Selasa, 06 Oktober 2015

#FFRabu – Ada Apa Dengan Ibu

Kebahagiaan itu memang terasa semakin ganjil bagiku. Meski sebenarnya tidak ada yang berbeda dari cara kami melewati malam–malam panjang yang selalu–aku dan suami–nikmati penuh madu, penuh cinta.

"Jangan terlalu berlebihan, sayang." Selalu saja Mas Andreas membuyarkan lamunanku saat keganjilan itu kembali melintas di kepalaku.

"Bukan seperti itu, maksudku–ibu–mas," Terbata, kuakui hal yang terus mengusik benakku. Sebab ini adalah peraturan baru saat aku harus selalu menyebut mertuaku dengan sebutan ibu.

"Kita bahagia, ibu bahagia, sayang,"

Tempat tidur berderit kasar, Mas Andreas mulai menarik selimut dan memunggungiku. Memang sulit kupahami, semenjak ayah mertuaku menginginkan kami memanggilnya ibu.

***

Words : 100 pas
Menjawab tantangan #FFRabu – topik "MERTUA" di @Mondayff
Yeaaayy, "#FFRabu – ADA APA DENGAN IBU"
Oleh : Ramita Zurnia (Twitterku : @Mitha_AdelSanto)

Senin, 05 Oktober 2015

Prompt #91 – Langkah Kaki Menuju Tuhan

"Kita akan ke mana, ayah?"

Pertanyaan itu membuat Faisal segera menoleh pada putranya. Sudah hampir satu jam dia dan Ahmed memaksakan langkah kaki mereka, menapaki tanah berpasir yang membuat langkahnya terasa berat.

Faisal menepuk kedua pundak Ahmed. "Kau lelah, jagoan?"

Ahmed kecil mengangguk. Tenggorokannya teramat dahaga. Bibirnya mengering, bahkan mulai pecah–pecah.

"Kita beristirahat sebentar, nak!" Faisal menghenyakkan tubuhnya begitu saja. Jeans butut yang sudah kusam itu harus rela menduduki tanah. "Ke mari, Ahmed! Berbaringlah di paha ayah."

Tanpa protes Ahmed langsung merebahkan kepalanya. "Aku haus dan–kita akan ke mana, ayah?"

Faisal menahan napasnya beberapa detik. Dia selalu saja mengelak saat Ahmed mulai menanyai tujuan mereka. Faisal sungguh tidak sampai hati untuk menjelaskan bahwa sebenarnya dia sendiri tidak pernah tahu langkah kaki itu akan membawanya ke mana.

Kedua matanya terasa perih, dia berupaya membendungnya. Faisal mendongak, mengerjap–ngerjapkan matanya agar lelehan itu tidak benar–benar jatuh ke pipinya.

"Kau haus? Ayah carikan air untukmu, "

***

"Tolong! Siapa saja, tolong selamatkan nyawa anakku!"

Faisal menggendong tubuh kurus Ahmed. Setengah berlari dia mencapai tenda–tenda di pengungsian. Wajahnya pucat pasi. Ahmed sudah tidak bergerak sejak dia kembali dari mencarikan air.

"Ahmed, bertahanlah!" pekiknya saat beberapa petugas medis melarikan Ahmed dari pelukannya.

Faisal menangis. Kembali Faisal merasakan ketidakberdayaan menguntitnya setelah beberapa waktu dia kehilangan Fatima–istri–yang sangat dicintainya.

Perang, semua karena perang ini. Perang yang terus saja menghantam bumi tempatnya berpijak. Yang menciptakan kiamat pada mereka yang dikasihi, yang harus–ia relakan–berpindah hunian ke rumah Tuhan.

"Ahmedddd..."

Kedua kakinya lemas dengan hebat, Faisal merasakan tubuhnya akan rubuh ke tanah. Langit tampak berputar–putar. Faisal mencoba memungkiri saat ekor matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana para petugas berseragam putih–putih itu menyelimuti tubuh Ahmed dengan kain. Keseluruhan, sampai–sampai Ahmed kecil terbenam di dalamnya.

"Ohh Tuhan–kumohon–bawa serta aku sekalian."

***

Words : 299
Prompt #91 – "Langkah  kaki Menuju Tuhan"
Oleh : Ramita Zurnia (twitter : @Mitha_AdelSanto)

Minggu, 04 Oktober 2015

#WahanaMimpi – Engkau, dan Mimpi-Mimpi Manisku

"Kau bisa kembali sekarang."
Nada suara Devan membuatku sedikit berdebar. Rasanya aku sangat ingin berdebat dengannya. Menyanggah semua yang diperintahkannya padaku.

Toh, aku bukan pesuruhnya yang bisa seenaknya dia minta untuk begini dan begitu. Dia pikir dia siapa yang bisa seenaknya mengatur ini–itu dalam hidupku, bahkan memintaku untuk pergi menjauh darinya pun bukan haknya, begitulah yang selama ini kuyakini.

"Kau–tidak ber–perasaan, Dev. Aku sudah di sini."

Aku mendekatinya, sedikit lebih rapat. Devan malah menggeser tubuhnya beberapa inchi dariku. Aku ingin marah. Kesal. Devan selalu bersikap dingin padaku. Entah mengapa, lelaki yang satu ini terlalu sulit untuk bersikap baik padaku. Setidaknya, bersikap sedikit ramah pada seorang gadis secantik aku tidaklah sesulit itu, bukan?

"Aku tidak suka, aku selalu tidak nyaman dengan keberadaanmu, Vi."

Aku ingin sekali meraihnya. Toh, mendengar penuturannya telah membuat mataku berkaca–kaca. Sulit bagiku untuk menahan betapa remuk dan hancurnya perasaanku saat ini.

Kucoba untuk menelan rasa pahit itu, yaa rasa pahit yang selalu timbul saat aku mengingat dan menghadirkan debar yang terus saja bergemuruh di dadaku.

"Aku pergi, baiklah, Dev. Seperti maumu."

***

Bagiku langit senja tak selamanya berwarna jingga. Serupa senja kali ini, kujumpai sudut–sudut mendung yang menggulita. Apa mungkin patah hati akan membuat mataku buta akan warna–warni dunia? Sampai–sampai aku lebih nyaman saat langit menghitam pekat seperti itu. Bahkan sampai menurunkan hawa dingin yang membuatku menggigil seperti orang demam.

Yaa, mungkin aku memang demam. Sudah beberapa hari ini kukondisikan mataku di posisi tetap terjaga. Sampai–sampai tak kubiarkan kelopak mataku menutup entah cuma untuk beberapa menit saja.

Aku tidak ingin tertidur.
Aku lebih nyaman seperti ini. Menahan rasa kantuk yang bertubi–tubi dan membiarkan dua bulatan mata panda melengkung indah di tempatnya.

Sumpah! Aku sangat mengantuk. Aku ingin tidur sebentar, dan membayar rasa kantuk ini segera, tetapi –

Aku seperti orang linglung saja. Bahkan hingga malam turun, aku masih saja berkutat dengan pikiran–pikiran yang tidak menentu. Aku panas–dingin. Rasanya ingin segera kuselami mimpi yang lebih baik untuk kali ini.

Kau perempuan kuat, Vivian.
Kujeritkan kalimat itu berkali–kali. Kujeritkan dengan keras di dalam hatiku, hingga suaraku sendiri terdengar menggema di penjuru otakku.

"Ohh, Dev, bisakah aku menemui sekali lagi? Hanya sekali, hingga kuputuskan untuk bertemu kau untuk yang terakhir kali. Oke, oke. Aku bersumpah tidak akan memikirkanmu lagi, tidak akan mencuri–curi waktu untuk bisa menemuimu. Sungguh. Bahkan, jika kau mau, aku akan memenjarakan perasaanku padamu sejauh–jauhnya di tempat paling asing yang tidak mungkin bisa kujumpai kembali. Dan, aku juga siap ditertawakan dan diejek sepanjang hari oleh–Diandra–perempuan kesayanganmu itu sebab aku selalu menempatkan diriku di posisi paling mengenaskan untuk terus memujamu."

***

Hening.
Kali ini kesenyapan menyergapku. Entah bagaimana bisa aku sampai terdampar di ruangan ini. Ruangan yang terlihat asing. Sangat asing. Bahkan beberapa kali kusapukan pandangan ke setiap sudutnya, namun aku masih saja tidak mengerti.

Aku di mana, oh, ini di mana?
Seingatku, aku masih bersandar ke dinding tempat tidur, terkantuk–kantuk, dan terus menerus menguap sendiri.

Dan, sekarang, anehnya tubuhku terasa bugar. Tidak lemas, bahkan tanpa rasa kantuk.

Aku pasti bermimpi lagi.
Oh tidak, aku telah berjanji untuk tidak menemui Devan lagi. Bahkan aku rela menyiksa diri untuk tidak tidur berhari–hari.

Sial, aku pasti tertidur. Sebab hanya dengan begitu aku bisa kembali berada di tempat seperti ini. Ruang mimpi. Tempat yang terus kuhindari agar tidak kembali mengusik Devan. Sebab–Devan terang–terangan tidak merasa nyaman dengan keberadaanku.

Aku ingin menangis. Namun anehnya air mataku tidak setetespun mengalir. Duh, jika Devan menjumpaiku di sini, dia pasti akan marah besar, dan–mengusirku lagi.

"Kau kembali, itu di luar kuasaku."

Tiba–tiba saja suara Devan telah memecah kesunyian. Kali ini suara Devan terdengar lembut. Biasanya hanya nada–nada sinisnya yang akrab di telingaku. Namun entah mengapa kali ini sangat berbeda.

Kutoleh ke arah datangnya suara itu. Kudapati Devan tengah bersandar tak jauh dari tempatku. Dan, lagi–dia memunggungiku.

"Ya, ini salahku–dan aku tahu itu."

Keheningan kembali menyeruak di antara kami. Aku enggan berkata–kata banyak seperti biasa. Kali ini aku merasa diriku terbawa suasana. Kembali senyap.

"Bukan," Devan tiba–tiba saja sudah nongol di depanku. Rambut lurusnya yang sudah tampak gondrong terlihat tidak beraturan. Namun, bagiku dia terlihat segar, dan tampan. "Itu salahku, Vivian!"

Aku sangat ingin menyentuhnya. Sudah terlalu lama, Devan selalu saja menolakku. Bukan, bukan menolak–namun menjauh–dariku.

"Aku bingung, Dev. Aku tidak mengerti–"

"Kau akan mengerti, terlalu banyak penjelasan, dan aku sedang tidak ingin membahasnya."

"Maaf, aku selalu melanggar sumpahku. Aku terus saja memimpikanmu, Dev. Sudah kucoba menahan diri dengan tidak mengikuti keinginan hati, namun tetap saja."

Aku ingin menangis. Lagi–lagi air mataku tidak mengalir sedikitpun. Ingin sekali rasanya kulumuri  wajahku dengan duka. Aku masih saja membiarkan kebodohan menguntitku.

"Kau tidak sedang bermimpi lagi, Vi."

Devan menatapku. Matanya terlihat menyimpan duka. Entah, aku semakin bingung dan bertanya–tanya. Apakah aku telah melakukan kebodohan lagi, sehingga Devan harus bersedih atas diriku.

Semenyedihkan itukah aku?

"Vi, kau tidak akan pernah bermimpi lagi. Maafkan aku, kali ini aku tak akan membiarkan diriku menyakitimu seperti dulu."

"Maksudmu?"

"Aku nyaman bersamamu, hanya saja dunia kita berbeda Vivian sayang. Aku tak pernah mencintai Diandra. Aku hanya memikirkanmu, namun–aku selalu menyanggahnya."

Ohhh, aku benar–benar ingin menangis. Aku ingin membenamkan sesak di hatiku dengan memeluk dan tenggelam di dada Devan.

"Ayo ikut aku,"

Devan langsung menarikku, tanpa bisa menolak, kami menembus dinding–dinding dan menghilang.

***

Words : 891

Yeayyy, postingan pertamaku di awal Oktober 2015. Menjawab tantangan Mimin, @KampusFiksi akhirnya #WahanaMimpi ini jadi juga. =D
Selamat Membaca, Fictionholics. =))

Oleh : Ramita Zurnia ( twitterku : @Mitha_AdelSanto)






Rabu, 30 September 2015

#FFRabu - Kolam Air Mata




Ibu mencoba meraih tubuhku.

Aku sangat takut. Bahkan ketakutan itu membuat darahku berdesir-desir. Aku mencoba bertahan,

tubuhku bergetar hebat. Bukan karena kedinginan, namun karena menahan hantaman gemuruh yang 

menyeretku jauh dari tepian.



“Bu, aku tidak sanggup...” rengekku

“Bertahan, Aini. Bertahanlah, nak!”

Ibu meraihku lagi.

Meleset!

Ibu terlihat tak mampu menahan  badannya, arus air membuat gerak ibu semakin lamban, sementara 

tubuhku sendiri sudah terasa berat.

“Jangan lepaskan aku, bu.” Kali ini air mataku tak sekadar bergayut di pelupuk mata.

“Jangan menangis, Aini.”

Pegangan ibu merenggang, kami berdua hanyut, sementara riak-riak kolam air mata ini semakin

lama semakin menenggelamkan harapanku, juga ibu.


*** 


words : 100 (pas)

#FFRabu - Kolam Air Mata

Tulisanku di penghujung September ini kusetor untuk# FFRabu di @MondayFF

oleh : Ramita Zurnia (id twitter: @Mitha_AdelSanto)

Kamis, 24 September 2015

#FragmenKemarau - Luka


"Kamu harus bisa menerima semua itu, Zai. Yang terpenting sekarang adalah masa depanmu bersama anak–anak."

Ingatan Zaida kembali mengantarnya pada kenangan itu. Kenangan yang pada dasarnya hanya membuat hatinya teriris. Merobek luka lama yang sudah pasti semakin berdarah–darah.

Hatinya terenyuh lagikah?
Zaida menatap petang sedikit lebih lama dari biasanya. Angin musim kemarau berembus lembut mengusir hawa panas yang terus membuat otaknya gerah.

"Zaida, kau bisa menungguku sedikit lebih lama bukan? Tidak terlalu lama, hanya sedi....kit lebih la....ma dari kepergianku biasanya."

***

Malam itu udara terasa begitu memuakkan. Tetes peluh sudah meminta dibasuh. Pasti menyenangkan sekali jika bisa diguyur air sejuk dari pancuran di belakang rumah, sekaligus mengguyur kepedihan yang hanya membuat sesak.

Tetapi tidak, malam ini Zaida rela bermandi keringat, setelah menuntaskan kewajibannya saat Baskoro menariknya gemas hingga mereka menyatu berulang–ulang.

"Aku selalu saja merindukanmu, Zai."

Ahhh, merindukannya?
Perempuan itu tidak lantas menyahut. Baskoro mengulurkan tangan, merengkuh segala kegundahan yang sudah bisa dipastikan telah membelit hati istrinya.

"Kau akan pergi?"

"Ya, Zai."

"Kapan?"

"Secepatnya. Maksudku, besok."

"Besok????" Zaida bisa merasakan bagaimana ulu hatinya seperti diremas–remas hingga hancur tak berbentuk. Melihat anggukan Baskoro, bibir Zaida seakan terkunci rapat.

Ohhh.
Zaida menepis rasa dongkol sekaligus kekecewaan di hatinya. Membantah dan berdebat, hanya akan menunjukkan sisi lemahnya saja. Sementara tangisnya sekalipun tidak akan menyurutkan niat Baskoro.

"Zai, sayangku. Ayolah, jangan jadikan malam terakhir kita rusak hanya sebab perasaanmu. Aku ingin berlama–lama menikmati madumu dan tenggelam dalam keindahan. Jangan rusak apa yang sudah menjadi hakku."

Zaida hanya bisa menelan rasa pahit, sementara Baskoro benar–benar berpuas diri mereguk apa yang dikatakannya sebagai haknya. Entah sudah ke berapa kali Baskoro melambungkan rindu ke awang–awang, sementara pikiran Zaida terus saja menerawang.

Bukan, tidak, tidak!
Bukan begini seharusnya. Sebagai istri, aku ingin menyampaikan keinginanku, bukan lantas menerima apapun yang sudah diputuskan. Seharusnya kau mengajakku berembuk, Baskoro! Bukan mendesakku menerima keputusanmu!

Zaida meringis. Batinnya menangis. Sementara tubuh suaminya telah terkulai lemas di sisinya. Nyenyak sudah dalam dengkuran–dengkuran yang terdengar memuakkan.

***

Elia merengek dari ayunan kainnya. Zaida datang tergopoh, lantas meraih tubuh putri kandungnya.

"iyaaa, ibu di sini, sayang. Ibu bersamamu, Elia."

Dikecupnya dahi dan kedua pipi gadis kecilnya itu berkali–kali. Elia mulai merengek kembali. Sudah pasti bayinya itu kehausan.

Zaida duduk di bangku kayu yang berada di sisi jendela. Menyusui Elia sembari menatap kuntum–kuntum bunga dahlia terlihat pucat di ranting kemarau yang sebulan terakhir membakar semesta. Zaida membiarkan angan–angan membawa dirinya ikut berguguran bersama kembang–kembang jambu yang luruh tertiup angin.

Aahhhh
Zaida tak ingin terbawa suasana. Beberapa detik, ada yang mampir di benaknya, menusuk–nusuk ingatan yang membuat dadanya bergejolak.

Ini sudah tahun ketiga. Musim kemarau tahun ini terasa begitu parah. Separah pemberitaan yang dikabarkan oleh media massa, seperti musibah kemarau dan kekeringan, belum lagi musibah kabut asap yang merajalela di Sumatera dan Kalimantan sana.

Zaida menarik napas dalam–dalam, lantas mengembuskannya kembali ke udara. Elia kecil sudah kembali nyaman di pangkuannya. Bahkan Elia mulai melepaskan hisapan dari puting Zaida.

Tahun ketiga.
Kegundahan yang sama masih membelenggunya. Zaida hanya tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Bukan karena dia tidak ingin melepaskan diri, hanya saja dia selalu mencoba menerima takdir. Ya, takdir

Seperti lirik lagu dangdut yang dijeritkan oleh radio tetangga. Bukan tentang bang Toyib yang tak pulang–pulang, melainkan tentang suaminya. Yaa, Baskoro belum menunjukkan batang hidungnya. Semenjak percumbuan terakhir mereka di malam itu, kemesraan yang ternyata membuahkan seorang anak yang harus dikandungnya sendiri selama sembilan bulan.

"Zai, kau bisa menikah lagi."

"Aku tidak berminat menikah lagi, mak."

"Kau masih muda, tak perlu menunggu Baskoro kembali, toh sejak dia pergi mengabarimu saja dia tidak pernah, Zai."

"Takdirku, mak. Biarlah." Zaida akan memeluk tubuhnya sendiri. Menahan genangan di matanya dan membendungnya beberapa detik sebelum akhirnya semua luruh juga di pipinya.

***

Teruntukmu,
Yang terkasih,

Kemarau tahun ini, Zaida.
embus angin terdengar menghempas–hempas. Kepahitan demi kepahitan mencambuk diriku. Musim berlalu berkecamuk, semua terasa menyakiti diriku, hatiku.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku masih saja berkutat dengan helai–helai kenangan bisu. Yang terus saja menghadirkanmu, rupamu, dirimu, dan dirimu.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku masih tak bisa mengubah takdir. Meninggalkanmu, ternyata adalah kesalahan terbesar yang pernah kuputuskan, Zai.

Kemarau tahun ini, Zaida
Angin terasa begitu dingin. Belulang terasa meremuk saja. Mungkin, alampun tahu bahwa aku sendiri tak lagi mendapatiku ruhku berada di dalam ragaku.

Kemarau tahun ini, Zaida
Aku pergi, darimu selamanya.
Aku pergi, tanpa bisa mencoba tuk menemukan jalan pulang, hingga aku memilih mengakhirinya. Maafkan aku.

"Baskoro, suamimu"

***

Words : 740

#FragmenKemarau - "Luka"
Sepertinya, fiksiku kali ini sedikit sendu. Sengaja kutulis untuk menjawab tantangan Mimin @KampusFiksi. Namun, sedikit terlambat, ada beberapa kendala di dunia nyata yang membuatku harus gigit jari, ehh terlambat untuk posting di blog.
But, its okay. Tulisan yang sudah jadi sayang untuk dibiarkan. Jadi, tetep kuposting.
So, Selamat membaca. :))

Ramita Zurnia (twitter: @Mitha_AdelSanto)


Minggu, 13 September 2015

#Nymphomaniac - Maura, Kekasihku Tersayang

Dia hanya memperhatikan wanita itu. Melahap sinar mata memelas, yang meremas hasrat kelelakiannya.

Tidak!
Bagas menahan diri. Bagas akan terus mencoba untuk mengendalikan diri. Kali ini dia telah berjanji untuk tidak menyambut ajakan yang sebenarnya sangat menggoda imannya.

"Bertahanlah, Maura." desahnya tanpa mencoba mendekati tubuh gadisnya itu.

Maura meliuk, angin malam menampar kerampingan sekujur kulitnya. Sesekali dia mencoba membuang keinginannya, namun hasrat tubuhnya yang rentan, membuatnya seakan menggelepar tak nyaman.

"Bagas, kau ingin menyiksaku kali ini?"

"Bertahanlah, Maura. Aku yakin kau bisa melawannya!"

Perih. Nyeri.
Maura membuang pandangannya. Malam ini terasa begitu panas, tubuhnya bergetar, seirama dengan debar tak menentu di dadanya. Malam membekapnya. Membekap keliaran yang selalu tidak bisa dikungkungnya.

"Aku gerah, Bagas. Udara malam ini terasa begitu panas."

Rengekan Maura ingin disambut Bagas dengan pagutan lembut di bibir. Atau pelukan erat saat tubuh mereka menyatu, yang akan membuat napas keduanya sesak.

Bagas menggeliat. Maura benar-benar tersiksa sendiri. Gadisnya yang terkasih, memiliki tingkatan hasrat yang jauh lebih tinggi di atasnya.

Maura mulai meringis. Bagas selalu kehabisan akal, seperti malam-malam sebelumnya, sebab saat pertahanannya bobol, Bagas tahu bahwa dirinya akan lumat selumat-lumatnya dalam cengkraman Maura.

"Bagas, tidak bisakah - "

"Bertahan, Maura. Aku tidak ingin menyakitimu."

"Menyakitiku? Maksudmu lebih baik aku seperti ini?" Maura mulai meradang. Penolakan lagikah ini? Terkadang Maura berpikir seliar imajinasinya, mengapa sulit sekali bagi Bagas untuk menerima keinginannya.

"Bukan begitu, sayang."
Bagas sangat terenyuh. Setiap kali gulita menghampiri, Maura akan merintih seperti ini. Mengajaknya kembali melayari kesyahduan, mengulangi beberapa kecupan hingga pagi datang.

"Mungkin sebaiknya aku membiarkan tubuhku dimangsa kebejatan lelaki mana saja, bukankah aku juga menginginkan semua kenikmatan itu, dan - "

Bagas terperanjat. Darahnya berdesir sangat cepat. Dihampirinya Maura tersayang, Maura-nya yang malang. Dikecupnya kelopak mata Maura. Air mata menetes di kedua sudutnya.

"Tidak, sayang! Hentikan segala kekonyolanmu itu. Jangan kaujadikan dirimu mangsa keliaran yang bergejolak dalam darahmu. Maura, sudah berapa kali kukatakan. Aku mencintaimu."

Maura terisak, Maura mengutuk dirinya sendiri. Malam selalu menjadikannya berkeringat.

***

"Hanya untuk kali ini, Bagas. Tolonglah."

Maura menggeser tubuhnya seinchi lebih rapat. Beberapa kali sudah trik Bagas selalu lumpuh di tangannya.

"Maura, semalam kau sudah berjanji."

"Itu janjimu, bukan aku!"

"Heiiii, janji kita, sayang." Bagas sampai harus melotot akibat mendengar celotehan Maura.

Maura tergelak. Begitulah. Beberapa kali keinginannya tak bisa dibendungnya. Bahkan sepagi ini, keinginan itu terasa meluap-luap.

Gila.
Maura harus menekan harapnya dalam - dalam. Merasakan bibir Bagas mengembuskan napas dan menyentuh cuping hidungnya saja dia telah menggelepar pasrah.

Bagas mengecupnya. Benar-benar mengecupnya. Maura mencoba membuka bibir, namun detik itu juga kecupan itu berakhir.

Aah, kecewa. Maura kecewa sekali. Bagas terkekeh membaca ekspresi masam di wajah kekasihnya itu.

"Ayo bangun! Setelah itu mandi, dan kita sarapan."

"Tetapi sayang, kita bisa - "

"Tidak Maura. Tidak untuk kali ini." Bagas mencubit lembut pipi Maura. Sebenarnya ajakan Maura memang sangat diinginkannya. Apalagi ketika cipratan air mengenai kulit mereka.

Aaah.
Bagas tergoda. Namun tidak untuk pagi ini. Maura sedikit cemberut saat meraih handuk dan berlari ke kamar mandi.

"Sayang, aku menunggu di ruang makan yaaa."

Bagas sedikit bimbang. Ada beberapa hal yang harus dikatakannya pagi ini. Maura pasti akan meradang saat mendengarnya. Sebab untuk beberapa hal, Maura memang harus siap menerimanya.

Entahlah. Perasaan Bagas semakin tidak enak. Nanti sore dia harus berangkat keluar kota. Beberapa urusan pekerjaan telah menunggunya. Untuk beberapa minggu ke depan, dan Maura, bagaimana dengan gadisnya itu.

Bahkan sepagi ini, Maura seakan ingin mengajaknya bergumul. Kembali mengulangi keintiman yang semalaman suntuk telah mereka layari.

***

Words : 568
Baiklaaaah..
Sedikit vulgar, aaah demi kampus fiksi, Akhirnya aku mencoba melepaskan diri dari ketidak-biasaanku menulis hal seperti ini. 568 kata untuk tema #Nymphomaniac.
Oleh : Ramita Zurnia (id twitter: @Mitha_AdelSanto)





Rabu, 09 September 2015

#FFku - Karma

PLAKKK..

Perempuan itu tak bergeming.
Gambar telapak tangan mulai membiru di area pipi hingga pelipisnya. Renato mengumpat lagi. Mengutuk, dan menyumpah - nyumpah. Perempuan itu tetap berdiri, tidak meringis, tidak merengek sedikitpun.

Renato meneriakinya lagi dengan kata - kata tidak enak didengar. Entah kali keberapa, lelaki itu menempelengnya lagi hingga tubuhnya terasa goyah. Deana tertunduk, dan masih menikmati rasa perih yang bertahan di wajahnya.

"Kau pergilah, Deana, pergilah!!!"

Deana menatap wajah Renato dalam - dalam. Renato membuang muka dan mengepal kedua tangannya. Sebenarnya Deana sangat ingin membalas perlakuan ini, Deana selalu paham bahwa ini sudah sangat tidak adil baginya, tetapi dia selalu tidak ingin mengotori tangannya hanya untuk melampiaskan dendam.

"Kenapa kau ingin aku pergi, Renato? Kau bisa mencabut nyawaku, jika perlu."

Renato tidak menjawab. Beberapa kali dia pulang dalam keadaan mabuk, beberapa kali pula dia pulang dengan memeluk beberapa perempuan sundal ke rumah. Jika sudah kalah judi, dia akan melampiaskannya dengan menenggak berbotol - botol bir oplosan, lalu pulang terhuyung - huyung, dan melampiaskannya lagi pada tubuh ringkih yang tidak pernah sekalipun dia beri perhatian.

"Akhiri semuanya sekarang, Renato!" Suara Deana memang terdengar bergetar. Renato memaksa bola matanya memperhatikan Deana sejenak, tubuh perempuan itu semakin kurus saja. Hanya bagian perutnya yang terlihat sedikit membulat. Bahkan Renato sendiri tidak tahu berapa bulan sudah darah dagingnya bertahan di sana.

"Pergilaaaah, Deana. Pergi."

Deana tidak beranjak, apapun yang terjadi, terjadilah. Deana hanya ingin di sisi Renato, paling tidak hingga bayinya lahir. Jika tidak, maka biarlah semua berakhir. Toh, selama ini Deana merasa dirinya sudah tidak diinginkan lagi. Bahkan untuk pulang ke rumah orang tuanya saja, Deana juga sudah tidak sanggup.

Dia yang memutuskan untuk pergi dan memilih hidup dengan laki - laki ini. Dia juga yang mati - matian membela saat bapak mengamuk d ab menuding laki - laki brengsek ini. Dan dia juga yang mengancam ibu saat laki - laki ini diusir pergi setelah membuat masalah di rumahnya dulu.

Yaaa, laki - laki ini. Yang setengah mati diperjuangkan dan dicintainya. Laki - laki yang sama, yang akhirnya mencampakkannya begitu saja. Mungkinkah ini karma?

***

Words : 342
#FFku - Karma
Oleh : Ramita Zurnia (id twitter : @Mitha_AdelSanto)