“Apa lagi yang lebih indah? Selepas hujan dan langit kembali cerah. Mendung berlalu, dan seisi alam kembali ceria.”
Bian hanya tertawa. Sedari tadi kekasih hatinya itu sibuk berceloteh tentang hujan dan langit. Bisa saja seharian ini dia akan mendengar kekasihnya itu terus membahas seisi jagad raya, dan itu tidak akan membuatnya bosan ataupun merasa kesal.
“Aku tahu semuanya
indah, Sayang. Sangat indah. Bukankah Tuhan sudah menciptakan segala keindahan
ini untuk dikagumi?” Bian pun mendekati gadisnya, lantas mengacak-acak rambut
gadis itu dengan gemas.
“Seperti dirimu, keindahan yang selalu tak putus-putus
kukagumi.”
LALA, gadis yang baik
hati. Satu-satunya gadis yang berhasil membuat Bian jatuh hati, dan berjanji
akan dilindungi serta dicintainya sepenuh hati. Yaa pastinya setelah dia pernah
berkali-kali patah hati oleh beberapa gadis sebelumnya.
Bian hanya tersenyum,
Lala berdiri tepat di sampingnya. Dulu Lala pernah bercerita, dia sangat
menikmati hidupnya. Apapun itu, Lala akan melewatinya dengan riang. Tanpa
mengeluh, tanpa putus asa. ”Sayang, hidup ini cuma sekali.” kata Lala suatu
waktu.
Bian bahkan masih ingat, Pernah Lala membiarkan bening yang tumpah dari langit itu membuatnya basah kuyup, bahkan dia akan tertawa-tawa saat Bian menjerit menyuruhnya agar berteduh. Tapi Lala tetap akan bermain di bawah hujan, dan menganggap sikap Bian terlalu berlebihan.
***
Petang ini, Bian masih
termangu di depan jendela kaca besar itu. Hujan baru saja berlalu, dan ekor
mata Bian bisa menangkap lengkungan indah di ketinggian sana. Beberapa warna
terlihat bergandengan dengan serasi. Bian merasakan sesuatu yang getir mendadak
membuat jantungnya berdebar kencang, membuatnya kesulitan untuk bernafas.
Berkali-kali dia mencoba membuang pandangan dari jendela besar itu.
“BIANGLALA,”
Lala menggeser tubuhnya
semakin dekat dengan tubuh Bian. Hujan mengurung keduanya semenjak satu jam
yang lalu. Namun sekarang, udara yang tadinya dingin sekali, sekarang terasa
sejuk, hujan yang turun dengan derasnya, sekarang menyisakan gerimis yang rindu
mengecupi tanah basah.
”Sayang, keindahan yang
disembunyikan langit. Lihatlah, saat ini Tuhan mengijinkan aku menikmatinya,
bersamamu.” Lala mendongak ke langit, Bianglala terlihat sempurna. Menyisakan
keindahan yang sangat mencolok, bagi siapapun yang menyempatkan diri untuk
mengaguminya. “Dan lagi …”
“Yaa?”
“Bianglala itu seperti
kita, Sayang. Aku dan kamu. BIAN dan LALA … Selalu bersama, bergandengan
tangan, entah saat itu musim penghujan yang memilih turun dengan deras, angin
menghempas, atau badai besar sekalipun. Kita akan terus bersama, bukan?”
Bian memeluk diri
sendiri. “BIAN dan LALA, BIANGLALA,
bersama, terus bersama…”
Kata-kata itu terus
saja berdenging di telinganya. Bathin Bian berteriak. Ribuan hunjaman belati
seakan menembus jantungnya. Dia seperti hancur, hancur bersama impian dan
keindahan yang selalu digambarkan Lala. Semua terlalu sakit, bahkan di langit
tersuguh kesakitan yang sama. Kesakitan yang tak bisa membawanya lepas dari
seorang Lala. Cinta sejatinya.
***
Bian tersenyum, sudah
berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan dia tak pernah lagi tahu caranya untuk
tersenyum. Hatinya serasa lega dan sedikit banyak sudah jauh lebih baik
dibandingkan sebelumnya.
Semenjak tadi dia berdiri di bawah rinai hujan yang mulai rapat, merasakan berkah Tuhan menyentuh kulit kepala, dan memberikan efek segar untuk benaknya yang terlalu lelah bekerja memikirkan kepedihan. Di hadapannya, dua gundukan tanah yang tak lagi merah, letaknya pun bersisian. Gundukan itu terlihat masih dipenuhi beberapa kelopak mawar-melati. Menandakan selalu ada yang datang sekedar melepas rindu dan menaburkan bunga.
Hujan membasuh
kerinduan Bian. Air matanya turun tanpa diminta, tersamar di bawah rinai. Awan
yang tadinya bergulung-gulung, terlihat mulai tersibak oleh tirai cahaya
matahari. Kepedihan yang berbulan ditanggungnya sendiri, seakan kembali
menaungi langit hatinya.
“Sayang, aku kembali…”
Bian mengusap dengan
sayang tepian nisan tersebut. Matanya kembali terasa perih. Luapan yang selalu
tak bisa dibendungnya, tangisan yang selalu saja dia biarkan menguasai hidupnya
selama ini. “Maafkan aku yang selalu saja rapuh…” desahnya lagi. Tangannya
mengusap kedua nisan itu secara bergantian.
“Dok, bagaimana keadaan
istri saya?” Bian yang baru sampai di rumah sakit tampak terpukul. Tiga puluh menit
yang lalu mertuanya member kabar bahwa Lala tiba-tiba pendarahan dan pingsan di
kamar mandi. Tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, Bian hanya ingat dia
menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, dan menuju rumah sakit dengan
kecepatan tinggi.
Bian menunduk. Air matanya
mungkin telah menyerupa hujan, sejak
tadi terus saja meleleh dari sudut matanya. Membanjiri ingatan dengan kenangan
yang sengaja dia simpan di hati, maupun pikirannya selama ini.
“Sayang, apakah kalian
berdua di sana baik-baik saja? Lihatlah, betapa tegarnya aku hari ini. Kamu
pasti bisa melihat, bahkan hujan ini pun tak lagi mampu menakutiku.”
Bian tersenyum. Tak ada
yang bisa mengartikan senyumannya petang ini. Suasana di pemakaman memang sepi,
ditambah lagi saat hujan dengan udara dingin begini, pasti tidak ada orang yang
ingin datang untuk berziarah.
Rinai semakin menguap.
Matahari menyibak awan-awan tebal. Bianglala mulai melengkung di sudut langit.
Bian terpana untuk beberapa detik. Wajah Lala terlihat jelas di antara warna
warni langit. Dia tersenyum, Bian bisa melihatnya dengan jelas. Senyuman istri
yang sangat dikasihinya. Semakin lama semakin jelas, Bianglala terakhir yang
membuatnya terpukau.
“Sayang,
positif. Aku hamil…”
“Tapi,
Sayang..”
“Please,
Sayangku. Aku akan pertahankan kehamilanku kali ini, aku ingin melahirkan buah
hati kita yang jelas-jelas punya hak untuk hidup, dan melihat ayah-ibunya.”
Kehamilan Lala yang
ketiga kalinya. Dokter sudah mengatakan bahwa kondisi rahimnya yang sangat lemah, dan jelas sudah
dua kali Lala mengalami keguguran.
Semua tergambar begitu
jelas dalam pandangan Bian. Bianglala-bianglala itu mengitari kepalanya. Suara
tawa Lala yang selalu membuatnya bahagia, juga bergaung memenuhi telinga. Hingga
Bian nyaris tak lagi bisa mendengar apapun. Udara terasa begitu dingin, Bian
tahu, ada yang memaksa lepas ruh dari raganya. Hingga semua yang tampak
hanyalah merah, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.(*)
Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia, Twitter: @Mitha_Adelsanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar