Sejak tadi ponselku terus saja berdering. Sebenarnya aku sangat terganggu dengan kebisingan ini, tetapi aku punya alasan tersendiri hingga aku memilih mengabaikan panggilan masuk, bahkan beberapa pesan SMS masuk juga ogah kusentuh.
Tok... Tok...
Sekarang giliran pintu kost ku yang terdengar diketuk seseorang dari luar. Dan entah siapa pula yang hendak bertamu di jam - jam malas seperti ini. "Siapaaa?" teriakku tanpa beranjak dari tempatku.
"Siemon!!! Kau di dalam? Ini aku."
Sial, aku hapal betul itu suara siapa. Aku menghambur dari dudukku, merapihkan kaosku dan menyambar topi di atas meja.
"Sebentaaaarrrr..." jawabku panik. Huuft. Ada - ada saja, terpaksa kurelakan waktu santaiku tersita oleh hal seperti ini. "Ada apaaa?" sambutku setelah pintu kost kubuka. Sang tamu langsung menubruk kursi kayu di kamar kost ku yang sempit.
"Lama sekali kaubukakan aku pintu," gerutunya geram.
"iyaaa, maaf Jo. Aku di kamar mandi. Lagi pula, kau bertamu di jam seperti ini. Ada apa?"
"Aaah, kaupikir aku ke sini untuk apa hah?" Dia melotot ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu. "Mon, kau harus bantu aku. Pokoknya harus bantu aku, apapun dan bagaimanapun caranya."
Wah, mendengar hal itu sekarang gantian aku yang melototi Joshua. "eeh, tunggu! Bantu apa dulu nih, Bro!" Aku masih heran, sudah tiba - tiba datang, malah membahas sesuatu yang sepertinya melibatkan aku.
"Audisi, Siemon! Audisi untuk menjadi penyanyi idola tahun ini."
***
Aku melangkah keluar dari kost. Setelah memastikan pintu telah terkunci kulangkahkan kaki menuju halte. Jadwalku jadi semakin padat saja. Setelah menengok kondisi kesehatan ibu di rumah sakit, aku akan menemani Joshua untuk mendaftar audisi. Yaa, temanku yang satu itu bisa saja kukatakan rada - rada. Sepengetahuanku sudah acapkali kutemani Joshua untuk hal - hal berbau pendaftaran audisi ini - itu.
"Jo, kau masih belum menyerah?" pernah suatu hari kukomentari saat dia gagal audisi pencarian bakat di sebuah kota. Dia tetap tertawa bahkan terlihat tenang - tenang saja. Ya begitulah watak Joshua, si ambisius yang aneh padahal dia belum mencapai apapun hingga saat ini. Sejujurnya, jangankan untuk menjadi seorang penyanyi terkenal, bakat menyanyi itu saja tak dimilikinya sama sekali. Bahkan suara cempreng Joshua memang sangat tidak enak di kuping. Tapi aku selalu menghargai setiap usahanya.
"Zzztttt... Zztttttt"
Ponsel di sakuku bergetar. Kupastikan ada SMS yang masuk. Sementara sekarang aku telah berhimpitan di dalam bis kota yang penuh sesak. Aku tak masalah jika harus berjejalan di antara para penumpang lain.
Message Received : From Mutiara
"Kakak di mana? Ibu sudah menanyakan kakak dari tadi. Cepatlah kak."
***
Aku melepas topiku dan menyimpannya di ransel sebelum memasuki ruangan serba putih itu. Kurapikan beberapa helai poni yang berantakan di dahiku.
"Assalamualaikum, Ibu." kucium punggung tangan ibu lembut. Ibu menyenyumiku hangat. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi dokter bilang kondisi ibu semakin membaik.
"Kenapa lama sekali, nak?"
Aku meletakkan ranselku di samping ranjang tempat ibu terbaring. Dan kupijit kaki ibu pelan - pelan.
"Di jalan pasti macet sekali, Bu." Mendadak Mutiara muncul dari kamar mandi. Aku tersenyum dan mengangguk. "Yang terpenting kakak kan sudah di sini."
"Kondisi Ibu bagaimana?" aku ingat belum menanyakan kabar ibu hari ini. Ibu tersenyum, senang sekali rasanya saat kulihat ibu sudah mulai bisa tersenyum dan ceria.
"Alhamdulillah, Kak. Dokter bilang besok ibu sudah boleh pulang."
"Oh yaaaa?" kupeluk tubuh ibu dengan gembira. "Alhamdulillah, Monic senang sekali mendengar kabar ini, Bu."
***
Petang sudah berlabuh saja saat aku sampai di kost. Hampir setengah hari aku menemani Joshua untuk ikut audisi. Dan seperti biasa, aku terpaksa harus mengulum senyum geli saat ingat betapa malangnya nasib Joshua yang terpaksa harus menerima kegagalan untuk kesekian kali. Sebenarnya aku kasihan, tapi ya harus bagaimana lagi, bukankah dia memang sangat tidak berbakat?
Baru hendak merebahkan tubuh di kasur, aku mendengar suara keributan di luar. Rasanya ingin kusumpal mulut mereka satu per satu.
"Heii, ada apa ini?"
Mereka menatapku, balas kutatap wajah - wajah para penyewa itu satu per satu. "Ada apa ini? Sudah malam bukannya istirahat malah ngumpul di sini!"
"Dik Siemon, kami bukannya ngumpul. Tapi itu mak Dijah berulah lagi." jawab salah seorang tetangga kost ku.
Aku menarik napas kesal. Mak Dijah yang ngontrak tepat di depan kost ku terlihat tenang saja. "Sudah, bubar, bubar."
Mak Dijah yang berwajah alim mungkin merasa merdeka dan bergegas masuk ke dalam kontrakannya.
"Dasar mak Dijah. Masih saja suka mengadu domba. Bukannya menjadi orang yang disegani, ini malah sebaliknya." celoteh seorang ibu- ibu tetangga lain.
"Jangan heran, makanya bagi ibu - ibu nih, kalau dirasa nggak perlu, jangan suka ngumpul dan bergosip ini itu deh. Lihatkan apa yang terjadi, mak Dijah malah mengadu domba kita, yang rugi kita jugakan?" seseorang di antara mereka menasehati.
"Sudah, sudah. Lebih baik sekarang kita semua masuk, istirahat." Kucoba menyudahi percakapan mereka semua. Aku masuk dan memilih segera menyulam impian dengan indah.
***
"DAN INILAH SANG JUARA - "
Hening, semua peserta yang memenuhi ruangan besar ini terdiam. Tak sabar menunggu lanjutan kata - kata dari si pembawa acara.
"DAN JUARANYA ADALAH MU - TI - A - RA"
Ruangan yang semula hening, mendadak riuh. Aku memeluk ibu erat. Adikku, Mutiara berhasil meraih juara pertama dalam Event Lomba Kreatifitas Remaja se - Kabupaten. Lagi, si cantik yang masih duduk di bangku kelas dua SMA itu berhasil menyabet juara.
"Selamat ya, Mutia." Kupeluk tubuh mungilnya hingga napas kami sesak.
"Hehee, ini berkat doa Ibu, juga kakak." Mutiara mengecupi pipiku dan ibu bergantian. "Lihat kak, selain piala, souvenir kenang - kenangan ini, aku juga berhak atas tabungan pendidikan senilai sepuluh juta rupiah."
Ohh Tuhan, aku bangga sekali. Aku selalu bangga pada Mutiara, meski ini adalah lomba yang kesekian yang pernah dimenangkannya. Bahkan aku masih ingat, di kamarnya sudah terdapat puluhan hadiah dari yang ukuran mini hingga raksasa. Dan semua adalah hasil kerja keras Mutiara.
Kulihat ibu bahkan sampai menitikkan air mata. Kami bertiga berpelukan lagi. Aku selalu bahagia melewati momen - momen bersama ibu dan adikku, selain mereka siapa lagi yang aku punya?
***
Di PERPUSTAKAAN UMUM
Aku mengibaskan kemoceng ke arah buku - buku di lemari besar, juga debu - debu nakal yang terselip di sudut lemari. Beberapa kali aku menahan bersin akibat debu yang terhirup.
"Hei, Bro." Teriak Joshua dari pintu masuk. Aku membalas sapaannya dengan mengacungkan tinjuku ke udara. Dia tergelak dan mendekatiku. "Sibuk?"
Aku menggeleng. "Cuma membersihkan debu - debu ini saja."
Joshua memegang bagian kaki kursi plastik yang kupakai sebagai tumpuan berdiri menjangkau bagian atas lemari.
"HAAATTTT -- HATTCCCCHHHIIIIIMMMMM."
Tiba - tiba aku bersin. Aku nyaris kehilangan keseimbangan. Kursi plastik yang kuinjak melengkung tidak terkendali. Aku panik. Sangat panik.
"Oooo.. Oww..Owww.."
BRUUUKKKK
Aku terjatuh.
Aku terjatuh dan menimpa tubuh Joshua.
Ohh Tuhan, aku panik sekali. Sial, topi yang melekat di kepalaku langsung terbang entah ke mana. Sepertinya ada angin nakal yang telah berhasil menjahiliku.
"Awwwww, Siemon, kau menimpaku tahu!"
Aku tak berusaha menimpali ocehan Joshua, aku memikirkan topiku, sebab jika tanpa topi -
"Siemon??????"
Dalam keadaan masih terduduk di lantai, Wajah Joshua yang hanya berjarak dua inchi saja dari wajahku terlihat melongo. Bahkan mulutnya terbuka lebar, "Siemon?? Kau, kauuuu?"
Aku tahu wajahku terasa panas. Joshua pasti melihat dengan jelas bagaimana pipiku merona pinky dibuatnya.
"KAU SEORANG ANAK PEREMPUAN????"
Entahlah, aku menyumpal bibirnya dengan kedua tanganku. "Dasar pria, melihat cewek cantik saja langsung melotot, Jo, Jo." Aku mengambil topiku dan kembali menyembunyikan rambut hitam sebahuku.
"Joshua, PERKENALKAN, NAMAKU MONICA."
***
Cerpen ini kuikutkan pada event #CeriteraJuli prompt #31 @KampungFiksi
Oleh : @Mitha_AdelSanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar