Rabu, 10 Juni 2015

BERBEDA



Gadis itu merengut. Ia menatap kuncup melati di halaman. Ayah lupa lagi pada janjinya. Janji untuk mengenalkannya  pada semua orang. Pada tetangga, pada warga sekitarnya. Tapi hingga sekarang ayahnya tak pernah menepati janji.

“Sampai kapan, Ayah?” desaknya lagi. “Aku sudah tumbuh sebesar ini, Ayah. Aku ingin sekolah, butuh teman-teman.”

Gadis kecil itu mulai menangis. Air matanya mengalir deras. Sejak ia lahir, ia hanya kenal ayahnya saja. Itu pun ayah membesarkannya di tempat asing, jauh dari keramaian. Tiada sesiapa, semua hanya sepi dan kesunyian.

“Ingat, jangan pernah keluar dari pagar rumah, Nak. Tetaplah di rumah, memetik bunga di halaman, dan menikmati matahari dengan senyuman.” Ayah mengecup kening bocah itu. Laki-laki itu melangkah pergi, mengunci pintu pagar dari kayu itu, dan menatap putrinya sekali lagi. Gadis kecilnya yang berbeda, yang dirawat dan dibesarkan dengan penuh cinta. Ia menunduk, menyeka air mata dan bergegas pergi.

“Maafkan ayah, Nak. Kamu berbeda. Ayah tak ingin dunia mengecilkanmu, mengucilkanmu.”

Langkah ayah semakin menjauh. Gadis kecil itu tertunduk lagi. Ayah akan mengunjunginya beberapa bulan lagi. Seperti biasa, ia menikmati hari-harinya sendiri. Bahkan ayahnya sendiri, menjaganya agar tetap terasing. Nafasnya mulai mengeram. Malam mulai turun, matahari padam, gelap menyelimuti sekitarnya. Mungkin, iblis hutan telah menunggu kedatangannya. (*)

Pekanbaru, 06  Juni 2015
    Akun Twitter : @Mitha_Adelsanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar