Senin, 27 Juli 2015

#Fiksiku - Rahasia Gadis Sunyi

Sebentar lagi gelap turun, senja telah berlabuh satu jam yang lalu. Dari arah pinggiran kota tempatku berdiri saat ini,  suara laut terdengar begitu jelas, jeritan ombak menghempas, seakan sedang meluapkan amarah yang tak tertahan.

Duh, nyerinya terasa hingga ke jantungku.

Pantai.
Aku yakin pasti ada sebuah pantai di balik hutan kecil di pinggiran kota. Meski baru seminggu menjelajahi daerah ini,  aku bisa mengenali semua tempat dengan tepat.

"Lantas pekerjaanmu bagaimana?" Desak Meyta

Aku mengangkat bahu. Masa bodoh. Beberapa waktu terakhir aku muak dengan semua hal. Menghadapi tekanan di tempat kerja, setiap hari akan diomeli Boss. Yang pasti, kali ini rasa jenuh seperti memaksa mencuat keluar dari otakku.

Aku melepaskan beban yang menghimpit di hatiku.  Jika terus diingat, maka bisa dipastikan aku akan menangisi diri hingga bermalam-malam. Yaa,  hasilnya bisa dilihat dari lingkar hitam di kedua mataku.

Aku menarik langkahku semakin lebar. Kusibak beberapa batang tumbuhan semak yang menghalangi jalanku. Cuping hidungku bergerak-gerak memastikan telah mencium aroma laut. Aroma kebebasan, aroma ketenangan.

***

"Sudah berapa bulan?!? Sebenarnya apa yang kauinginkan?"
Tangan kekar itu mengguncang bahuku dengan tak sabar. Belum puas, dia mengarahkan kepalan tinjunya ke dinding di sebelahku. Aku hanya sesenggukan, baru beberapa menit yang lalu dia memeluk dan mengecup pipiku, dan sekarang dia berubah sangar terhadapku.

"Aku pun tak tahu, Rey!" isakku lagi. "seharusnya aku yang marah. Bukankah kau yang selalu memaksaku?"

Arrrgghhh.

Aku mengacak rambutku. Kulepas kunciran dan membuang pengikatnya. Angin laut menampar pipiku yang basah oleh air mata. Aku terduduk lesu di atas pasir. Ombak menari-nari menyentuh jemari kakiku yang telanjang tanpa alas. Membiarkan air laut membasuh seluruh duka dan kepedihanku.

"Hai, apa yang kauperbuat di sini?"

Sebuah suara merdu menyapaku di tempat sepi seperti ini. Kupikir, aku bisa menyendiri, paling tidak menikmati kesendirianku. Tetapi mengapa malah ada orang lain juga di tempat ini.

Aku menoleh, seorang gadis manis kelihatannya seumuran denganku. Dia tersenyum, dan menghampiriku. Dia juga bertelanjang kaki. Rambut panjangnya berkibar oleh tiupan angin. Giginya putih dan sangat rapi. Aku tak ambil pusing, kubiarkan dia duduk di sebelahku. Mungkin ketenangan pantai malam ini harus kubagi juga dengannya. Siapa tahu dia juga tengah menyendiri, atau sedang lari dari beban hidup yang tak bisa dipikulnya lagi.

"Haiiii," sahutku membalas sapaan tadi sekenanya. Aku menatap ke laut lepas. Menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga paru-paruku terasa sesak. "kau sendiri, bagaimana bisa sampai ke tempat ini?"

Dia tersenyum. Lantas bermain-main dengan pasir di jemarinya. "Namaku Gadis. Aku tinggal di dekat sini." Jawabnya mantap. Dia memandangku sejenak dan tersenyum kembali. "Setiap malam, aku selalu menikmati tempat ini. Duduk di pasir putih, bermain dengan ombak, bahkan hingga aku terlelap."

Aku ternganga, persis dengan apa yang akan aku lakukan malam ini. Pernyataan barusan membuatku tak mengerti. Ternyata, selain aku, juga ada orang lain yang lebih suka menyendiri menikmati kesunyian. Entahlah, aku tak punya waktu untuk memikirkannya.

"Kau mau mendengarkanku? Sudah lama sekali aku tak pernah berbicara dengan orang lain."

"Maksudmu?" dengan heran, aku balik bertanya

Dia tersenyum lagi. "Aku terbiasa menyepi di sini. Terlalu banyak waktu yang kuhabiskan sendiri. Jadi, aku ingin ngobrol denganmu. Lagi pula kita sudah sama-sama berada di sini bukan."

Aku menghela nafasku dalam-dalam. Memang, tak ada salahnya kami mengobrol. Toh, aku hanya diminta untuk mendengarkannya saja. Jika enggan, aku bisa berpura-pura mengantuk dan tidur.

Gadis terlihat tenang. Baru kusadari rupanya juga cantik sekali. Kulitnya putih lembut seperti satin saja. Setiap kali tersenyum, pipinya menyuguhkan lesung pipi yang memikat hati.

"Tahukah kau, aku selalu sendirian. Seperti sengaja diasingkan." Ungkapnya perlahan. "Aku dijauhkan dari kebisingan dunia."

Aku menyimak. Sungguh,  aku mendengarkan kelanjutannya. "iya, tapi kenapa?"

"Aku tak mengenal rupa orang tuaku. Sedari kecil hal yang kuingat hanyalah kisah bahwa aku memilki paman, dan setiap kali pula pamanku berganti. Aneh bukan?"

Aku tak menyela. Aku memberikan waktuku untuk mendengar kelanjutannya.

"Ada saja paman yang mengunjungiku, sayangnya merekalah yang selalu datang untuk berkunjung. Tidak denganku. Aku harus menunggu di sebuah rumah yang mereka bangun khusus untukku."

Gadis terdiam sejenak. Kupastikan wajahnya memucat. Di langit,  separuh bulan melingkar dengan sendu.

"Aku selalu sunyi, aku selalu tak mengerti dengan sekelilingku. Mereka yang berkunjung selalu saja berganti. Mereka lembut dan baik padaku, sampai aku tumbuh remaja hingga sekarang, baru aku paham. Kebaikan mereka ternyata beralasan. Mereka memanfaatkanku untuk kepentingan mereka saja."

Nada kepedihan dan luka yang sangat dalam tergambar jelas dalam getar suaranya. Aku memeluk diriku sendiri. Angin laut terasa dingin, namun aku bisa menikmati semuanya.

"Hingga suatu waktu, kautahu apa itu?? Ada yang berbeda dengan diriku. Aku bisa merasakan ada yang sedang tumbuh dan berdetak di nadiku. Aku bisa merasakannya. Sangat jelas, dan kutahu rasanya sangat luar biasa."

Entah kenapa, Gadis tersenyum padaku. "Apa? Apa yang terjadi?" tanyaku dengan gejolak penuh di dadaku yang sesak.

"Semakin lama aku mengerti. Yaa, aku menyadari semua saat perutku semakin melar,  besar, dan membuncit."

DEG!!!

Aku merasa seperti dihantam ribuan palu raksasa. Aku terguncang. Seolah gempa besar mengguncang bumi tempatku berpijak. Aku bernapas dengan sesak. Rasanya nyeri sekali. Kupastikan perutku sedikit mulas. Dan aku mual.

"Kau, kauu, ha, ha-mil?" Akhirnya pertanyaan itu bisa kuucapkan, meski harus terbata. Gadis mengangguk. Aku masih menyimpan banyak pertanyaan di benakku.

"Ya. Aku mengandung. Pamanku berkunjung dan marah besar padaku. Dia tak ingin aku membesarkan kandunganku bahkan hingga memiliki anak." Aku melongo.

Gadis melanjutkan ceritanya. "Dia memaksaku menggugurkannya. Aku sangat takut. Aku tidak ingin kesepian seumur hidupku. Paling tidak, jika aku telah hamil, aku ingin melahirkan anakku yang kelak akan menjadi teman sepiku."

"Lantas?" desakku. Kualihkan pandangan ke arah perutnya yang terlihat rata. Dia menunduk. Menyembunyikan kesakitan di hatinya yang pasti sangat-sangat terluka.

"Aku tak sempat melahirkannya. Paman memaksaku, meski dia tahu itu berkemungkinan juga anaknya."

Ohhhh, seperti langit akan runtuh saja. Kurasakan tubuhku limbung. Aku bingung dengan apa yang kurasakan. Rasanya semua tiba-tiba berubah gelap. Aku tak bisa merasakan apa-apa.
Mungkinkah aku...

***

"Rindu, Rindu. Buka matamu, sayang. Kumohon buka matamu."

Suara yang sangat kukenal. Kurasakan kepalaku masih sangat pusing sekali. Kubuka mataku pelan.

"Rindu!!! Kau sadar juga!" aku tahu itu suara Meyta memekik kegirangan.

Aku heran, mengapa aku bisa terbaring di kasur empuk begini. Kukumpulkan ingatan, bukankah semalam aku...

"Rindu, maafkan aku! Please, jangan pernah pergi lagi."

Aku menoleh. Kurasakan si pemilik suara segera merengkuhku. Aku sangat hafal.

Rey!!!
Yaa... Kupastikan Rey telah menyesali sikapnya padaku tempo hari. Air mataku mengucur tak terbendung. Namun aku masih saja bingung.

"Semalam Rey menghubungiku, dia menjelaskan bahwa kalian bertengkar hebat dan sikapnya membuat kau marah. Dia takut terjadi apa-apa padamu, Rindu. Lantas aku ingat pantai yang pernah kau ceritakan padaku, kami buru-buru ke sana, dan menemukanmu tergeletak di pasir. Dan... "

"Gadis??" tanyaku menyela. "Bagaimana dengan Gadis?"

Meyta menggeleng. Rey apalagi, dia hanya menggeleng tak mengerti.

"Kau sendirian, sayang. Tak ada orang lain, lagi pula siapa dia? Gadis siapa?" Rey menatapku kebingungan. "Aku hanya mencemaskanmu Rindu. Aku tahu sikapku salah, tapi aku tak ingin kau pergi dan menghilang begitu. Dengar, aku akan bertanggung jawab. Kita akan menikah."

Aku masih tak percaya. Kubiarkan semua berjalan semestinya. Aku bersyukur Rey menyesali kesalahannya, dan belajar menjadi lelaki yang jauh lebih bertanggung jawab.

Kupeluk lelakiku dengan luapan perasaan bahagia. Meyta terlihat berkaca-kaca. Harapanku, mulai detik ini tak akan ada lagi kata sunyi dalam kamus hidupku. Sebab sebentar lagi,  semua warna dan tawa bahagia akan menjadi menu utama dalam hidupku.

***

Pantai Sunyi
Beberapa tahun yang lalu, ditemukan jasad seorang wanita muda dalam keadaan mengenaskan.

***
 
"Rahasia Gadis Sunyi"
@Mitha_AdelSanto (Pekanbaru, 27 Juli 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar