antara reruntuhan, kulayangkan pandangan, tak ada satu pun bangunan yang terlihat utuh. Tentu saja, bom dan roket sialan itu akan meluluhlantakkan semuanya tanpa tersisa.
Kutahan rasa sakit yang menjalari kedua kakiku. Darah yang tadinya mengalir dari robekan luka di betisku sudah menghitam. Mengering.
"Kau sudah siap?"
Aku memperhatikan si pemilik suara. Dalam pandangan kedua mataku, sosok berjubah besar itu melototiku dengan mata merah berkilat - kilat.
"Hei, apa maksudnya?" Kucoba mengeluarkan pertanyaan dengan debar tak jelas di dadaku.
"Sudah tiba waktunya bagi ajalmu, kau tahu?"
Aku yakin keringat dingin mengucur dari pelipisku. Dadaku bergemuruh hebat, embusan angin malam di sela ranting seakan memberi pertanda buruk untuk akhir hidupku. Ajalku, yaa ajalku, mungkinkah dia malaikat maut pencabut nyawa?
"Kau bisa datang kembali nanti." Kucoba melawan riuh suara yang memenuhi benakku. Kali ini tentu tanpa beban, sebab aku mulai menguasai suasana hati dan pikiranku.
"Kau ingin mengulur waktu?"
"Tidak. Aku siap kapanpun itu."
"Lantas?"
Aku tertawa, sepertinya di negeriku ini tidak ada lagi manusia yang masih bernyawa. Kecuali mereka para pemangsa nyawa dan pengendali roket - roket itu.
"Aku ingin menjadi yang terakhir," Ucapanku terhenti, sepertinya oksigen di tempatku mulai kehabisan stok. Aku menahan nyeri di paru - paruku yang mungkin mengering. "Aaah, negeri ini rata sudah. Ribuan nyawa terenggut paksa, bumi menelannya sebagai kuburan massal. Aku ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan bumi porak - poranda."
Sosok tinggi besar itu menyeringai dan terkekeh. Apa dia menertawakanku? Aku meringis, negosiasi diterima. Dan sebuah roket berdentam - dentam, menubruk apapun di sekitarku.
Negosiasi berakhir.
Kupastikan aku akan pulang,
Segera pulang.
***rz***
Fiksi ini adalah pengembangan dari #FiksiMini yang kukirim dari akun twitterku.
@Mitha_AdelSanto
"DETIK TERAKHIR - Aku masih bernegosiasi dengan malaikat."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar