Sial. Aku terlambat!
Kulangkahkan kakiku setengah berlari. Dengan langkah - langkah panjang aku berhasil mencapai pintu gerbang masuk ke kantor. Beberapa sepeda motor dan mobil sudah berjejer rapi di tempat parkir. Kulirik jam tangan mungil di pergelanganku. 08:25.
Ohh Tuhan, bergegas, Kia. Cepatlah sedikit.
Pagi ini, akan ada rapat pertemuan seluruh karyawan dengan beberapa pengawas dari kantor pusat. Sementara waktu semalaman tadi telah kuhabiskan dengan bergadang membuntuti Dozan.
Aku terlambat mencapai lift. Setengah menggerutu aku berlari menuju tangga. Kalau sudah terlambat begini, aku pasti akan diomeli sepanjang hari oleh manajerku. Mungkin juga langsung diberi surat peringatan, diceramahi, dan ditegur habis - habisan.
Lantai empat kosong. Lengang, tanpa satu orangpun juga. Aku mengernyitkan dahiku. Seharusnya di jam - jam seperti ini aktifitas di kantor sudah mulai ruwet, sibuk dan berisik. Hanya saja bisa kupastikan di beberapa meja milik rekanku sudah tergeletak beberapa berkas. Begitu juga dengan layar komputer yang terlihat masih menyala.
Ke mana semua orang? Situasi seperti ini tentu saja membuatku bingung bercampur panik. Aneh, hal ini sungguh terasa aneh bagiku. Padahal ingin sekali rasanya aku menikmati sedikit waktu untuk tidur, melanjutkan mimpi yang sempat terpotong tadi pagi oleh berisik jam weker di atas nakas.
***
"Setelah ini, kau harus bisa menjalani hidupmu, Kiara!"
Ucapan Mbah Surinah masih terngiang - ngiang jelas di memori otakku. Membuat debaran jantungku kian berlagu cepat. Beberapa tahun lalu selepas masa - masa sulit itu kulewati, bahkan dibantu Mbah Surinah aku berhasil keluar dari genggaman juragan jagal sapi di kampungku.
Aaah, bahkan dengan membayangkannya saja aku sudah merinding. Ulu hatiku terasa nyeri sekali. Pastinya sekarang aku bersyukur tidak lagi menjadi tawanan juragan Wiyoko si tukang jagal. Kalau tidak, tentu aku terpaksa harus menukar masa remajaku dengan dijadikan istri kesekian olehnya.
Aku menyumpah - nyumpah. Namun saat ini ada yang masih harus kucari tahu. Aku melompat keluar dari ingatanku, bahkan saat aku membuka pintu ruangan manajerku, kesunyian yang sama menyambutku.
Aku lega. Di satu sisi aku sangat lega. Bisa saja aku berbalik pulang tanpa peduli dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun, keanehan ini tentu akan menjadi gumpalan tanya yang bakal menohok pikiranku terus menerus. Bagaimana kalau alien berkunjung ke bumi, dan menyedot semua rekan kerjaku berikut manajerku yang galak dengan pesawat UFO.
Aku menggerutu. Beberapa kekonyolan sepertinya telah merasuki otakku lagi. Aku menepuk jidatku berkali - kali, dan dering ponsel dari dalam tas membuatku harus segera membuka pesan masuk. Pesan SMS dari Dozan.
"Haiii Nona Kiara, apa kabar? Bisakah kamu menemuiku siang ini di Lt. 5? Sendirian. Ingat, sendirian Sayang!"
Panas. Hawa panas di tubuhku terasa meningkat beberapa derajat celcius. Ohhh, Dozan memintaku menemuinya. Sendirian. Ohhh, rasanya seperti dilempari dengan granat aktif yang langsung melumat benakku menjadi cincangan kecil tak berbentuk.
Secepat kilat kutekan beberapa angka di tuts ponselku. Tak sabar rasanya aku menunggu hingga panggilan tersambung.
"Halo, Tuan William, iyaa Tuan, Dozan, saya baru saja menerima pesan darinya dan... Apaaaa??? Disandera??? Seluruh karyawan??? Lantai lima Tuan, baiklah... Iyaa Tuan, saya akan berhati - hati."
Kakiku bergetar. Aku terduduk lemas di atas kursi. Bagaimana bisa, semalaman suntuk kuluangkan waktuku untuk menguntit kegiatan Dozan dan hari ini dia telah berhasil merampungkan rencana besar. Rencana besar baginya, sekaligus bencana besar bagi seluruh rekan kerjaku.
***
Aku. Hanya aku. Sesuai instruksi dari Tuan William, terpaksa kupenuhi permintaan Dozan. Yaa, siapa itu Dozan? Dia adalah seorang pria brengsek. Dari berkas yang bertumpuk di meja kerja pribadi di rumahku, aku sangat tahu pasti bagaimana seorang Dozan akan mampu merasuki dan mempengaruhi siapapun untuk keinginan - keinginan yang akan dia paksakan. Semacam hasrat iblis yang membabi buta.
Aku tidak perlu mengendap - endap kali ini. Kukumpulkan segala kekuatan yang masih aku miliki. Kurangkum menjadi benteng pertahanan yang kuharap tidak bisa ditembus oleh pengaruh kekuatan Dozan nantinya.
Kreeeeekkkk
Kukuakkan daun pintu ruang rapat di lantai lima. "Dozaaaaan. Di mana kau, hah!?!"
Suaraku terdengar menggema. Ruang rapat ini terlalu luas untuk kususuri. Sebab itulah kuberanikan meneriakkan namanya berkali - kali. "Dozaaaan!!! Aku datang pengecut."
Hawa dingin yang bersumber dari AC membuat kulitku sedikit kaku kedinginan. Mataku tetap awas memperhatikan situasi di seluruh sudut ruangan.
"Wow, kau sudah datang?"
Kuawasi lagi semua sudut. Dan aku belum juga menemukan sosok pemilik suara berat tersebut. "Dozaaan, di mana kau? keluarlaaaaah pengecuttt!!!"
Suara tawanya yang mengejek membahana ke seluruh tempat. Amarahku semakin memuncak. Bagaimana bisa lelaki brengsek ini tertawa lepas dan mempermainkanku.
"Apa kabar, Nona manis."
Si pemilik mata elang itu muncul beberapa meter saja di depanku. Dia mengenakan stelan kemeja yang telah digulung lengannya, dipadukan dengan jeans panjang, berikut dengan gaya rambut ala preman yang memuakkan itu.
"Kau datang sendirian bukan?"
"Apa yang kauinginkan dariku, Dozan? Mengapa kau harus melibatkan rekan kerjaku?" Bukannya menjawab, aku malah mendesaknya balik dengan beberapa pertanyaan.
"Kau ingin tahu, Kiara?" Dia melompat ke arahku. Tanpa sempat mengelak, dia mendorongku dengan kuat ke arah dinding. "Aku menginginkan kau, Kiara."
***
Kupastikan gedung ini ramai. Sesekali terdengar suara sirine mobil polisi, juga diselai oleh lengkingan sirine ambulans. Beberapa petugas medis berlari ke arahku, kemeja kerjaku tampak kacau bersimbah darah.
"Nona Kiaraaaa, anda baik - baik saja Nona?" salah seorang anggota kepolisian menghampiriku.
"Bagaimana dengan para sandera?" Kulayangkan pertanyaan yang jauh lebih penting saat ini. Setelah berhasil menikamkan pisau ke lambung Dozan, rasanya mengetahui kabar para sandera adalah hal yang sangat wajar kulakukan.
"Mereka semua selamat, Nona. Hanya saja, salah seorang dari mereka menderita memar dan lebam yang cukup serius. Sepertinya dia dipukuli dan dihajar habis - habisan."
Aku menarik napas lega. Tetapi, "Ohh yaaa, siapa dia?"
"Tuan Barata, saya dengar dia manajer di perusahaan ini."
Aku tersenyum. Menyenangkan sekali rasanya mendengar penuturan tersebut. Seolah berapa kejadian menegangkan yang kualami tadi mendadak sirna dari pikiranku. Kuharap Tuan Barata si manajerku yang cerewet itu bisa mengambil hikmah atas apa yang menimpanya.
"Aku menginginkan kau, Kiara?"
Aku bergidik. Kejadian kali ini di luar kemauanku. Seandainya Dozan tidak memaksakan diri, mungkin dia tidak akan menemui ajalnya secepat ini.
Kulayangkan pandangan ke langit - langit. Menurutku petang mulai berlabuh. Kupikir beberapa hal memang sudah harus terjadi hari ini.
"Misi berhasil, Tuan William."
***(rz) ***
Hai gaes, terima kasih sudah membaca fiksiku berdasarkan prompt #CeriteraAgustus20 dari @KampungFiksi.
Ini adalah fiksiku versi kedua. Kutulis dengan versi cerita yang berbeda dalam hal menjawab tantangan dari Miss G.
^__^
Oleh : @Mitha_AdelSanto
Jika rindu mengijinkanmu untuk terus bersamaku, menjelmalah sebagai bait yang menampung seluruh huruf di bibirku.
Rabu, 26 Agustus 2015
Selasa, 25 Agustus 2015
Ceritera Agustus #20 - Mendadak Amnesia
Sial. Aku terlambat!
Kulangkahkan kakiku setengah berlari. Dengan langkah - langkah panjang aku berhasil mencapai pintu gerbang masuk ke kantor. Beberapa sepeda motor dan mobil sudah berjejer rapi di tempat parkir. Kulirik jam tangan mungil di pergelanganku. 08:25.
Ohh Tuhan, bergegas, Kia. Cepatlah sedikit.
Pagi ini, akan ada rapat pertemuan seluruh karyawan dengan beberapa pengawas dari kantor pusat. Sementara waktu semalaman tadi telah kuhabiskan dengan bergadang membuntuti Dozan. Yaaa, Dozan rekan kerjaku si pembuat masalah.
Aku terlambat mencapai lift. Setengah menggerutu aku berlari menuju tangga. Kalau sudah terlambat begini, aku pasti akan diomeli sepanjang hari oleh manajerku. Mungkin juga langsung diberi surat peringatan, diceramahi, dan ditegur habis - habisan.
Lantai empat kosong. Lengang, tanpa satu orangpun juga. Aku mengernyitkan dahiku. Seharusnya di jam - jam seperti ini aktifitas di kantor sudah mulai ruwet, sibuk dan berisik. Hanya saja bisa kupastikan di beberapa meja milik rekanku sudah tergeletak beberapa berkas. Begitu juga dengan layar komputer yang terlihat masih menyala.
Ke mana semua orang? Situasi seperti ini tentu saja membuatku bingung bercampur panik. Aneh, hal ini sungguh terasa aneh bagiku.
***
"Setelah ini, kau harus bisa menjalani hidupmu, Kiara!"
Ucapan Mbah Surinah masih terngiang - ngiang jelas di memori otakku. Membuat debaran jantungku kian berlagu cepat. Beberapa tahun lalu selepas masa - masa sulit itu kulewati, bahkan dibantu Mbah Surinah aku berhasil keluar dari genggaman juragan jagal sapi di kampungku.
Aaah, bahkan dengan membayangkannya saja aku sudah merinding. Ulu hatiku terasa nyeri sekali. Pastinya sekarang aku bersyukur tidak lagi menjadi tawanan juragan Wiyoko si tukang jagal. Kalau tidak, tentu aku terpaksa harus menukar masa remajaku dengan dijadikan istri kesekian olehnya.
Aku menyumpah - nyumpah. Namun saat ini ada yang masih harus kucari tahu. Aku melompat keluar dari ingatanku, bahkan saat aku membuka pintu ruangan manajerku, kesunyian yang sama menyambutku.
Aku lega. Di satu sisi aku sangat lega. Bisa saja aku berbalik pulang tanpa peduli dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun, keanehan ini tentu akan menjadi gumpalan tanya yang bakal menohok pikiranku terus menerus. Bagaimana kalau alien berkunjung ke bumi, dan menyedot semua rekan kerjaku berikut manajerku yang galak dengan pesawat UFO.
Aku menggerutu. Beberapa kekonyolan sepertinya telah merasuki otakku lagi. Aku menepuk jidatku berkali - kali, dan dering ponsel dari dalam tas membuatku harus segera membuka pesan masuk. Pesan SMS dari Dozan.
"Haii, Nona Kiara. Kenapa lama sekali? Semua orang sudah menunggu, rapat ditunda selama satu jam. Segera ke lantai lima."
Ohh Dozan! Sepertinya ribuan kunang - kunang membuat tubuhku limbung.
Duuh Kiara, Kenapa kamu mendadak amnesia. Bukankah ruang rapat ada di lantai lima?
***(rz) ***
Hai gaes, terima kasih sudah membaca fiksiku berdasarkan prompt #CeriteraAgustus20 dari @KampungFiksi.
Mari terus menulis. ^__^
Oleh : @Mitha_AdelSanto
Kulangkahkan kakiku setengah berlari. Dengan langkah - langkah panjang aku berhasil mencapai pintu gerbang masuk ke kantor. Beberapa sepeda motor dan mobil sudah berjejer rapi di tempat parkir. Kulirik jam tangan mungil di pergelanganku. 08:25.
Ohh Tuhan, bergegas, Kia. Cepatlah sedikit.
Pagi ini, akan ada rapat pertemuan seluruh karyawan dengan beberapa pengawas dari kantor pusat. Sementara waktu semalaman tadi telah kuhabiskan dengan bergadang membuntuti Dozan. Yaaa, Dozan rekan kerjaku si pembuat masalah.
Aku terlambat mencapai lift. Setengah menggerutu aku berlari menuju tangga. Kalau sudah terlambat begini, aku pasti akan diomeli sepanjang hari oleh manajerku. Mungkin juga langsung diberi surat peringatan, diceramahi, dan ditegur habis - habisan.
Lantai empat kosong. Lengang, tanpa satu orangpun juga. Aku mengernyitkan dahiku. Seharusnya di jam - jam seperti ini aktifitas di kantor sudah mulai ruwet, sibuk dan berisik. Hanya saja bisa kupastikan di beberapa meja milik rekanku sudah tergeletak beberapa berkas. Begitu juga dengan layar komputer yang terlihat masih menyala.
Ke mana semua orang? Situasi seperti ini tentu saja membuatku bingung bercampur panik. Aneh, hal ini sungguh terasa aneh bagiku.
***
"Setelah ini, kau harus bisa menjalani hidupmu, Kiara!"
Ucapan Mbah Surinah masih terngiang - ngiang jelas di memori otakku. Membuat debaran jantungku kian berlagu cepat. Beberapa tahun lalu selepas masa - masa sulit itu kulewati, bahkan dibantu Mbah Surinah aku berhasil keluar dari genggaman juragan jagal sapi di kampungku.
Aaah, bahkan dengan membayangkannya saja aku sudah merinding. Ulu hatiku terasa nyeri sekali. Pastinya sekarang aku bersyukur tidak lagi menjadi tawanan juragan Wiyoko si tukang jagal. Kalau tidak, tentu aku terpaksa harus menukar masa remajaku dengan dijadikan istri kesekian olehnya.
Aku menyumpah - nyumpah. Namun saat ini ada yang masih harus kucari tahu. Aku melompat keluar dari ingatanku, bahkan saat aku membuka pintu ruangan manajerku, kesunyian yang sama menyambutku.
Aku lega. Di satu sisi aku sangat lega. Bisa saja aku berbalik pulang tanpa peduli dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Namun, keanehan ini tentu akan menjadi gumpalan tanya yang bakal menohok pikiranku terus menerus. Bagaimana kalau alien berkunjung ke bumi, dan menyedot semua rekan kerjaku berikut manajerku yang galak dengan pesawat UFO.
Aku menggerutu. Beberapa kekonyolan sepertinya telah merasuki otakku lagi. Aku menepuk jidatku berkali - kali, dan dering ponsel dari dalam tas membuatku harus segera membuka pesan masuk. Pesan SMS dari Dozan.
"Haii, Nona Kiara. Kenapa lama sekali? Semua orang sudah menunggu, rapat ditunda selama satu jam. Segera ke lantai lima."
Ohh Dozan! Sepertinya ribuan kunang - kunang membuat tubuhku limbung.
Duuh Kiara, Kenapa kamu mendadak amnesia. Bukankah ruang rapat ada di lantai lima?
***(rz) ***
Hai gaes, terima kasih sudah membaca fiksiku berdasarkan prompt #CeriteraAgustus20 dari @KampungFiksi.
Mari terus menulis. ^__^
Oleh : @Mitha_AdelSanto
#FFRabu - Raja William dan Sebuah Permintaan
Dia masih sibuk memikirkan mahkota. Bahkan sedari tadi dia hilir mudik persis gangsing yang dimainkan anak tetangga. Hanya kedua bola mataku saja yang rela mengikuti langkah - langkah resahnya.
"Mahkota baruku, Isabelle. Mahkota baruku." Bibir tebalnya akan terus berceloteh tentang hal yang sama.
Dia lantas menatapku, tanpa senyuman, tanpa ekspresi sama sekali. "Duduklah, William. Duduklah!" Biasanya dia langsung menurut jika kuperintahkan untuk bersikap tenang.
"Isabelle, mahkota emasku yang bertitahkah batu safir, akik kalimaya dan kristal. Aku menginginkannya kembali."
Dia tertunduk murung. Tatapan memelasnya membuatku terenyuh. Biasanya William akan mengamuk. Namun sebelum itu terjadi, dengan sigap kusuntikkan (lagi) obat penenang. (rz)
***
Words : 100
#FFRabu @MondayFF tema "RAJA"
Oleh : @Mitha_AdelSanto
"Mahkota baruku, Isabelle. Mahkota baruku." Bibir tebalnya akan terus berceloteh tentang hal yang sama.
Dia lantas menatapku, tanpa senyuman, tanpa ekspresi sama sekali. "Duduklah, William. Duduklah!" Biasanya dia langsung menurut jika kuperintahkan untuk bersikap tenang.
"Isabelle, mahkota emasku yang bertitahkah batu safir, akik kalimaya dan kristal. Aku menginginkannya kembali."
Dia tertunduk murung. Tatapan memelasnya membuatku terenyuh. Biasanya William akan mengamuk. Namun sebelum itu terjadi, dengan sigap kusuntikkan (lagi) obat penenang. (rz)
***
Words : 100
#FFRabu @MondayFF tema "RAJA"
Oleh : @Mitha_AdelSanto
Rabu, 19 Agustus 2015
#CERMIN_KEMERDEKAAN - Pejuang Kehidupan
“Sarapannya mana, Bu?”
Pertanyaan mbah Darmo mengejutkan
mbok Narti yang sedang sibuk mengaduk seperiuk nasi yang masih mengepulkan
asap. Mbok Narti mengeluh, pagi ini memang ada nasi yang ditanaknya, mungkin
nanti siang hingga malam menjelang dia dan suami harus bisa menahan tuntutan
rasa lapar.
“Lhaa sabar, Pak. Ini sebentar
lagi selesai.”
“Cepetan, Bu.” Mbah Darmo
memperlihatkan perutnya yang kerempeng tanpa baju. Dia terkekeh sehingga
nampaklah gusi ompongnya yang nyaris tak
menyisakan satu gigi pun. “Oya, esok
sudah 17 Agustusan, Bu. Sepanjang jalan perkampungan sudah terpasang berbagai
macam hal berbau merah-putih loh, Bu.”
“Lantas kenapa, Pak?” Mbok
Narti menyodorkan sepiring nasi tanpa lauk pada suaminya. Lagi, tanpa lauk
sepotong pun. Mbok Narti yakin suaminya pasti sudah melihat umbul-umbul merah-putih
di sepanjang jalan setelah pulang memulung.
Mbok Narti menarik napas dalam-dalam.
Berpuluh tahun mereka lewati kebersamaan, setia menghuni gubuk mungil sebilik bambu,
berlantaikan tanah.
“Saya ingin ikut
memperingati, Bu. Seperti tahun-tahun lalu. Sudah pasti saya ndak mau ketinggalan.”
“Lhaa, bapak, bapak. Mau ikut
memperingati bagaimana?”
“Ya harus, Bu. Lha sedari
muda aku ikut berperang melawan penjajah.”
“Dan sampai sekarang masih
berperang demi sesuap nasi ya, Pak?”
Mbah Darmo terdiam, Tak ada
yang berubah hingga sekarang tubuhnya renta sudah. (*)
***
#CERMIN Kemerdekaan ini kuikutkan di kuis bentang pustaka edisi Sabtu.
Oleh : @Mitha_AdelSanto
Adakah Momen Lebaran Yang Jauh #LebihBaik?
Sebulan lamanya kita menunaikan ibadah puasa, menikmati setiap detik Ramadan dengan memperbanyak amalan dan ibadah. Segala sesuatu kita lakukan dengan ikhlas semata mendapatkan ridho Allah Swt.
Ramadan berlalu dengan cepat, tiba saatnya untuk merayakan hari kemenangan. Seluruh umat muslim di dunia akan bersuka cita menyambut hari kemenangan ini. Kumandang takbir akan bergema di mana - mana. Seluruh rindu akan tumpah ruah saat bisa melewati hari berbahagia di tengah orang - orang tersayang.
Adakah momen lebaran yang jauh lebih baik selain berkumpul dengan ayah, ibu, adik, kakak, dan semua sanak saudara di kampung halaman? Apalagi bagiku, yang harus ikut dengan suami merantau ke kota Pekanbaru, pastinya momen mudik lebaran menjadi sesuatu hal yang bisa dibilang wajib setiap tahunnya.
Memang sudah seharusnya, momen lebaran bersama keluarga di kampung halaman adalah momen yang sangat aku dan suami tunggu - tunggu. Bahkan kami akan mempersiapkan segala sesuatunya jauh hari sebelum lebaran tiba. Bisa saja kami akan mulai mendiskusikan ingin mudik lebaran menggunakan transportasi seperti apa, apakah sanggup berdesakan dengan pemudik di dalam bus antar provinsi, atau memilih konvoi dengan para sahabat menggunakan sepeda motor.
Semua perasaan memang terasa jauh lebih baik saat aku bisa berada di tengah keluarga. Semua rasa lelah setelah menempuh perjalanan berjam - jam dengan sepeda motor segera terbayar lunas setelah aku bisa merengkuh tubuh ibu, mencium punggung tangan ayah, juga memeluk adik - adikku dan berbagi rindu dengan mereka.
Butuh waktu delapan jam untuk mencapai Lubuk Sikaping, kota kelahiranku yang dipagari oleh hijaunya bukit barisan, dengan udara yang bersih dan sejuk. Lubuksikaping adalah sebuah kota kecil yang hanya berjarak dua jam dari pusat kota Bukittinggi.
Bagi kami masyarakat Minangkabau ada masakan khas yang harus selalu ada di setiap kali momen lebaran datang. Apalagi kalau bukan randang alias rendang daging yang sudah pasti lezat sekali. Jika sudah pulang kampung begini, aku tidak akan melewatkan masa untuk ikut mencicipi rendang hitam buatan ibuku. Daging rendang yang empuk, dengan cita rasa pedas yang benar - benar menggugah selera. Selain rendang, sudah tentu ibu juga selalu menghidangkan asam padeh (asam pedas) ikan, dan pangek paku kariang (rendang sayur pakis) yang dimasak dengan mencampurkan potongan sayur pakis, pisang mengkal, sambuang (kecombrang), jengkol, dan ikan tuna.
Selain melepas rindu untuk menyantap masakan ibu, lebaran bersama keluarga memang akan selalu menjadi hal yang paling berkesan setiap tahunnya. Sebab di manapun aku dan suami merantau mencari rezeki, meski aku harus terpisah jarak ribuan kilometer dengan ayah dan ibu, aku akan selalu menyempatkan untuk bisa mudik lebaran dan berada di rumah bersama keluarga besar.
Mengapa?
Sebab hanya selagi aku masih bisa. Selagi orang yang kusayangi masih ada. Akan kugunakan waktu dan kesempatan yang tersisa untuk berkumpul, saling berbagi, dan berusaha untuk ada di sisi mereka. Sebab hanya selalu kenangan indah yang akan kuukir setiap waktu untuk keluargaku, ayah - ibu, dan adik - adikku.
Sebab #LebihBaik kisah dan cerita indah itu terangkai oleh kasih sayang dan cinta dari keluarga.
Harapan terdalamku,
Aku selalu punya waktu untuk berkumpul,
Mendengarkan celoteh - celoteh riang adik - adikku,
Juga selalu ada bersama mereka yang kusayangi di momen lebaran tahun - tahun berikutnya.
***rz***

"Lebaran" #LebihBaik
Tulisan ini kuikutkan pada event BLOG COMPETITION "Lebaran" #LebihBaik yang diadakan oleh Sun Life Indonesia.
Pastinya juga untuk mengenang momen indah LEBARAN Id Fitri 1436 H.
Oleh : Ramita Zurnia
Ramadan berlalu dengan cepat, tiba saatnya untuk merayakan hari kemenangan. Seluruh umat muslim di dunia akan bersuka cita menyambut hari kemenangan ini. Kumandang takbir akan bergema di mana - mana. Seluruh rindu akan tumpah ruah saat bisa melewati hari berbahagia di tengah orang - orang tersayang.
Adakah momen lebaran yang jauh lebih baik selain berkumpul dengan ayah, ibu, adik, kakak, dan semua sanak saudara di kampung halaman? Apalagi bagiku, yang harus ikut dengan suami merantau ke kota Pekanbaru, pastinya momen mudik lebaran menjadi sesuatu hal yang bisa dibilang wajib setiap tahunnya.
Memang sudah seharusnya, momen lebaran bersama keluarga di kampung halaman adalah momen yang sangat aku dan suami tunggu - tunggu. Bahkan kami akan mempersiapkan segala sesuatunya jauh hari sebelum lebaran tiba. Bisa saja kami akan mulai mendiskusikan ingin mudik lebaran menggunakan transportasi seperti apa, apakah sanggup berdesakan dengan pemudik di dalam bus antar provinsi, atau memilih konvoi dengan para sahabat menggunakan sepeda motor.
Semua perasaan memang terasa jauh lebih baik saat aku bisa berada di tengah keluarga. Semua rasa lelah setelah menempuh perjalanan berjam - jam dengan sepeda motor segera terbayar lunas setelah aku bisa merengkuh tubuh ibu, mencium punggung tangan ayah, juga memeluk adik - adikku dan berbagi rindu dengan mereka.
Butuh waktu delapan jam untuk mencapai Lubuk Sikaping, kota kelahiranku yang dipagari oleh hijaunya bukit barisan, dengan udara yang bersih dan sejuk. Lubuksikaping adalah sebuah kota kecil yang hanya berjarak dua jam dari pusat kota Bukittinggi.
Bagi kami masyarakat Minangkabau ada masakan khas yang harus selalu ada di setiap kali momen lebaran datang. Apalagi kalau bukan randang alias rendang daging yang sudah pasti lezat sekali. Jika sudah pulang kampung begini, aku tidak akan melewatkan masa untuk ikut mencicipi rendang hitam buatan ibuku. Daging rendang yang empuk, dengan cita rasa pedas yang benar - benar menggugah selera. Selain rendang, sudah tentu ibu juga selalu menghidangkan asam padeh (asam pedas) ikan, dan pangek paku kariang (rendang sayur pakis) yang dimasak dengan mencampurkan potongan sayur pakis, pisang mengkal, sambuang (kecombrang), jengkol, dan ikan tuna.
Selain melepas rindu untuk menyantap masakan ibu, lebaran bersama keluarga memang akan selalu menjadi hal yang paling berkesan setiap tahunnya. Sebab di manapun aku dan suami merantau mencari rezeki, meski aku harus terpisah jarak ribuan kilometer dengan ayah dan ibu, aku akan selalu menyempatkan untuk bisa mudik lebaran dan berada di rumah bersama keluarga besar.
Mengapa?
Sebab hanya selagi aku masih bisa. Selagi orang yang kusayangi masih ada. Akan kugunakan waktu dan kesempatan yang tersisa untuk berkumpul, saling berbagi, dan berusaha untuk ada di sisi mereka. Sebab hanya selalu kenangan indah yang akan kuukir setiap waktu untuk keluargaku, ayah - ibu, dan adik - adikku.
Sebab #LebihBaik kisah dan cerita indah itu terangkai oleh kasih sayang dan cinta dari keluarga.
Harapan terdalamku,
Aku selalu punya waktu untuk berkumpul,
Mendengarkan celoteh - celoteh riang adik - adikku,
Juga selalu ada bersama mereka yang kusayangi di momen lebaran tahun - tahun berikutnya.
***rz***

"Lebaran" #LebihBaik
Tulisan ini kuikutkan pada event BLOG COMPETITION "Lebaran" #LebihBaik yang diadakan oleh Sun Life Indonesia.
Pastinya juga untuk mengenang momen indah LEBARAN Id Fitri 1436 H.
Oleh : Ramita Zurnia
Selasa, 18 Agustus 2015
#FFRabu - Nay, Detektif Cinta
Matanya merah menyala, berkilat - kilat seperti hendak menerkamku.
Aahhh, aku tidak ingin sisi perempuanku menjadi kelemahan di mata musuhku. Yaa, hingga saat ini aku masih menyebutnya sebagai musuh.
"Tidak bisa begitu, Nay. Kamu harus segera ambil sikap dalam hal ini." Semalam Deara berceloteh tak jelas. Aku memilih menutup kupingku hingga membuatnya kesal.
"Tidak, Deara. Tidak. Aku akan menyelidiki semua ini."
"Mau sampai kapan? Semua ini sudah terlalu berlebihan nona detektif." Deara menggodaku.
Ahh, Aku masih bersembunyi di sini. Mengintai Paulo dari kejauhan. Beberapa hari yang lalu Paulo menyatakan cinta padaku. Aku masih butuh banyak bukti, sebelum memutuskan menerima cintanya.*
***
100 kata.
#FFRabu tema "Detektif"
Oleh @Mitha_AdelSanto
Aahhh, aku tidak ingin sisi perempuanku menjadi kelemahan di mata musuhku. Yaa, hingga saat ini aku masih menyebutnya sebagai musuh.
"Tidak bisa begitu, Nay. Kamu harus segera ambil sikap dalam hal ini." Semalam Deara berceloteh tak jelas. Aku memilih menutup kupingku hingga membuatnya kesal.
"Tidak, Deara. Tidak. Aku akan menyelidiki semua ini."
"Mau sampai kapan? Semua ini sudah terlalu berlebihan nona detektif." Deara menggodaku.
Ahh, Aku masih bersembunyi di sini. Mengintai Paulo dari kejauhan. Beberapa hari yang lalu Paulo menyatakan cinta padaku. Aku masih butuh banyak bukti, sebelum memutuskan menerima cintanya.*
***
100 kata.
#FFRabu tema "Detektif"
Oleh @Mitha_AdelSanto
Senin, 17 Agustus 2015
#Fiksiku - Detik Terakhir
Ledakan terdengar di mana - mana. Sesekali beruntun, dan beberapa detik hanya ada sunyi serupa suasana pemakaman. Yaa, bahkan aku berpendapat mungkin sebentar lagi akan ada roket yang menukik dan mengoyak daging - daging segar kami.
Aku terhenyak, bumi tempatku berpijak kembali bergetar hebat. Negeri antah berantah dengan penguasa yang nuraninya telah lama musnah.
"Ciiiihhhh." Aku mengumpat, entah sudah berapa lama aku terkurung di bawah langit malam yang bergolak oleh warna merah menyala. Menyuguhkan percikan kembang api raksasa, yang sanggup melahap seisi kota.
Aku menyeret - nyeret langkah di antara reruntuhan, kulayangkan pandangan, tak ada satu pun bangunan yang terlihat utuh. Tentu saja, bom dan roket sialan itu akan meluluhlantakkan semuanya tanpa tersisa.
Kutahan rasa sakit yang menjalari kedua kakiku. Darah yang tadinya mengalir dari robekan luka di betisku sudah menghitam. Mengering.
"Kau sudah siap?"
Aku memperhatikan si pemilik suara. Dalam pandangan kedua mataku, sosok berjubah besar itu melototiku dengan mata merah berkilat - kilat.
"Hei, apa maksudnya?" Kucoba mengeluarkan pertanyaan dengan debar tak jelas di dadaku.
"Sudah tiba waktunya bagi ajalmu, kau tahu?"
Aku yakin keringat dingin mengucur dari pelipisku. Dadaku bergemuruh hebat, embusan angin malam di sela ranting seakan memberi pertanda buruk untuk akhir hidupku. Ajalku, yaa ajalku, mungkinkah dia malaikat maut pencabut nyawa?
"Kau bisa datang kembali nanti." Kucoba melawan riuh suara yang memenuhi benakku. Kali ini tentu tanpa beban, sebab aku mulai menguasai suasana hati dan pikiranku.
"Kau ingin mengulur waktu?"
"Tidak. Aku siap kapanpun itu."
"Lantas?"
Aku tertawa, sepertinya di negeriku ini tidak ada lagi manusia yang masih bernyawa. Kecuali mereka para pemangsa nyawa dan pengendali roket - roket itu.
"Aku ingin menjadi yang terakhir," Ucapanku terhenti, sepertinya oksigen di tempatku mulai kehabisan stok. Aku menahan nyeri di paru - paruku yang mungkin mengering. "Aaah, negeri ini rata sudah. Ribuan nyawa terenggut paksa, bumi menelannya sebagai kuburan massal. Aku ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan bumi porak - poranda."
Sosok tinggi besar itu menyeringai dan terkekeh. Apa dia menertawakanku? Aku meringis, negosiasi diterima. Dan sebuah roket berdentam - dentam, menubruk apapun di sekitarku.
Negosiasi berakhir.
Kupastikan aku akan pulang,
Segera pulang.
***rz***
Fiksi ini adalah pengembangan dari #FiksiMini yang kukirim dari akun twitterku.
@Mitha_AdelSanto
"DETIK TERAKHIR - Aku masih bernegosiasi dengan malaikat."
Aku terhenyak, bumi tempatku berpijak kembali bergetar hebat. Negeri antah berantah dengan penguasa yang nuraninya telah lama musnah.
"Ciiiihhhh." Aku mengumpat, entah sudah berapa lama aku terkurung di bawah langit malam yang bergolak oleh warna merah menyala. Menyuguhkan percikan kembang api raksasa, yang sanggup melahap seisi kota.
Aku menyeret - nyeret langkah di antara reruntuhan, kulayangkan pandangan, tak ada satu pun bangunan yang terlihat utuh. Tentu saja, bom dan roket sialan itu akan meluluhlantakkan semuanya tanpa tersisa.
Kutahan rasa sakit yang menjalari kedua kakiku. Darah yang tadinya mengalir dari robekan luka di betisku sudah menghitam. Mengering.
"Kau sudah siap?"
Aku memperhatikan si pemilik suara. Dalam pandangan kedua mataku, sosok berjubah besar itu melototiku dengan mata merah berkilat - kilat.
"Hei, apa maksudnya?" Kucoba mengeluarkan pertanyaan dengan debar tak jelas di dadaku.
"Sudah tiba waktunya bagi ajalmu, kau tahu?"
Aku yakin keringat dingin mengucur dari pelipisku. Dadaku bergemuruh hebat, embusan angin malam di sela ranting seakan memberi pertanda buruk untuk akhir hidupku. Ajalku, yaa ajalku, mungkinkah dia malaikat maut pencabut nyawa?
"Kau bisa datang kembali nanti." Kucoba melawan riuh suara yang memenuhi benakku. Kali ini tentu tanpa beban, sebab aku mulai menguasai suasana hati dan pikiranku.
"Kau ingin mengulur waktu?"
"Tidak. Aku siap kapanpun itu."
"Lantas?"
Aku tertawa, sepertinya di negeriku ini tidak ada lagi manusia yang masih bernyawa. Kecuali mereka para pemangsa nyawa dan pengendali roket - roket itu.
"Aku ingin menjadi yang terakhir," Ucapanku terhenti, sepertinya oksigen di tempatku mulai kehabisan stok. Aku menahan nyeri di paru - paruku yang mungkin mengering. "Aaah, negeri ini rata sudah. Ribuan nyawa terenggut paksa, bumi menelannya sebagai kuburan massal. Aku ingin menjadi orang terakhir yang menyaksikan bumi porak - poranda."
Sosok tinggi besar itu menyeringai dan terkekeh. Apa dia menertawakanku? Aku meringis, negosiasi diterima. Dan sebuah roket berdentam - dentam, menubruk apapun di sekitarku.
Negosiasi berakhir.
Kupastikan aku akan pulang,
Segera pulang.
***rz***
Fiksi ini adalah pengembangan dari #FiksiMini yang kukirim dari akun twitterku.
@Mitha_AdelSanto
"DETIK TERAKHIR - Aku masih bernegosiasi dengan malaikat."
Langganan:
Postingan (Atom)