Hanya empat sudut. Ruangannya juga tidak terlalu luas. Jika dua orang duduk dengan saling berselonjor kaki, mungkin ujung jemari kakinya akan menyentuh salah satu bagian dinding. Atau saat dia ingin tiduran atau sekedar berbaring mungkin dia terpaksa harus meringkuk, atau melengkungkan tubuhnya agar sisi-sisi bilik tidak jebol dan rusak. Sebab itulah, kudengar orang-orang menamai tempat itu dengan sebutan “Rumah Kubus.”
Rumah kubus yang pengap. Tanpa jendela, tanpa ada celah untuk pertukaran udara. Bertahun sudah ruangan itu menyimpan aroma yang sama. Aroma kesedihan dari sang empunya rumah. Bahkan aroma kesakitan, yang akan menularkan virus kesedihan pada siapapun yang singgah. Jika dikatakan itu seperti penyakit, mungkin tidak. Karena tidak ada yang mengeluhkan sakit, baik pada bidan, atau juga dukun di kampung kami.
Yang kudengar, tempat itu menyimpan kemurungan bertahun silam. Seakan dia berdiri kokoh dan mendapat kekuatan dari hati mereka-mereka yang lemah, mereka-mereka yang selalu hidup dalam keputus-asaan. Yaa, seperti itulah rumor dan cerita yang berseliweran dari mulut ke mulut para warga.
“Jangan pernah mampir ke sana, entah saat itu kau sedang kemalaman di jalan, terkurung hujan lebat, atau alasan lainnya.” Ibu mencoba mengingatkan aku, kakak, atau adik-adikku.
Berkali sudah ibu mengingatkan kami. Seolah ibu
tak pernah lelah untuk mengulang-ulang kata itu. Kata ibu sih, semua demi kebaikan kami. Seolah-olah, rumah kubus adalah
tempat paling angker dan penuh bahaya. Padahal kan tidak demikian. Begitulah
pemikiran remajaku mencoba mencerna semua cerita itu.
Suatu petang, aku ikut kakak ke kabupaten. Kakak akan membeli beberapa keperluan tugas sekolahnya. Memang, kami dan warga kampung lainnya terbiasa menempuh jarak 10 km untuk mencapai daerah pasar kabupaten, di sana ruko-ruko dan kios pertokoan berjajar rapi. Semua kebutuhan akan mudah kita dapati di sana, Karena apapun kebutuhan semua tersedia.
Dalam perjalanan pulang, kami kembali melewati rumah kubus. Dari kejauhan aku sudah melihatnya, teronggok di tepi jalan yang dipenuhi semak belukar. Beberapa tanaman merambat bergantungan di atap dan dindingnya. Aku meringis. Apa yang aneh, berkali-kali sudah aku melewati jalanan yang sama. Tak ada yang aneh, dan tidak ada yang menyeramkan. Rumah itu terlihat sama dengan bangunan lainnya. Memang, rumah itu rumah tinggal yang kosong semenjak bertahun silam, dan bedanya hanya dari ukuran.
“Aku akan mencari tahu,” gumamku dengan mata berbinar
Tak butuh banyak alasan, ibu mengijinkanku keluar malam ini. Aku menyandang tas ransel di punggung dan mengayuh sepedaku dengan semangat. Aku akan segera memecahkan misteri itu. Seperti aksi mata-mata atau detektif di film saja ya. Aku tersenyum, ya aku hanya ingin menemukan jawaban dan mendapatkan kebenaran saja. Kalau tidak, mungkin aku akan kesulitan tidur lagi, karena selalu menerka-nerka.
“Pulang sebelum hujan turun, Nak. Ba’da Isya harus sudah di rumah.” Aku mengangguk, dan mencium punggung tangan ibu. Kakak dan adik-adikku terlihat asyik menekuni kegiatan masing-masing, dan ayah, kebetulan beliau belum kembali dari shalat Maghrib berjamaah di surau dekat rumah.
Murung.
Setiap hari suasana hatiku selalu murung, seolah
yang ada hanya kepedihan, rasa sakit, dan luka. aku tak mau makan, tak hendak
meneguk minumanku. Tak ingin melakukan aktifitas apapun. Bahkan aku juga
menolak bertemu dengan orang-orang. Harga diriku seakan disembilu, dicacah
sampai hancur,dan perasaanku seperti tercabik-cabik. Jika ada yang mendekat,
aku akan berteriak. Menjerit. Berontak. Lalu menangis. Jika ada yang mengajakku
bicara, aku akan menutup kedua telingaku dengan tangan seraya meneriaki mereka.
“PERGI !!! PERGI !!!”
Yang kutahu, aku sudah tak pernah berbicara dengan siapapun, aku hanya duduk di sudut ruangan. Memeluk diri, memeluk sunyi, dan membiarkan bercupak-cupak air mataku mengalir. Bahkan ayah dan ibu juga telah kehabisan akal untuk mengajakku berinteraksi. Sepertinya hari inipun mereka menyerah.
Tubuhku semakin lama semakin mengering. Tulang leherku sudah mencuat keluar, wajahku terlihat berkerut, mata cekung dengan lingkaran hitam, Kamarku terasa menyesakkan. Aku lupa sudah berapa lama kubuat semua terbiarkan begitu saja. Aku sudah tak pernah lagi ke sekolah, aku tak butuh teman-temanku lagi. Aku sekarang punya mereka, yang selalu setia menemaniku. Wajah-wajah tanpa badan, mengitariku, merubungiku, dan bercoleteh ini-itu. Begitu setiap detiknya. Wajah-wajah sendu, seperti menahan sakit, merintih, dan mengerang. Mereka menemaniku sejak beberapa waktu silam. Aku bisa merasakan apa yang mereka derita. Aku sama seperti mereka. SAMA.
“Seharusnya dia tidak pernah ke sana!” Teriak ayah.
Aku, sejak tadi mendengarkan percakapan ayah dan
ibu di luar kamarku. Aku tak peduli. Aku tahu jawabannya. Aku mendapati apa
yang aku cari. Aku ingin dunia tahu, ayah dan ibu tahu, para warga kampung
tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan tempat itu.
Tapi,
Aku tidak bisa. Terlalu sakit. Terlalu
menyakitkan.
Aku lebih suka begini, menyatu dengan jerit
tangis mereka, dengan dendang keroncongan perut lapar mereka. Tapi, aku sudah
tahu dengan rahasia itu. Pelan-pelan, aku bersandar, dan meyenyumi wajah itu
satu per satu. Semuanya, tanpa terkecuali. (*)
Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia. Sangat
suka menyelami kata-kata dan menuangkan semuanya dalam sajak dan cerita.
Yang berkenan menyapa,
bisa bersilaturrahmi di akun twitter @Mitha_Adelsanto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar