Kamis, 13 Agustus 2015

Ceritera Agustus #12 - Cinta Ibu di Sepiring Nasi Goreng Sosis


Terdengar suara berisik sendok dan wajan saling beradu. Suara anak - anak mulai terdengar gaduh di ruang depan. Pasti anak - anak sudah mulai bangun. Nyala api kompor mulai kukecilkan. Campuran nasi dan sedikit irisan sosis di wajan kuaduk - aduk dengan cepat. Aroma wangi nasi goreng memenuhi udara dapur pagi ini. Membangkitkan selera dari perut - perut lapar di sana.

"Aahhh," aku mendesah pelan. Aku sadar, tiga bulan sudah tidak ada aktifitas apapun di tempat ini. Aku menghela napas dalam - dalam, kupenuhi rongga dadaku dengan aroma yang menghangatkan persendian dari tulang - tulangku yang mulai menua.

"Ruwi, kemari Nak."

Salah satu anak perempuanku datang dengan cepat. Kupandangi wajah tirusnya yang mengesankan bahwa si pemilik wajah memang bertubuh kurus. Ruwi masih berusia delapan tahun, namun belum pernah sekalipun Ruwi mengecap bangku pendidikan. Ohh, dadaku kembali terasa sesak jika mengingat hal itu.

"Iyaa, Bu. Apa yang bisa Ruwi kerjakan?"

Aku menunjuk ke arah piring - piring di rak buruk yang tergantung di sudut dapur. "Bantu emak mengisi piring - piring ini yaa. Sebentar lagi kita sarapan, Ruwi pasti sudah lapar bukan?"

Ruwi kecil mengangguk cepat. Tangan - tangan kecilnya sudah terampil mengerjakan hal - hal seperti mengerjakan urusan rumah tangga. Sebab apa daya, Ruwi memang sangat kuandalkan untuk membantuku, apalagi tiga orang adiknya masih sangat kecil.

Sebuah janji aku ucapkan diam - diam sambil memperhatikan tangan kecil Ruwi menuangkan sendok demi sendok sarapan pagi ini ke beberapa piring yang berjejer. "Aaah, maafkan ibu Ruwi. Ibu tidak akan pergi terlalu lama lagi." bisik hatiku dengan sungguh - sungguh.

"Sudah selesai, Nak. Yuk kita bawa ke depan. Alhamdulillah, pagi ini ibu bisa menambahkan potongan sosis lezat ke dalam nasi goreng kesukaan kalian."

Ruwi tersenyum senang. Aku lekas menenteng piring - piring itu dan melangkah ke satu - satunya ruangan di rumah ini yang juga merangkap sebagai kamar tidur.

"Anak - anak, ayooo sarapan." Dev dan Deza berlari ke arahku. Keduanya duduk bersila di atas karpet lusuh hijau tua itu. Si kembar tahun ini sudah berusia lima tahun. Seharusnya mereka juga sudah bisa menikmati bangku taman kanak - kanak. Aaah, ketidakberdayaanku kembali menimbulkan nyeri di ulu hati.

"Makaaan makaaaan." Dev meraih salah satu piring dengan riang. Beberapa potong sosis menyembul dari balik nasi saat dia menyuapnya. Aku bersyukur sebab pagi ini aku masih bisa melengkapi gizi untuk buah hatiku. Lebih tepatnya sebagai pengganjal perut lapar mereka hingga siang nanti.

"Baca doa dulu, Dev." Aku bisa melihat bagaimana wajah Dev langsung berkerut dan tertawa.

"Bismillahirrahmaanirrahiim"

***

Aku meringis, bang Zal belum memberikan isyarat akan mengunjungi kami. Padahal lelaki yang kusebut suami itu telah berjanji akan segera membawa kami dari sini. Membawa kami agar lepas dari penderitaan ini.

Si bungsu Puji meringkuk di dalam gendonganku. Si kecil yang masih belum cerai susu ini sudah berhenti merengek. Entah karena perutnya yang tidak cukup kenyang oleh ASI-ku entah sebab udara malam yang begitu dingin menusuk hingga ke tulang.

Di dekat meja yang kuketahui sudah tidak terpakai itu, ketiga buah hatiku juga mulai tersandar dan terkantuk - kantuk. "Maafkan ibu sayang, kalian pasti kedinginan sekali."

Seingatku ini sudah bulan ketiga kami terkatung - katung tidak jelas. Sementara bang Zal masih belum terlihat tanda - tanda akan segera datang. Angin dari luar membuat kulitku perih, duh Tuhan bilakah deritaku akan berakhir.

Kupastikan Ruwi, Dev dan Deza tertidur pulas. Kututup pintu triplek itu dan menyangkutkan gembok mungil di ujungnya. Kuselimuti jaket usang yang tadinya kupakai ke tubuh Puji yang juga sudah lelap di gendonganku. Kalau bang Zal masih belum menampakkan batang hidungnya, kupikir biarlah aku yang akan menemuinya kali ini.

"Bang Zal, kamu di mana?" Aku mulai gundah sendiri. Puji mulai terasa bergerak - gerak lagi di gendonganku, kemudian tertidur kembali. Mataku tak lepas menatap ke arah warung yang berada di sudut kegelapan jalan raya. Hingga ekor mataku menangkap dengan jelas tubuh bang Zal berada di antara mereka para penikmat dunia.

Kulangkahkan kaki dengan hati - hati. Lalu lalang di jalan raya sudah mulai sepi. Kupastikan hari ini bang Zal akan mengerti dengan apa yang kulakukan, tanpa harus mendaratkan telapak tangannya yang besar ke pipiku lagi.

"Bang Zal."

Yang kupanggil langsung terbelalak. "Ningsih, apa yang kaulakukan di sini, hah?"

Bang Zal langsung berdiri dan meninggalkan kawan - kawannya yang terkekeh menertawakannya. "Ngapain kau ke sini, Ningsih?!!"

Ohhh, bang Zal menarik dan menyeretku meninggalkan tempat bejat itu. Matanya menatapku dengan bengis. Aku tertunduk, dan meredam amarah hatiku.

"Abang tidakmenemui kami. Ini bulan ketiga bang." Kuberanikan untuk menjelaskan keadaan yang ada padanya. Berharap mata hatinya sedikit terbuka.

"PLAAAAKKKK."

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Lagi, tangan besarnya akan menikmati kulit pipiku dengan kasar. "Kau lancang sekali, Ningsih."

"Tapi, Bang."

"Apaaa, apaaa haaah?" Bang Zal menekan leherku dengan jari - jarinya. Mencekikku hingga paru - paruku sesak. Hingga kulit leherku terasa perih. "Bukankah kusuruh kau untuk menunggu, Ningsih. Aku masih harus mendapatkan banyak uang."

"Tapi sampai kapan, bang?"

"Yaaa, sampai suatu waktu. Itu tak perlu kaupikirkan sekarang."

Aku meringis. Hatiku terasa perih sekali. Tiga bulan yang dijanjikan bang Zal, ternyata hanya kebohongan belaka. Kami dibiarkan sengsara di bilik bekas gudang tanpa kejelasan apapun. Bang Zal memilih mendapatkan uang dengan menempuh jalan pintas, dan detik ini juga kuputuskan sendiri jalan terbaik untukku dan anak - anakku.

***

Anak - anak masih menikmati nasi gorengnya. Kulayangkan pandang ke arah wajah - wajah polos mereka. Sebisaku, akan kuusahakan yang terbaik. Seperti Ruwi yang akan kudaftarkan ke sekolah negeri terdekat, juga Dev dan Deza yang akan kumasukkan segera ke TK dekat rumah.

"Ibu akan berangkat kerja yaa Nak. Jangan nakal dan merepotkan kak Ruwi. Nanti ibu akan kembali dengan membawa sosis daging dengan bonus seragam sekolah untuk kalian."

Kukecupi dahi malaikat - malaikat kecilku. Aku bersyukur sekarang masih bisa bertahan demi mereka. Aku harus segera bekerja di sebuah usaha rumahan sosis dan nugget di ujung kampung. Segera kunaikkan Puji ke dalam gendongan dan kulangkahkan kaki menjemput asa.
*** (Rz) ***

Haii sahabat fictionholics, ini adalah cerpen kedua yang kutulis untuk ceritera Agustus sesuai prompt dari @KampungFiksi. Selamat membaca. oleh : @Mitha_AdelSanto

Prompt Ceritera Agustus #12
"Aroma wangi nasi goreng memenuhi udara dapur pagi ini setelah tiga bulan lamanya tidak ada kegiatan apapun di sini. Aku menghirup udara dalam - dalam, memenuhi rongga dadaku dengan aroma yang menghangatkan persendian tulang - tulang yang mulai menua. Sebuah janji aku ucapkan diam - diam, sambil memperhatikan tangan - tangan kecil itu menuangkan sendok demi sendok sarapan pagi ke beberapa piring yang berjejer. Aku tidak akan pergi terlalu lama lagi."


2 komentar:

  1. Tadinya, saya pikir dia jadi tkw ke LN. Ternyata kerja di tmpt home made sosis. Thanks sudah berbagi!

    BalasHapus
  2. Tadinya bingung, Miss.
    pengennya begitu, tetapi keburu sudah punya anak banyak, bingung mau dititipin ke siapa.
    Gegara sosis, jadi terlintas kerja di home made sosis.
    Thanks udah mampir, Miss G..

    BalasHapus