Jumat, 12 Juni 2015

BIANGLALA


“Apa lagi yang lebih indah? Selepas hujan dan langit kembali cerah. Mendung berlalu, dan seisi alam kembali ceria.”

Bian hanya tertawa. Sedari tadi kekasih hatinya itu sibuk berceloteh tentang hujan dan langit. Bisa saja seharian ini dia akan mendengar kekasihnya itu terus membahas seisi jagad raya, dan itu tidak akan membuatnya bosan ataupun merasa kesal.

“Aku tahu semuanya indah, Sayang. Sangat indah. Bukankah Tuhan sudah menciptakan segala keindahan ini untuk dikagumi?” Bian pun mendekati gadisnya, lantas mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas. 

“Seperti dirimu, keindahan yang selalu tak putus-putus kukagumi.”

LALA, gadis yang baik hati. Satu-satunya gadis yang berhasil membuat Bian jatuh hati, dan berjanji akan dilindungi serta dicintainya sepenuh hati. Yaa pastinya setelah dia pernah berkali-kali patah hati oleh beberapa gadis sebelumnya.

Bian hanya tersenyum, Lala berdiri tepat di sampingnya. Dulu Lala pernah bercerita, dia sangat menikmati hidupnya. Apapun itu, Lala akan melewatinya dengan riang. Tanpa mengeluh, tanpa putus asa. ”Sayang, hidup ini cuma sekali.” kata Lala suatu waktu.

Bian bahkan masih ingat, Pernah Lala membiarkan bening yang tumpah dari langit itu membuatnya basah kuyup, bahkan dia akan tertawa-tawa saat Bian menjerit menyuruhnya agar berteduh. Tapi Lala tetap akan bermain di bawah hujan, dan menganggap sikap Bian terlalu berlebihan.
***
Petang ini, Bian masih termangu di depan jendela kaca besar itu. Hujan baru saja berlalu, dan ekor mata Bian bisa menangkap lengkungan indah di ketinggian sana. Beberapa warna terlihat bergandengan dengan serasi. Bian merasakan sesuatu yang getir mendadak membuat jantungnya berdebar kencang, membuatnya kesulitan untuk bernafas. Berkali-kali dia mencoba membuang pandangan dari jendela besar itu.

“BIANGLALA,”

Lala menggeser tubuhnya semakin dekat dengan tubuh Bian. Hujan mengurung keduanya semenjak satu jam yang lalu. Namun sekarang, udara yang tadinya dingin sekali, sekarang terasa sejuk, hujan yang turun dengan derasnya, sekarang menyisakan gerimis yang rindu mengecupi tanah basah.

”Sayang, keindahan yang disembunyikan langit. Lihatlah, saat ini Tuhan mengijinkan aku menikmatinya, bersamamu.” Lala mendongak ke langit, Bianglala terlihat sempurna. Menyisakan keindahan yang sangat mencolok, bagi siapapun yang menyempatkan diri untuk mengaguminya. “Dan lagi …”

“Yaa?”

“Bianglala itu seperti kita, Sayang. Aku dan kamu. BIAN dan LALA … Selalu bersama, bergandengan tangan, entah saat itu musim penghujan yang memilih turun dengan deras, angin menghempas, atau badai besar sekalipun. Kita akan terus bersama, bukan?”

Bian memeluk diri sendiri. “BIAN dan LALA, BIANGLALA, bersama, terus bersama…”
Kata-kata itu terus saja berdenging di telinganya. Bathin Bian berteriak. Ribuan hunjaman belati seakan menembus jantungnya. Dia seperti hancur, hancur bersama impian dan keindahan yang selalu digambarkan Lala. Semua terlalu sakit, bahkan di langit tersuguh kesakitan yang sama. Kesakitan yang tak bisa membawanya lepas dari seorang Lala. Cinta sejatinya.
***
Bian tersenyum, sudah berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan dia tak pernah lagi tahu caranya untuk tersenyum. Hatinya serasa lega dan sedikit banyak sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Semenjak tadi dia berdiri di bawah rinai hujan yang mulai rapat, merasakan berkah Tuhan menyentuh kulit kepala, dan memberikan efek segar untuk benaknya yang terlalu lelah bekerja memikirkan kepedihan. Di hadapannya, dua gundukan tanah yang tak lagi merah, letaknya pun bersisian. Gundukan itu terlihat masih dipenuhi  beberapa kelopak mawar-melati. Menandakan selalu ada yang datang sekedar melepas rindu dan menaburkan bunga.

Hujan membasuh kerinduan Bian. Air matanya turun tanpa diminta, tersamar di bawah rinai. Awan yang tadinya bergulung-gulung, terlihat mulai tersibak oleh tirai cahaya matahari. Kepedihan yang berbulan ditanggungnya sendiri, seakan kembali menaungi langit hatinya.

“Sayang, aku kembali…”

Bian mengusap dengan sayang tepian nisan tersebut. Matanya kembali terasa perih. Luapan yang selalu tak bisa dibendungnya, tangisan yang selalu saja dia biarkan menguasai hidupnya selama ini. “Maafkan aku yang selalu saja rapuh…” desahnya lagi. Tangannya mengusap kedua nisan itu secara bergantian.

“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” Bian yang baru sampai di rumah sakit tampak terpukul. Tiga puluh menit yang lalu mertuanya member kabar bahwa Lala tiba-tiba pendarahan dan pingsan di kamar mandi. Tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, Bian hanya ingat dia menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, dan menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi.

Bian menunduk. Air matanya mungkin telah menyerupa  hujan, sejak tadi terus saja meleleh dari sudut matanya. Membanjiri ingatan dengan kenangan yang sengaja dia simpan di hati, maupun pikirannya selama ini.

“Sayang, apakah kalian berdua di sana baik-baik saja? Lihatlah, betapa tegarnya aku hari ini. Kamu pasti bisa melihat, bahkan hujan ini pun tak lagi mampu menakutiku.”

Bian tersenyum. Tak ada yang bisa mengartikan senyumannya petang ini. Suasana di pemakaman memang sepi, ditambah lagi saat hujan dengan udara dingin begini, pasti tidak ada orang yang ingin datang untuk berziarah.

Rinai semakin menguap. Matahari menyibak awan-awan tebal. Bianglala mulai melengkung di sudut langit. Bian terpana untuk beberapa detik. Wajah Lala terlihat jelas di antara warna warni langit. Dia tersenyum, Bian bisa melihatnya dengan jelas. Senyuman istri yang sangat dikasihinya. Semakin lama semakin jelas, Bianglala terakhir yang membuatnya terpukau.

“Sayang, positif. Aku hamil…”

“Tapi, Sayang..”

“Please, Sayangku. Aku akan pertahankan kehamilanku kali ini, aku ingin melahirkan buah hati kita yang jelas-jelas punya hak untuk hidup, dan melihat ayah-ibunya.”

Kehamilan Lala yang ketiga kalinya. Dokter sudah mengatakan bahwa kondisi  rahimnya yang sangat lemah, dan jelas sudah dua kali Lala mengalami keguguran.
Semua tergambar begitu jelas dalam pandangan Bian. Bianglala-bianglala itu mengitari kepalanya. Suara tawa Lala yang selalu membuatnya bahagia, juga bergaung memenuhi telinga. Hingga Bian nyaris tak lagi bisa mendengar apapun. Udara terasa begitu dingin, Bian tahu, ada yang memaksa lepas ruh dari raganya. Hingga semua yang tampak hanyalah  merah, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.(*)

Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia, Twitter: @Mitha_Adelsanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar