“Bertahanlah, Kerbau. Sebentar lagi gelap. Kita akan
pulang. Kau bisa istirahat malam ini.” Ternyata Bajak masih perhatian. Mungkin
Bajak sedikit banyak telah mengerti bagaimana penderitaan Kerbau yang setia
menariknya dari pagi hingga petang.
Bajak terlalu banyak berceloteh hari ini. Kerbau
terus melanjutkan tugasnya. Dalam penglihatannya lumpur sawah kehitaman itu
seakan berubah menjadi padang rumput hijau. Seluas mata memandang, semuanya
menghampar hijau. “Rumput yang empuk, dan makanlah sepuasmu, Nak. Mungkin kau
akan berpikir sekarang surga tepat di depan mata.” Terngiang suara lembut ibu.
Waktu itu mereka merumput bersama gerombolan lainnya. Rumput-rumput hijau
membuat mulut tak pernah berhenti mengunyah.
“Ahh... Lihatlah aku sekarang.” dengusnya.
Bagaimanapun, entah takdir mana yang memaksanya
untuk selalu melakukan pekerjaan manusia, tepatnya membantu meringankan
pekerjaan manusia. Seperti petani tua ini, yang bertahun selalu melecuti
badannya. Meski sebenarnya dia tak perlu melakukannya.
“Kerbau. Kau melamun?”
“Tidak.”
Kerbau menyelesaikan sedikit lagi tugas membajaknya.
Rumput seempuk kembang gula-gula buyar sudah. Lumpur, dan air sawah membuat
cipratan lebih banyak saat dia bergegas menarik Bajak.
Matahari telah lelah di balik bukit barisan.
Pertanda waktunya untuk pulang dan melepas lelah. Perjalanan pulang membuatnya
gembira. Paling tidak, mereka akan mampir ke sungai kecil di dekat sawah.
Kerbau ingin sekali berendam dan mendinginkan benaknya.
“Petani tua itu yang selalu menjaga kita, Nak.” Setidaknya begitulah cerita ibu kepadanya dulu. Jauh
sebelum dia akhirnya harus kehilangan ibu. Dari pembicaraan penghuni kandang
waktu itu, dia mendengarnya, kerbau gemuk yang adalah ibunya itu telah
berpindah tangan kepada seorang jagal dari kota. Kerbau marah bukan main,
tetapi bukan tak beralasan, petani itu butuh uang untuk biaya berobat. Katanya,
Petani tua bertubuh kurus yang selalu batuk dan sering membuang dahak di
sepanjang jalan itu mengidap penyakit TBC akut.
“Kerbau, Kau tertidur? Melamun lagi?” Bajak selalu
mencoba membuka pembicaraan dengannya. Meski terlalu sering pula diacuhkan.
“Tidak. Apa kau tidak merasa aneh? Sejak tadi aku
tak merasakan cambuk itu bekerja di kulit punggungku yang tebal. Seharusnya dia
menuntun kita untuk segera pulang.”
“Ya, seharusnya.”
Kerbau menatap langit. Sebentar lagi gelap menjelma.
Butuh sepuluh menit untuk bisa sampai di gubuk. Sepertinya hujan akan turun
sebentar lagi. Awan-awan hitam mulai berkumpul di satu titik. Sesekali kilat
menyilaukan anak mata. Angin berembus kencang sekali. Apa akan terjadi badai,
entahlah.
“Bajak, kita pulang.” Katanya cepat. Dia paling
membenci badai, dan hujan. Tak dia dengar suara bajak menyahut. Dia melangkah
perlahan. Sulit sekali menggerakkan badan penuh lemak dengan ke-empatkaki yang
bertumpu di beceknya lumpur. Belum lagi beban yang harus ditariknya, semakin
lama terasa semakin berat.
Terseok. Kerbau keluar dari kubangan sawah. Menarik
bajak ke arah setapak. Di langit, guruh dan kilat berkejar-kejaran. Angin dan
rintik hujan membuat langkah kakinya seakan setengah berlari. Dia terhenti di
tepian sungai. Keinginan untuk berendam telah menghilang dari benaknya. Dia
paling benci hujan. Dia menyeberangi sungai kecil itu. Mencoba merambat naik ke
tebing, dan memastikan sampai di atas dengan selamat.
“Kerbau.”
“Ya..”
“Kau harus cepat. Lekaslah.” Sambung Bajak.
“Kenapa?” Kerbau kesal sendiri. “ Kau ingin aku
berlari secepat kilat? sedangkan kau
sendiri tahu aku harus menarikmu juga.”
“Bukan begitu,”
Kerbau melengos, hal yang paling memuakkan adalah
bersilat lidah dengan Bajak. “Sudah, kau diamlah.”
Rintik hujan, desauan angin membuatnya bertambah
muak. Pucuk-pucuk bambu menari-nari disapu angin. Nun di depan sana, gubuk si
petani tua sudah terlihat. Liukan api kecil dari penerangan lampu teplok, pasti
si Buyung yang sudah menyalakannya. Cucu semata wayang si petani tua.
Bajak akhirnya bungkam. Biarlah kalau memang dia
sedang kesal. Terkadang Bajak memang terlalu banyak bicara. Kerbau mencoba mengerahkan
sisa-sisa tenaganya. Dia berhenti tepat di depan pintu kandangnya. Kandang yang
terletak persis di pojok kanan gubuk itu. Dia mendongak, kekangan di lehernya terasa perih. Bisa
saja kulitnya terkelupas, menganga dan berdarah.
Pintu gubuk terkuak. Si Buyung tertegun di anak jenjang paling atas. Dia menatap nyaris tanpa ekspresi. Kerbau menggerakkan kepalanya, berharap tuan segera melepaskan bebannya.
“Atuukk…”
Akhirnya Buyung bersuara. “Atuuuukkkk…”
Kerbau heran mendengar Buyung histeris. Kerbau
mencoba melepaskan kekang di lehernya. Itu sungguh terasa menyakitkan. Namun
dia ingin tahu, Mengapa Buyung yang tiba-tiba berlari turun dari gubuk dan berhenti
tepat di belakangnya.
“Bajak, Bajak.”
“Ya..”
“Ada apa? Ada apa ini?” tanyanya lekas. Hujan turun
semakin rapat. Tubuhnya kuyup sudah.
“Tuan kita,”
“Kenapa??”
Kerbau memaksa lepas pasangan kekang di lehernya. Dia
bisa melihat. Ya, petani itu, tergeletak di pegangan bajak yang terbuat dari
balok kayu. Entah dia tersangkut di sana, dan entah bagaimana bisa. Terlalu
rumit untuk mengerti semua yang terjadi. Rumput hijau, lumpur sawah, pematang
yang becek, sungai jernih, dan petani tua. Kekecewaan yang rumit dijelaskan.
Yang Kerbau tahu, dia benci hujan. Selalu membenci
hujan. Saat ibunya dinaikkan ke atas truk, juga saat petani tua yang tak lagi
menyahut.
“Saranku, Bila kau mendengar guruh, juga kilat yang
menyambar. Pastikan kau tidak menutup kupingmu. Dengarlah, bagaimana alam murka
dan akan memurkaimu.” (*)
Pekanbaru, Juni
2015
Akun Twitter : @Mitha_Adelsanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar