Didi hanya duduk termangu. Petang berlalu, dan menyisakan sedikit cahaya temaram.
Sebentar lagi senja rebah di pelukan malam. Didi duduk bersandar ke dinding. Ekor matanya menatap ke arah ibu yang sibuk menekuni sesuatu.
"Nak... Melamun lagi?"
"Ahhh, tidak Bu."
"Lalu?" desak Ibu sambil tak melepaskan pandangan dari benda di tangannya.
"Bukan apa-apa, Bu. Aku hanya menunggu Ibu selesai."
Ibu tersenyum, dia menatap Didi dengan penuh kasih sayang. Setahun sudah berlalu semenjak Ayah meninggalkan mereka, dan hingga sekarang lelaki itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.
"Nak, mau yang kiri atau yang kanan?"
Didi tidak lantas menjawab. Dia tertegun sejenak. "Terserah Ibu." sahutnya.
Didi tahu, kedua benda yang dipegang Ibu akan tetap merenggut nyawanya.
"Tutup matamu, Nak. Biarkan semua berjalan dengan mudah." Itulah kata perpisahan terakhir yang di dengar Didi, setelahnya dia menggeram. Lalu mendapati Ibu memegang tangannya kuat-kuat. Namun kakinya tak lagi menjejak tanah.
***
*Pengembangan dari Fiksimini saya yang dikirim ke akun @fiksimini di twitter.
PILIHAN - "Nak, yang kiri atau kanan?"
"Terserah ibu." Didi tahu kedua benda itu akan tetap merenggut nyawanya.
Jika rindu mengijinkanmu untuk terus bersamaku, menjelmalah sebagai bait yang menampung seluruh huruf di bibirku.
Minggu, 28 Juni 2015
Sabtu, 27 Juni 2015
#FM - BERHASIL, DANIA TERSENYUM
Akhir-akhir ini terlalu banyak hal dan masalah yang membuat kami tertekan.
Terlebih Dania.
Aku berulang-ulang menahan diri, Dania bilang tidak ingin ikut menghadiri pesta sore ini.
Bukan apa-apa, pesta yang akan kami hadiri nanti bukan pesta sembarang pesta.
Yaaa, tadi pagi aku telah resmi menikahi Dania. Jadi, sore ini adalah resepsi pernikahan kami.
"Kamu akan hadir kan, Sayang?"
Dania hanya diam seperti biasa. Nyaris tanpa ekspresi.
"Kamu pasti tidak akan tega membiarkan aku duduk kesepian di pelaminan nanti, bukan?"
Dania tak bergerak sedikitpun. Bagiku semua sudah jelas. Dania tidak akan menolak permintaanku.
***
Di pelaminan.
Dania duduk di sampingku.
Dania tersenyum, Akhirnya.
Aku berhasil membuat Dania tersenyum,
Meski aku harus merekatkan beberapa potongan lakban di bibirnya.
***
Terlebih Dania.
Aku berulang-ulang menahan diri, Dania bilang tidak ingin ikut menghadiri pesta sore ini.
Bukan apa-apa, pesta yang akan kami hadiri nanti bukan pesta sembarang pesta.
Yaaa, tadi pagi aku telah resmi menikahi Dania. Jadi, sore ini adalah resepsi pernikahan kami.
"Kamu akan hadir kan, Sayang?"
Dania hanya diam seperti biasa. Nyaris tanpa ekspresi.
"Kamu pasti tidak akan tega membiarkan aku duduk kesepian di pelaminan nanti, bukan?"
Dania tak bergerak sedikitpun. Bagiku semua sudah jelas. Dania tidak akan menolak permintaanku.
***
Di pelaminan.
Dania duduk di sampingku.
Dania tersenyum, Akhirnya.
Aku berhasil membuat Dania tersenyum,
Meski aku harus merekatkan beberapa potongan lakban di bibirnya.
***
#FM - TERDENGAR JERITAN DARI DALAM TENDA
"AARrrrrgggggghhhh...."
Kami serempak tersentak. Bagaimana bisa, di tengah malam buta begini, terdengar jeritan dari dalam tenda mungil kami.
Tak ada angin.
Tak ada hujan.
Apa mungkin badai datang, dan memorak-porandakan sekeliling dan hanya menyisakan tenda kokoh kami ini saja? Rasanya pasti yang terjadi tidak demikian.
"Siapa? Siapa? Ada apaa?"
"Entah, aku juga kaget sekali." Sahut Elia seraya mengelus dada.
"Apa ada yang digigit binatang buas???"
Teman-teman hanya mengangkat bahu.
Kami sangat tidak mengerti.
Yang kutahu, mendadak kami semua terbangun meninggalkan raga.
Tanpa ada gemuruh, tanpa ada suara apa-apa.
***
Kami serempak tersentak. Bagaimana bisa, di tengah malam buta begini, terdengar jeritan dari dalam tenda mungil kami.
Tak ada angin.
Tak ada hujan.
Apa mungkin badai datang, dan memorak-porandakan sekeliling dan hanya menyisakan tenda kokoh kami ini saja? Rasanya pasti yang terjadi tidak demikian.
"Siapa? Siapa? Ada apaa?"
"Entah, aku juga kaget sekali." Sahut Elia seraya mengelus dada.
"Apa ada yang digigit binatang buas???"
Teman-teman hanya mengangkat bahu.
Kami sangat tidak mengerti.
Yang kutahu, mendadak kami semua terbangun meninggalkan raga.
Tanpa ada gemuruh, tanpa ada suara apa-apa.
***
#FM - BISIK BISIK DI DAPUR
Menjelang berbuka puasa, Ayah, Ibu dan Aku masih saja belum tahu akan berbuka dengan menu seperti apa. Padahal sejak tadi siang, rasanya ada begitu banyak menu yang ingin kami buru sore ini.
"Jadi?" Tanyaku dengan lemas.
"Enaknya berbuka pake apa, yaa?" Ayah masih saja bingung sendiri.
"Ibu sih juga sama Yah, dari tadi juga nggak tahu pengen berbuka pake apa."
Aku sedikit kesal, dan memilih beranjak meninggalkan dapur. Rasanya percuma, sebentar lagi beduk Maghrib akan berbunyi. Dan Ayah - Ibu masih belum tahu akan menyantap menu buka puasa yang seperti apa.
Tanpa sepengetahuanku, Ayah dan Ibu memutuskan untuk berbuka dengan yang manis.
Sungguh, aku sangat tidak siap untuk hal itu. Kudengar mereka berdua berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
"Kamu siap, Nak?"
***
"Jadi?" Tanyaku dengan lemas.
"Enaknya berbuka pake apa, yaa?" Ayah masih saja bingung sendiri.
"Ibu sih juga sama Yah, dari tadi juga nggak tahu pengen berbuka pake apa."
Aku sedikit kesal, dan memilih beranjak meninggalkan dapur. Rasanya percuma, sebentar lagi beduk Maghrib akan berbunyi. Dan Ayah - Ibu masih belum tahu akan menyantap menu buka puasa yang seperti apa.
Tanpa sepengetahuanku, Ayah dan Ibu memutuskan untuk berbuka dengan yang manis.
Sungguh, aku sangat tidak siap untuk hal itu. Kudengar mereka berdua berbisik-bisik sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
"Kamu siap, Nak?"
***
#FM - MUDIK
Sedari tadi, Ibu terlihat sibuk sekali. Adik menatap angka di kalender dengan tidak sabar.
Entah gemas, entah memang tak bisa menunggu, Adik bergegas mendekati Ibu.
"Sesuai rencana semula, kita pulang tahun ini kan, Bu?" Ibu hanya mengangguk. "Adik gak sabar lagi, Bu"
Ibu menatap adik sebentar, tanpa menjawab sepatah kata pun Ibu melanjutkan pekerjaannya.
Di belakang rumah, sudah tergali dua lubang besar.
"Tenang, Nak. Tahun ini kita pulang. Pasti pulang! Bahkan jauh hari sebelum ayahmu kembali." desah Ibu tanpa terdengar sedikitpun oleh Adik.
Akhirnya, Keduanya pulang. Mereka mudik ke rumah Tuhan.
Lubangnya sudah tidak kosong lagi.
***
Entah gemas, entah memang tak bisa menunggu, Adik bergegas mendekati Ibu.
"Sesuai rencana semula, kita pulang tahun ini kan, Bu?" Ibu hanya mengangguk. "Adik gak sabar lagi, Bu"
Ibu menatap adik sebentar, tanpa menjawab sepatah kata pun Ibu melanjutkan pekerjaannya.
Di belakang rumah, sudah tergali dua lubang besar.
"Tenang, Nak. Tahun ini kita pulang. Pasti pulang! Bahkan jauh hari sebelum ayahmu kembali." desah Ibu tanpa terdengar sedikitpun oleh Adik.
Akhirnya, Keduanya pulang. Mereka mudik ke rumah Tuhan.
Lubangnya sudah tidak kosong lagi.
***
Jumat, 12 Juni 2015
RINDU DI UFUK SENJA
Tenggelamlah
Di ufuk senja
Sebagai rindu
Sebagai jingga
Seperti mesra adukan kasih, di secawan
Kopi ayah
Pekanbaru, Mei
2015
ISYARAT KEBAHAGIAAN
Hanya pada malam
Kusuluhkan rindu tak berkesudahan
Biarkan dipeluk sunyi
Hingga Tuhan, isyaratkan kebahagiaan
Hanya pada malam
Kuuntai rindu untuk sang pujaan
Di antara sebait doa pada Tuhan
Di antara embus napasku –
Mengelukan namamu, kesayangan
Pekanbaru, Mei
2015
SEKECUP SAJAK KOPI
Sekopi puisi
Seteko kopi
Sepetang ing, kaupahit di cawan kehidupan
Seduhlah, sayang
Secawan kopi, secawan untukku
Dan sekecup sajak kopi
Yang kusesap berkali – kali
Pekanbaru, Mei
2015
LAGU SANG PERINDU
Hanya malam,
Yang resah memekarkan gulita sepekat hati
Sesaat setelah sang perindu memulai lagu – lagu
sendu
Perihal cinta
Air mata memilih bersembunyi
Meleburkan diri dalam rintikan rinai, ataupun
Mencoba menahan isakan
Diam – diam
Duh cinta
Sepilu inikah menjalin setia
Pada waktu yang mendebarkan aku – kau
Berkali sudah hujan tumpah pada musim di mataku
Ramita Zurnia (Pekanbaru,
April 2015)
MUSIM YANG TEPAT
Biarkanlah
Hujan luruh, angin merusuh
Setidaknya aku: memulangkan rindu
pada musim yang tepat
Meski sesaat
Biarkan aku memelukmu sejenak
Mungkin esok: waktu enggan
mengembalikan aku padamu
Ramita Zurnia (Pekanbaru,
April 2015)
DENDANG ILALANG
Merebahlah petang di tengah padang
Meliuk helai ilalang, dipermainkan angin berdendang
Memeluk riuh, setubuh rindu nan malang
Oo ilalang petang
Terurai pedih mengiris tangis
Tumbanglah badan nan sebatang, berkalang tanah
Seorang diri dihempas nasib malang
Kauberdendang, lantas dendangkanlah
Senja meruah, tangisan pecah
Malam menjabat jemari sunyi
Ilalang menari, melagukan pedih
Ramita Zurnia (Pekanbaru,
April 2015)
Langganan:
Postingan (Atom)