Rabu, 10 Juni 2015

SANG KERBAU DAN PETANI TUA

LUMPUR terciprat ke mana-mana. Kerbau mengeluhkan kekang yang bertahun mengalung di lehernya. Sudah seharian, dia menarik Bajak, bolak-balik dari satu petak ke petak sawah lainnya. Sementara matahari sudah semakin condong ke arah barat. Pak Tani memecutkan cambuk lagi, dia meringis. Sakit sekali rasanya.

“Bertahanlah, Kerbau. Sebentar lagi gelap. Kita akan pulang. Kau bisa istirahat malam ini.” Ternyata Bajak masih perhatian. Mungkin Bajak sedikit banyak telah mengerti bagaimana penderitaan Kerbau yang setia menariknya dari pagi hingga petang.

Bajak terlalu banyak berceloteh hari ini. Kerbau terus melanjutkan tugasnya. Dalam penglihatannya lumpur sawah kehitaman itu seakan berubah menjadi padang rumput hijau. Seluas mata memandang, semuanya menghampar hijau. “Rumput yang empuk, dan makanlah sepuasmu, Nak. Mungkin kau akan berpikir sekarang surga tepat di depan mata.” Terngiang suara lembut ibu. Waktu itu mereka merumput bersama gerombolan lainnya. Rumput-rumput hijau membuat mulut tak pernah berhenti mengunyah.

“Ahh... Lihatlah aku sekarang.” dengusnya.

Bagaimanapun, entah takdir mana yang memaksanya untuk selalu melakukan pekerjaan manusia, tepatnya membantu meringankan pekerjaan manusia. Seperti petani tua ini, yang bertahun selalu melecuti badannya. Meski sebenarnya dia tak perlu melakukannya.

“Kerbau. Kau melamun?”

“Tidak.”

Kerbau menyelesaikan sedikit lagi tugas membajaknya. Rumput seempuk kembang gula-gula buyar sudah. Lumpur, dan air sawah membuat cipratan lebih banyak saat dia bergegas menarik Bajak.
Matahari telah lelah di balik bukit barisan. Pertanda waktunya untuk pulang dan melepas lelah. Perjalanan pulang membuatnya gembira. Paling tidak, mereka akan mampir ke sungai kecil di dekat sawah. Kerbau ingin sekali berendam dan mendinginkan benaknya.

“Petani tua itu yang selalu menjaga kita, Nak.” Setidaknya begitulah cerita ibu kepadanya dulu. Jauh sebelum dia akhirnya harus kehilangan ibu. Dari pembicaraan penghuni kandang waktu itu, dia mendengarnya, kerbau gemuk yang adalah ibunya itu telah berpindah tangan kepada seorang jagal dari kota. Kerbau marah bukan main, tetapi bukan tak beralasan, petani itu butuh uang untuk biaya berobat. Katanya, Petani tua bertubuh kurus yang selalu batuk dan sering membuang dahak di sepanjang jalan itu mengidap penyakit TBC akut.

“Kerbau, Kau tertidur? Melamun lagi?” Bajak selalu mencoba membuka pembicaraan dengannya. Meski terlalu sering pula diacuhkan.

“Tidak. Apa kau tidak merasa aneh? Sejak tadi aku tak merasakan cambuk itu bekerja di kulit punggungku yang tebal. Seharusnya dia menuntun kita untuk segera pulang.”

“Ya, seharusnya.”

Kerbau menatap langit. Sebentar lagi gelap menjelma. Butuh sepuluh menit untuk bisa sampai di gubuk. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Awan-awan hitam mulai berkumpul di satu titik. Sesekali kilat menyilaukan anak mata. Angin berembus kencang sekali. Apa akan terjadi badai, entahlah.

“Bajak, kita pulang.” Katanya cepat. Dia paling membenci badai, dan hujan. Tak dia dengar suara bajak menyahut. Dia melangkah perlahan. Sulit sekali menggerakkan badan penuh lemak dengan ke-empatkaki yang bertumpu di beceknya lumpur. Belum lagi beban yang harus ditariknya, semakin lama terasa semakin berat.

Terseok. Kerbau keluar dari kubangan sawah. Menarik bajak ke arah setapak. Di langit, guruh dan kilat berkejar-kejaran. Angin dan rintik hujan membuat langkah kakinya seakan setengah berlari. Dia terhenti di tepian sungai. Keinginan untuk berendam telah menghilang dari benaknya. Dia paling benci hujan. Dia menyeberangi sungai kecil itu. Mencoba merambat naik ke tebing, dan memastikan sampai di atas dengan selamat.

“Kerbau.”

“Ya..”

“Kau harus cepat. Lekaslah.” Sambung Bajak.

“Kenapa?” Kerbau kesal sendiri. “ Kau ingin aku berlari secepat kilat? sedangkan  kau sendiri tahu aku harus menarikmu juga.”

“Bukan begitu,”

Kerbau melengos, hal yang paling memuakkan adalah bersilat lidah dengan Bajak. “Sudah, kau diamlah.”

Rintik hujan, desauan angin membuatnya bertambah muak. Pucuk-pucuk bambu menari-nari disapu angin. Nun di depan sana, gubuk si petani tua sudah terlihat. Liukan api kecil dari penerangan lampu teplok, pasti si Buyung yang sudah menyalakannya. Cucu semata wayang si petani tua.
Bajak akhirnya bungkam. Biarlah kalau memang dia sedang kesal. Terkadang Bajak memang terlalu banyak bicara. Kerbau mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dia berhenti tepat di depan pintu kandangnya. Kandang yang terletak persis di pojok kanan gubuk itu. Dia mendongak, kekangan di lehernya terasa perih. Bisa saja kulitnya terkelupas, menganga dan berdarah.

Pintu gubuk terkuak. Si Buyung tertegun di anak jenjang paling atas. Dia menatap nyaris tanpa ekspresi. Kerbau menggerakkan kepalanya, berharap tuan segera melepaskan bebannya.

Atuukk…” Akhirnya Buyung bersuara. “Atuuuukkkk…”

Kerbau heran mendengar Buyung histeris. Kerbau mencoba melepaskan kekang di lehernya. Itu sungguh terasa menyakitkan. Namun dia ingin tahu, Mengapa Buyung yang tiba-tiba berlari turun dari gubuk dan berhenti tepat di belakangnya.

“Bajak, Bajak.”

“Ya..”

“Ada apa? Ada apa ini?” tanyanya lekas. Hujan turun semakin rapat. Tubuhnya kuyup sudah.

“Tuan kita,”

“Kenapa??”

Kerbau memaksa lepas pasangan kekang di lehernya. Dia bisa melihat. Ya, petani itu, tergeletak di pegangan bajak yang terbuat dari balok kayu. Entah dia tersangkut di sana, dan entah bagaimana bisa. Terlalu rumit untuk mengerti semua yang terjadi. Rumput hijau, lumpur sawah, pematang yang becek, sungai jernih, dan petani tua. Kekecewaan yang rumit dijelaskan.

Yang Kerbau tahu, dia benci hujan. Selalu membenci hujan. Saat ibunya dinaikkan ke atas truk, juga saat petani tua yang tak lagi menyahut.

“Saranku, Bila kau mendengar guruh, juga kilat yang menyambar. Pastikan kau tidak menutup kupingmu. Dengarlah, bagaimana alam murka dan akan memurkaimu.” (*)

Pekanbaru, Juni 2015
Akun Twitter : @Mitha_Adelsanto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar