Gadis itu
merengut. Ia menatap kuncup melati di halaman. Ayah lupa lagi pada janjinya.
Janji untuk mengenalkannya pada semua
orang. Pada tetangga, pada warga sekitarnya. Tapi hingga sekarang ayahnya tak
pernah menepati janji.
“Sampai kapan,
Ayah?” desaknya lagi. “Aku sudah tumbuh sebesar ini, Ayah. Aku ingin sekolah,
butuh teman-teman.”
Gadis kecil
itu mulai menangis. Air matanya mengalir deras. Sejak ia lahir, ia hanya kenal
ayahnya saja. Itu pun ayah membesarkannya di tempat asing, jauh dari keramaian.
Tiada sesiapa, semua hanya sepi dan kesunyian.
“Ingat, jangan
pernah keluar dari pagar rumah, Nak. Tetaplah di rumah, memetik bunga di halaman,
dan menikmati matahari dengan senyuman.” Ayah mengecup kening bocah itu. Laki-laki itu
melangkah pergi, mengunci pintu pagar dari kayu itu, dan menatap putrinya
sekali lagi. Gadis kecilnya yang berbeda, yang dirawat dan dibesarkan dengan
penuh cinta. Ia menunduk, menyeka air mata dan bergegas pergi.
“Maafkan ayah,
Nak. Kamu berbeda. Ayah tak ingin dunia mengecilkanmu, mengucilkanmu.”
Langkah ayah
semakin menjauh. Gadis kecil itu tertunduk lagi. Ayah akan mengunjunginya
beberapa bulan lagi. Seperti biasa, ia menikmati hari-harinya sendiri. Bahkan
ayahnya sendiri, menjaganya agar tetap terasing. Nafasnya mulai mengeram. Malam
mulai turun, matahari padam, gelap menyelimuti sekitarnya. Mungkin, iblis hutan
telah menunggu kedatangannya. (*)
Pekanbaru, 06 Juni 2015
Akun Twitter : @Mitha_Adelsanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar