Hardi
akan selalu setia mendampinginya.
Begitulah yang Rahma rasakan saat Hardi
bergegas mengengkol pedal motor tua itu. Anak
- anak sudah aman berada di rumah
mertua, dan Rahma bisa lebih sigap untuk mencapai
rumah sakit sesegera mungkin.
Jasad
lelaki itu masih terbaring di atas ranjang rumah sakit. Tanpa pikir panjang
Rahma langsung membuka tutupan kain putih panjang yang menyelimuti tubuh
ayahnya, dikecupnya perlahan dahi dingin pada wajah pucat itu. Rahma sangat terpukul,
dilihatnya emak terisak di samping jasad ayah. Rahma tahu, dadanya jauh lebih
bergemuruh, tetapi demi emak, Rahma akan mencoba untuk lebih tabah.
"Rahmaaaa."
Melihat Rahma, emak langsung menubruknya. Anak beranak itu saling berpelukan.
Rahma mencoba menahan lelehan air mata, tapi tetap saja Rahma tidak sanggup
lagi membendungnya.
"Maaaak..." Emak
membetulkan songkok di kepalanya. Beberapa helai uban nampak
terjulur dari pelipis emak. Emak menekan dadanya berkali - kali.
"Ayah kau,
Rahma. Ayah kau telah bebas dari penyakitnya sekarang." Emak mengusapkan
lengannya ke pipi yang bersimbah air mata. Rahma masih menahan isakan. Duka
mendalam terasa membekaskan nyeri di palung hati. "Tapi emak tidak akan
berlarut - larut, Rahma. Semua ini telah diatur Allah. Mak sudah ikhlaskan ayah
kau."
Rahma
mengusap pundak emak dengan penuh sayang
"Oyaa,
Di mana cucu - cucu emak?"
Rahma
ingin menjawab, tetapi Hardi sudah menyahut duluan. "Iya, Mak. Kamila dan
Syafika terpaksa Hardi titipkan di rumah ibu. Sebaiknya mereka menunggu dulu,
nanti baru menyusul saat jenazah ayah sudah sampai di rumah."
Hujan
semakin deras. Pukul 16:15 WIB ayah berpulang ke rumah Sang Pencipta.
***
Sisa
- sisa hujan masih tercetak jelas di setapak tanah sekitar pemakaman. Meninggalkan
bau khas tanah basah. Beberapa pelayat sudah melangkah pulang. Sementara Rahma,
dan keluarga masih berjongkok di depan pusara.
"Mari
pulang," suara bang Azuar terdengar sedikit memerintah. Jika tidak begitu
mungkin Rahma masih terpaku menatap nisan ayahnya.
"Ayolah...
" Tanpa berpikir panjang Zaidar, kakak perempuan Rahma langsung melengos
sambil membimbing anaknya menuruni bukit jiraik.
Rahma berjalan bersisian dengan emak, di depannya Hardi memegangi jemari
Kamila dan Syafika, membimbingnya dengan hati – hati, mengimbangi langkah
keduanya agar tidak terpeleset di jalanan yang becek.
"Ibuu,
lihattt, lihaaaattt." Kamila menunjuk ke arah langit. Pelangi cantik
terlihat jelas melingkar dari balik bukit barisan. Syafika ikut senang dibuatnya.
Dia melompat - lompat, mengikuti kakaknya menunjuk - nunjuk ke atas sana.
"Hati
- hati, Sayang." Rahma memperingatkan anak - anaknya. Perempuan itu enggan
mendongak. Biarlah, pikirnya. Sudah lama sekali rasanya Rahma lupa akan rupa
warna di tampuk pelangi.
***
Rahma
membereskan kamar barunya. Seperti saran Hardi, Rahma akhirnya memilih pindah ke
rumah emak. Bahkan Hardi sendiri telah mengurus segala hal menyangkut mutasi kerja, juga kepindahan
sekolah anak - anak.
"Ini
lebih baik, Rahma. Menurutku dengan kepindahan ini, emak tidak akan
kesepian. "Rahma setuju sekali. Orang tua itu tentunya sangat bersuka cita.
Sebab kesunyian di hari tua, selepas ditinggal suami akan sangat terasa berat
jika harus beliau lewati sendirian.
"Jadi
kalian sudah mantap untuk pindah?" Semalam emak bertanya dengan ragu -
ragu.
"Tentu
sudah, mak. Rahma pikir semua sudah seharusnya. Tidak ada alasan lain untuk
menunda kepindahan ini."
Rahma
hendak keluar kamar saat dari halaman terdengar suara gaduh. Rahma sadar betul
kalau itu adalah suara kakaknya, Zaidar.
"Aku tidak mau tahu, Mak. Tanah
emak harus dibagi dua untukku dan Rahma."
Emak
terduduk di anak jenjang rumah. Rahma bergegas turun mencari tahu duduk
perkaranya. "Kak Zaidar, kenapa tidak masuk dan berbicara di dalam
saja." Rahma berusaha mendinginkan suasana..
"Aaah,
di sini sajalah Rahma. Aku juga ingin kautahu satu hal. Kalau kau pindah dan
tinggal di kampung, aku ingin emak lekas membagi tanah warisan. Biar aku tahu
mana tumpuak warisan masing - masing
dari kita."
Rahma
terperanjat. Warisan? seingat Rahma warisan tidaklah penting di bahas saat ini.
Ibaratnya pusara ayah saja masih merah, dan sekarang kak Zaidar sibuk ingin
pembagian harta dilakukan.
"Ahh,
seperti inginku, tanah warisan harus dibagi dua sama rata. Separuh untukku,
separuh untuk kau."
Mendengarnya
emak sangat berang. Rahma menenangkan emak. Berbantah - bantahan dengan kak
Zaidar sama saja dengan menambah perkara, sebab Zaidar memang bertabiat keras
kepala, keras hati pula. "Pulanglah dulu, Kak. Nanti kita bincangkan
keinginan kakak ini kepada abang. Sebab kakak pasti juga paham bagaimana adat yang
mengikat mengenai warisan ini."
***
Rahma
baru saja kembali dari rumah bidan. Emak sedang tidak enak badan. Hujan kembali
turun dengan tak sabar. Di luar rumah jangkrik - jangkrik mengerik riang. Anak
- anak tengah belajar mengaji saat terdengar ketukan dari arah pintu depan.
"Tok Tok Tok."
"Siapa
yaa Mak?" Rahma menatap wajah emak penuh tanya. Emak yang baru akan
beristirahat hanya menggeleng.
"Kaubukalah
dulu, Nak. Emak ingin berbaring dulu sebentar."
Rahma
mengangguk dan berjalan menguakkan daun pintu. Di bawah temaram bola lampu
sepuluh watt, Rahma bisa melihat
dengan jelas siapa tamunya, dia senang bukan main sebab yang datang berkunjung
tak lain adalah abang - abangnya.
"Masuklah,
bang." Rahma mempersilahkan. Kedua abangnya langsung menduduki kursi rotan
di ruang tamu. "Abang tunggulah dahulu. Rahma bikinkan kopi ya? Sebentar
lagi bang Hardi selesai mengajari anak - anak. Emak sedang berehat pula di
dipan."
Rahma
berlalu ke arah dapur. Suara celotehan anak - anak mulai terdengar dari ruang
tamu. Rahma tersenyum. Pasti Kamila dan Syafika yang telah selesai mengaji
tengah digoda mamak – mamaknya.
"Begini,
Mak. Aku dan Syarli bingung. Seperti yang sudah emak dan Rahma ketahui, sebagai
ahli waris, kewajiban kami membagikan warisan pusako tuo seperti yang dituntutkan oleh Zaidar." bang Azuar
memulai pembicaraan. Emak yang telah bergabung terbatuk - batuk mendengarkan.
"Menurut
emak, kalau begitu bagilah. Tapi kau Azuar, Syarli, bagilah dengan adil dan
rata. Emak ingin kalian akur kakak beradik. Kalau bisa sebelum Allah mengambil
nyawa mak, kalian sudah selesaikan masalah pembagian ini."
Rahma
merinding mendengar penuturan emak. Sawah yang luas beserta ladang - ladang
akan dibagi dua untuknya dan kak Zaidar. Begitulah keharusan di Minang ini,
segala harta pusako tuo akan turun
kepada anak - anak perempuan kandung. Namun keserakahan dan sifat tamak kak
Zaidar tentu sudah mendarah daging.
"Harta
yang sudah ada jangan sampai membuat kalian sengsara nantinya." Lamunan
Rahma seketika buyar saat mendengar emak memberi nasihat.Emak tersenyum,
menenangkan sekali senyuman emak di mata Rahma. Udara kian dingin, Rahma mulai
mengantuk. Sementara anak - anak sudah tampak pulas di ruang tengah. Beginilah
suasana malam hari di kampung halaman Rahma, hening tanpa kebisingan.
***
Seorang
perempuan paruh baya terlihat asyik menyisir rambutnya, mematut diri di depan
cermin lalu tersenyum. Hari ini akan ada tamu datang untuk berkunjung.
"Rahma,
kau sudah selesai? Bisa bantu abang?"
Wanita
yang dipanggil Rahma tersenyum lagi. "Sebentar bang Hardi."
Rahma
langsung menghampiri suaminya, di mata Rahma tidak banyak yang berubah dari seorang
Hardi selain beberapa helai uban yang mulai mencolok di antara rambut
hitamnya. Dengan senang hati Rahma mengancingkan kemeja suaminya. "Selesai,
Bang. Ayo ke depan. Anak - anak pasti sudah sampai."
Rahma
membimbing Hardi ke teras depan. Kamila dan Syafika sudah menyambut dengan
senyuman. Keduanya langsung mengecup punggung tangan Rahma dan Hardi dan mendaratkan
ciuman penuh rindu di pipi ayah ibunya.
Bertahun
- tahun berlalu, semenjak Hardi akhirnya pensiun dari pekerjaan, anak - anak
juga telah menyelesaikan studinya. Bahkan Kamila sudah dua tahun menikah dengan
Hazel, sementara Syafika baru saja bertunangan.
"Ayo
masuk. Ibu sudah tidak sabar ingin mendengarkan cerita kalian." Rahma
menatap kedua putrinya dengan mata berbinar. Serupa pelangi petang yang
terbentang indah di langit sana.
"Apalagi
Mila, Bu. Kamila rinduuu sekali dengan ibu. Untung saja bang Hazel bisa ambil
cuti tiga hari, jadi bisa ngumpul di hari ulang tahun ibu."
Rahma
tersenyum. Hari ini usianya genap sudah limapuluh tahun. Tak banyak yang
berubah. Waktu berlalu sesuai takdir Tuhan. Telah empat tahun emak berpulang
menyusul ayah. Setahun kemudian juga disusul oleh bang Azuar. Rahma merasakan
dadanya mulai sesak jika mengingat kenangan dengan orang - orang tersayang.
Pun dengan
kak Zaidar, hubungan mereka memang tak pernah membaik. Bahkan semenjak emak
meninggal, kak Zaidar terkesan hendak menyingkirkan Rahma. Padahal perkara
warisan, sudah dibagikan sesuai amanah ayah. Tapi tetap saja ada rasa
ketidak-puasan di hati kak Zaidar.
Rahma
menahan napas untuk beberapa saat. Bagi Rahma segala hal dalam kehidupan ini
biarlah berlalu semestinya tanpa memaksakan sesuatu itu harus berlaku bahagia
atau duka.
Putik
- putik bunga cengkeh bergoyang tertiup angin. Desember tahun ini, semua terasa
sempurna. Rahma telah belajar menghargai arti cinta dan setia. Seperti emak
yang setia menjaga ayah, seperti besarnya cinta bang Hardi kepadanya dan kesetiaan
itu akan Rahma buktikan dengan mendampingi Hardi yang sudah lima tahun terakhir
divonis stroke oleh dokter, tentunya
Rahma akan ekstra perhatian untuk mendampingi Hardi dan membantu segala
keperluannya.
Langit
begitu terang. Gerimis telah berhenti. Rahma masih saja tersenyum menyaksikan
kebahagiaan yang dimilikinya. "Bu, lihat. Pelangi melingkar indah."
seru Kamila bersemangat.
"Kami
tahu, ibu adalah penyuka pelangi. Mendiang atuk
pernah bercerita betapa ibu akan
bergegas menyingkap tirai jendela, melupakan
segala kesedihan saat di langit tercipta
keindahan berwarna - warni.”
Rahma
memeluk keduanya dengan erat, "Aaah
ayah, hujan pelangi di langit Lubuk Sikaping memang lebih indah. Bahkan hingga sekarang Rahma
masih menjumpai keindahan itu di binar dua mata bahagia orang - orang yang
Rahma sayangi."
***(Rz)***
Ramita
Zurnia, lahir di kota kecil Lubuk Sikaping (Sumatera Barat)
pada 03 September 1988. Merupakan anak sulung dari empat bersaudara.
Seorang pengagum senja dan hujan yang
sangat suka menuliskan luka. Saat ini bergiat sebagai seorang penikmat dan
penulis puisi cyber. Akun twitter @Mitha_AdelSanto
***
Cerpen ini pernah kuikutkan di #SayembaraCerpenFemina.
Nggak menang sih. :) Jadi sekarang dipajang di blog nggak apalah ya.
Namun semangat menulisku nggak surut dong. Tetap rajin nyari event nulis di internet.
Browsing ini itu yang berkaitan dengan menulis. :)
Selamat membaca.