Pertanyaan mbah Darmo mengejutkan
mbok Narti yang sedang sibuk mengaduk seperiuk nasi yang masih mengepulkan
asap. Mbok Narti mengeluh, pagi ini memang ada nasi yang ditanaknya, mungkin
nanti siang hingga malam menjelang dia dan suami harus bisa menahan tuntutan
rasa lapar.
“Lhaa sabar, Pak. Ini sebentar
lagi selesai.”
“Cepetan, Bu.” Mbah Darmo
memperlihatkan perutnya yang kerempeng tanpa baju. Dia terkekeh sehingga
nampaklah gusi ompongnya yang nyaris tak
menyisakan satu gigi pun. “Oya, esok
sudah 17 Agustusan, Bu. Sepanjang jalan perkampungan sudah terpasang berbagai
macam hal berbau merah-putih loh, Bu.”
“Lantas kenapa, Pak?” Mbok
Narti menyodorkan sepiring nasi tanpa lauk pada suaminya. Lagi, tanpa lauk
sepotong pun. Mbok Narti yakin suaminya pasti sudah melihat umbul-umbul merah-putih
di sepanjang jalan setelah pulang memulung.
Mbok Narti menarik napas dalam-dalam.
Berpuluh tahun mereka lewati kebersamaan, setia menghuni gubuk mungil sebilik bambu,
berlantaikan tanah.
“Saya ingin ikut
memperingati, Bu. Seperti tahun-tahun lalu. Sudah pasti saya ndak mau ketinggalan.”
“Lhaa, bapak, bapak. Mau ikut
memperingati bagaimana?”
“Ya harus, Bu. Lha sedari
muda aku ikut berperang melawan penjajah.”
“Dan sampai sekarang masih
berperang demi sesuap nasi ya, Pak?”
Mbah Darmo terdiam, Tak ada
yang berubah hingga sekarang tubuhnya renta sudah. (*)
***
#CERMIN Kemerdekaan ini kuikutkan di kuis bentang pustaka edisi Sabtu.
Oleh : @Mitha_AdelSanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar