Pagi masih berkabut, ketika di sebuah batang air terdengar gemericik air
ditimbakan dan menghempas kembali di sela bebatuan. Begitulah di kampung ini,
di waktu subuh aktifitas sudah dimulakan. Riuh rendah terdengar suara - suara
perempuan tengah asyik bercakap. Sesekali terdengar serius, sesekali terdengar
subuh pecah oleh suara gelak tawa.
"Kau asyik tergelak, Serunai? Awaskan mata,
jangan sampai kain yang kaucuci terhanyut pula."
"Iya, Uni.
Janganlah Uni merisaukan kain - kain
ini, kutengok Uni dari tadi tak jua
habis - habis menyabun."
Gadis bernama Serunai tadi tergelak. Dia turun ke
air yang dingin itu, melanjutkan membilas pakaian - pakaian yang sudah selesai
disabuni.
"Oyaa, kudengar kabar dari mandeh, katanya orang sekampung akan
memasak di rumah Rajo Maulana Kari pagi ini." Upiak Gadih memotong gurauan
kedua gadis tadi.
"Perihal apa, Uni?" Serunai mengernyitkan keningnya.
"Jadi kalian juga belum tahu? Mandeh bilang petang nanti selepas Ashar
Puti Sari Banilai hendak ditunangkan dengan kekasih pujaan hatinya."
Serunai dan Ambun saling pandang. Jadi cerita yang
beredar itu benar. Tentang puti cantik
anak rajo di kampung mereka, yang
hendak membina perkawinan dengan kekasihnya.
"Wah, senanglah hati si Puti Sari Banilai, Uni. Sudahlah anak rajo, cantik rupawan, hendak bertunangan pula sekarang dengan bujang
yang mencintainya."
"Nasib baik tertoreh di garis tangan si Puti
Sari Banilai, Serunai. Bukan seperti kisau engkau, tahun depan sudah tujuhbelas
tahun tapi mandeh kau tak membolehkan
kau kenal dengan seorang bujang manapun." Gurauan Ambun kali ini membuat
Serunai merengut.
"Sudah, lekaslah. Sebentar lagi matahari naik.
Kalian asyik bergurau dari tadi. Lepas ini tentu mandeh akan mengajak kita turut serta memasak ke rumah rajo," Upiak Gadih kembali
mengingatkan kawan - kawannya.
Di salah satu bilik rumah gadang beranjungan itu, tampak Puti Sari Banilai duduk
bercermin merias diri. Baju kurung bermotif kembang melekat cantik di tubuhnya.
Puti menatap cermin, dara itu tersenyum. Dia menjalin rambut panjangnya dengan
bersemangat. Beberapa waktu lagi rombongan keluarga Bujang Juaro akan datang maanta tando. Itu pertanda tak lama lagi
Puti Sari Banilai akan diperistri oleh bujang yang dipilihnya sebagai tautan
hati.
"Sari Banilai, kau masih bersolek mematut
diri, Nak?" Tentu Sari Banilai hapal betul suara merdu itu. Mandehnya yang masih tampak cantik itu
masuk ke biliknya. "Bagaimana perasaan kau, Nak? Kau canggungkah?"
Puti Sari Banilai berbalik ke arah mandehnya. Dia tersenyum. "Indak mandeh. denai sudah siap
lahir bathin. Tentulah denai sangat bahagia,
sebab tak lama lagi denai akan
dipersunting oleh bujang yang baik hati itu."
Mandeh
Sari Banun memeluk anak gadisnya. Air mukanya terlihat senang bukan kepalang.
Perkara menunangkan anak gadis,
hingga menikahkannya kelak Sari Banun tak hendak bermain - main. Itu bukanlah
perkara mudah yang bisa disepelekan begitu saja. Sebab di ranah Minangkabau ini
segala sesuatu akan selalu bersangkut - paut dengan adat.
"Mandeh
tentu ingin kau bahagia, Nak." Sari Banun merapikan jalinan rambut Sari
Banilai. "Ya sudah, kau tenanglah di sini. Mandeh hendak ke belakang melihat persiapan untuk jamuan petang
nanti."
Puti Sari Banilai mengangguk. Mandeh menyingkap tirai kain pintu bilik dan bergegas keluar.
Sebentar lagi, rombongan keluarga Bujang Juaro akan datang. Puti Sari Banilai
sedikit merasa resah. Mengingat itu, kedua pipinya kembali bersemu merah.
Anjungan rumah
gadang masih dipenuhi beberapa orang wanita paruh baya dari pihak pangkal
atau pihak yang mananti tando. Mereka
asyik menyirih dan menikmati pinang di dalam carano. Air muka mandeh –
mandeh dan bundo kanduang itu terlihat begitu ceria, serupa keceriaan
matahari petang yang mulai condong di langit senja.
Rajo Maulana Kari duduk bersila di atas tikar
pandan. Acara menanti tando putrinya telah
berjalan lancar sesuai harapan. Beliau menghisap lintingan tembakau pucuk
enaunya dalam - dalam. Mengembuskan kepulan asapnya kembali ke udara.
Tak jauh di depan, duduk mamak - mamak Sari Banilai, saudara laki - laki dari istrinya si
Sari Banun. Mereka juga nampak tengah menikmati nikmatnya rokok ditemani
secangkir kopi hitam.
"Lepas pertunangan kemenakan denai, kalian
hendak berlayar ke lautan sana. Denai
kira itu terlalu berlebih - lebihan." Salah seorang mamak rumahnya mencoba memberi saran.
Rajo Maulana Kari bersandar ke dinding bilik.
Matanya menatap ke arah kelompok perempuan di dekat pintu sana. Di antara
mereka, Rajo Maulana bisa melihat jelas anak gadisnya tengah tertawa. Mungkin mandeh dan etek -
eteknya terus menggoda Sari Banilai.
"Begitulah,
denai ingin Sari Banilai bahagia, Uda.
Selepas dia dipinang, tentu tak lama lagi dia akan menikah."
"Denai
paham betul itu, tapi untuk membahagiakan hatinya kau tak perlu membawanya
berlayar, kau tahu lautan menyimpan banyak mara."
Lelaki itu masih sangat menikmati rokoknya. Dia tak
lagi menjawab, bukankah dia hanya ingin menyenangkan hati putrinya. Tentang mara di lautan, Tuhan yang satu punya
kuasa lebih.
Matahari petang telah rebah di balik pucuk bukit
barisan yang menjulang. Bujang Juaro duduk termenung di dekat pokok batang
getah habis ditebang. Tadi Buyuang Palala menyampaikan pesan padanya. Pesan
dari pihak tunangan terkasihnya si Puti Sari Banilai. Baru beberapa hari mereka
ditunangkan, sekarang datang pula pesan yang serasa membuat darahnya badabok – dabok seperti akan ada hal
besar yang menyiksa batinnya.
Dari tempatnya duduk sekarang, Bujang Juaro bisa
melihat bagaimana Puti Sari Banun berjalan tergesa - gesa. Gadisnya tentulah datang
tidak sendiri. Begitulah, sebelum mereka resmi suami istri, mereka belum boleh
berjumpaan berdua saja. Sepertinya Sari Banilai datang dengan salah seorang eteknya, dan Bujang Juaro masih sempat
menikmati betapa cantik dan jelitanya calon istrinya itu. Berbaju kurung hijau,
rambut panjang dikepang dua, dengan selendang melingkar di bahu, dan juga
senyuman yang merekah tulus di bibirnya.
"Dinda, Dinda Puti Sari Banilai. Apakah hal
yang membuatmu sampai memberi pesan untuk diri denai." Bujang Juaro menyambut Sari Banilai dengan pertanyaan
yang menyiratkan kegundahan hatinya.
Puti Sari Banilai duduk di atas batang getah
kering, duduk bersebelahan dengan kekasih hatinya. Dia menunduk, tak berani
bertatapan mata dengan Bujang Juaro.
"Dinda Puti, jawablah tanya hati denai, dinda. Sebelum badan diri denai kaku tanpa nyawa sebab menunggu
jawaban di bibir engkau."
"Iya, kanda. Denai sengaja meminta engkau datang. Sebab - "
"Sebab apa, dinda? Terangkanlah." Desak
Bujang Juaro tidak sabar. Gemuruh di dadanya sukar dijelaskan. Seakan - akan
ada sesuatu yang akan hilang dan direnggut paksa dari hatinya. Pemuda itu
menatap tunangannya dengan resah.
"Kanda, selepas kita bertunangan. Hari dan
tanggal pernikahan kita sudah ditetapkan. Pun selepas musim panen tahun ini kanda
dan denai akan bersanding di
pelaminan sebagai anak daro dan marapulai." Puti Sari Banilai masih
tetap menunduk. Pantangan bagi
seorang perempuan menatap wajah pasangan yang belum menjadi suaminya.
"Lantas, di mana permasalahannya dinda?"
Puti Sari Banilai mengangkat wajah, melepaskan
pandang ke arah langit jingga. Sulit baginya memilih kata yang tepat untuk
diucapkan. "Begini, kanda. Ayahanda Rajo Maulana Kari, hendak membawaku
berlayar ke lautan sana. Beliau ingin merayakan atas kelancaran pertunanganku
dengan kanda tempo hari."
"Dengan berlayar ke seberang lautan sana, dinda?"
Bujang Juaro tak mampu lagi menahan gejolak hatinya. Serasa bumi tiba – tiba terbelah
dan menelan raganya hidup - hidup.
"Kanda, tenanglah. Kanda harus tahu, denai hanya pergi beberapa hari.
Setelahnya kita akan bertemu kembali. Denai
berjanji. Allah Tuhan nan Satu menjadi saksi."
Dari kejauhan di arah perkampungan cahaya suluh mulai dinyalakan. Cahayanya
berpendar seperti bintang - bintang yang bertebaran.
"Baiklah, dinda. Denai mengerti. Berjanjilah, kita akan saling menjaga cinta meski
jarak terbentang berbatas lautan sekalipun. Berjanjilah, Dinda Puti Sari
Banilai."
Puti Sari Banilai berdiri, beberapa meter di
belakang kekasihnya. Dia mengangguk setuju. "Baiklah, kanda. Denai bersumpah tak ada yang bisa
memisahkan kasih sayang kita. Apabila denai
meninggalkan kanda Bujang Juaro, maka Allah Tuhan nan Satu jadi saksi, biarlah
badan diri denai berubah menjadi
batu." Gadis itu menyampaikan sumpah janjinya dengan bersungguh - sungguh.
Alam bergemuruh hebat. Angin berembus meliukkan
dahan - dahan pohon getah. Berderau -
derau seakan melumatkan dahan dari batangnya. Bujang Juaro menatap wajah
kekasihnya, hatinya tak lagi sesak setelah mendengar sumpah janji setia itu.
"Baiklah, dinda nan kukasihi. Denai terima sumpah janji engkau. Begitupun
pada diri denai, pabila cinta kita denai khianati, maka Allah juga jadi
saksi denai terima pabila badan diri
berubah menjadi seekor ular besar. Denai
bersumpah !!!"
Lautan biru membentang luas. Langit cerah, matahari
terang. Air laut terlihat berbuih - buih saat badan kapal melaju membelahnya.
"Engkau bisa memilih - milih kain tercantik
untuk kaupakai, Puti Sari Banilai. Kain terbaik untuk pernikahan engkau."
Begitulah cerita mandeh sepanjang perjalanan mereka. Tetapi dua hari sudah mereka
terapung di lautan, dan daratan yang hendak dituju belum jua terlihat di
pandangan. Puti Sari Banilai hanya berdiam di bilik sempit di lambung kapal.
Ayahandanya begitu senang bisa membawa anak gadisnya berpesiar. Ketika mencapai
daratan nanti, bolehlah mereka membeli berbagai macam barang untuk persiapan
pernikahan Puti Sari Banilai nantinya.
Beberapa jam saja, cuaca berubah gelap. Langit
menghitam sepekat - pekatnya. Laut yang sebelumnya tenang berubah menjadi
gulungan ombak besar. Menghempas - hempas badan kapal yang ditumpangi anak -
beranak itu.
"Apa hal ini, Ayahanda." Rarau Puti Sari Banilai dari biliknya. Mandeh Sari Banun berlari dan merengkuh
putrinya.
"Berdoa, Puti Sari Banilai. Mengucaplah
anakku. Allah tengah menguji kita. Badai dan gelombang besar tengah menghadang,
Nak." Mandeh dan anak itu
berpelukan. Bibir - bibir keduanya terus berucap doa - doa.
"Tetaplah di bilik, jangan keluar sebelum
badai lepas berlalu." Teriak Rajo Maulana Kari dari bagian atas kapal.
Beliau dan nakhoda kapal berusaha sekuat mungkin mengendalikan kapal saat
dihempas gelombang dan ombak besar. Hujan besar turun, kapal kecil terombang -
ambing.
Matahari pagi membangunkan Rajo Maulana Kari,
beliau langsung teringat dengan anak istrinya. Lelaki paruh umur itu menghambur
ke lambung kapal. Dikuakkannya daun pintu dan menemukan anak - istrinya masih
tertidur berangkulan.
"Dinda Sari Banun, Puti Sari Banilai,
bagaimana keadaan engkau berdua?" Jeritnya cemas. Mandeh Sari Banun tararau saat
melihat suaminya datang.
"Ada hal apa, kanda Rajo? Bagaimana kondisi
lautan? Kau pun tidak apa - apa bukan?" Rajo Maulana mengangguk. Beliau
memastikan segala hal pada anak istrinya dalam keadaan baik.
"Tuanku Rajo, lihatlah..."
Tuanku Rajo Maulana Kari bergegas naik, itu suara
si Buyuang. Beliau menyaksikan kapal mereka terjepit di antara bebatuan karang
dan tebing besar beberapa puluh meter dari pantai.
"Tuanku, badan kapal kita tersangkut sudah, melekat
kuat ke tebing ini. Arus laut semalam membuat kapal kita terantuk dan terjepit
di antara karang." Jelas Buyuang sambil menyeka keringatnya.
Matahari semakin meninggi saja, Rajo Maulana Kari
memutuskan turun sebentar ke dalam air dan melihat kondisi kapalnya. Beberapa
bagian kapalnya rusak, tersekat oleh batu besar itu.
"Buyuang, ulurkan temali. Kita harus lekas
menambatkan kapal di batu sana. Kalau tidak, mungkin kapal kita tak akan
bertahan. Bisa saja kapal kita karam" Rajo Maulana Kari menunjuk bebatuan
besar yang menjulang di depan kapalnya.
"Baik, Tuanku."
"Buyuang, setelah kapal ditambatkan, kau
uruslah segala perlengkapan yang masih bisa dibawa." Buyuang kembali
mengangguk, sementara Rajo Maulana tergesa menjemput Puti Sari Banilai dan
istrinya Sari Banun.
Mereka turun ke air dan berjalan menuju pantai.
Mereka berdoa semoga ada penduduk yang akan membantu mereka. Puti Sari Banilai
tertegun sejenak, dia teringat akan satu hal, akan pujaan hati yang kini entah
berada di daratan mana.
Yang Maha Kuasa selalu punya cara untuk menolong,
beberapa hari sudah berlalu sejak badai besar murka di lautan tempo hari. Rajo
Maulana Kari dan keluarga dibantu dengan senang hati oleh penduduk kampung
pulau itu. Kiranya kampung itu dipimpin oleh seorang penghulu adat yang bernama
Rajo Darah Putiah.
"Kami berlayar dari tanah Hindustan, Tuanku.
Semalam badai dan gelombang besar menyeret kapal kami. Sangat beruntunglah kami
sekeluarga selamat. Hanya saja, kapal yang kami tumpangi rusak parah dan
terdampar di bebatuan dekat pantai." Jelas Rajo Maulana Kari saat
perjamuan makan yang disuguhkan di hari pertama rombongan keluarganya tiba di
sana.
"Lautan memang menyimpan banyak rahasia,
Tuanku. Terkadang cuaca tak bisa kita terka. Kemalangan atau keberuntungankah
yang menghadang di depan mata, kita tiada pernah akan tahu rahasia Yang Maha
Kuasa."
"Betul sekali, Tuanku. Lantas perkenalkan,
Tuanku Rajo Darah Putiah. Istri denai yang bernama Sari Banun, juga anak gadis
denai satu - satunya yang bernama Puti Sari Banilai."
Tahun - tahun berlalu cepat sesudah keluarga Rajo
Maulana Kari memilih tinggal dan menetap di kampung itu. Pun hari ini,
pernikahan Puti Sari Banilai dilangsungkan dengan megah. Masyarakat kampung
bergotong royong memasak berbagai jamuan untuk perhelatan. Beberapa kerbau
disembelih, ayam dan itik juga ikut dipotong.
"Beruntung benar nasib si Rambun Paneh, bujang segagah dia bisa mempersunting
dara jelita dari Hindustan. Sudahlah dia dara
baik hati, cantik rupawan pula." beberapa gadis muda berceloteh sambil
memasak untuk perjamuan.
Di pelaminan nan megah, anak daro duduk bersisian dengan
marapulai, keduanya memakai pakaian pengantin terbuat dari beludru berwarna
merah. Beludru terbaik yang pernah ada, kainnya lembut bertitahkan emas,
berkilau - kilau ditimpa cahaya, pun juga dengan suntiang
yang melekat anggun di kepala Puti Sari Banilai.
Keduanya tak henti - henti tersenyum gembira.
Sementara itu di seberang pulau sana si Bujang Juaro menekan dadanya berkali -
kali. Dadanya yang selalu nyeri setiap membayangkan rupa elok pujaan hatinya.
Bertahun Bujang Juaro menunggu kepulangan kekasih yang tiada dia tahu
keberadaannya. "Dinda Puti Sari Banilai, Di manakah engkau, dinda?"
Tersebablah setelah pernikahan itu, Puti Sari
Banilai melahirkan seorang putera. Rajo Maulana Kari tentulah sangat
berbahagia. Satu – satunya cucu kesayangan yang selalu dimanjakan -
manjakannya.
"Atuk,
marilah bermain." Ajak cucunya memaksa. Rajo Maulana Kari yang sudah tak
muda itu selalu menuruti kehendak cucunya. Bahkan beliau membuatkan mainan dari
bambu.
"Jangan jauh - jauh, Jang. Mainlah di dekat atuk. Nanti kau terjatuh pula ke
laut."
Cucunya yang dipanggil Bujang tergelak, dia memutar
mainannya dengan penuh semangat dan nasib malang terlempar pula mainan itu ke
laut. Tentu saja bocah itu menangis menjerit - jerit, dan tentulah saja Rajo
Maulana Kari jadi kehilangan cara untuk menenangkan.
"Apa hal ini, kenapa anak bujang mandeh
tersedu sedan begitu?" Puti Sari Banilai menghampiri anaknya. Dia membelai
rambut Bujang dengan penuh kasih sayang.
"Mandeh,
mainan denai jatuh ke laut. Ambilkan
kembali, mandeh. Mainan denai harus
balik selekasnya."
"Nantilah atuk
buatkan lagi, Jang. Seberapa yang engkau mau akan atuk buatkan." bujuk Sari Banun pula.
Si Bujang kian meraung
tak jelas. Air matanya bercucuran seperti hujan yang turun saja. Puti Sari
Banilai menarik napas dalam - dalam.
"Sudah, Nak. Kau tunggulah sejenak di sini. Mandeh akan menyelam dan mengambilkan
mainan kau. Tapi kau harus berjanji, tetaplah diam dan menunggu di sini."
Puti Sari Banilai mengecup kening Bujang. Tanpa
berpikir panjang, dia langsung terjun ke laut. Menyatu dengan ombak laut yang
berbuih - buih. Langit mendadak gelap. Mendung terlihat hitam pekat. Sungguh
malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, ombak besar datang lantas menyeret
tubuh Puti Sari Banilai. Menyaksikan itu, Rajo Maulana Kari dan Sari Banun
menjerit ketakutan, "Putiiiii Sariiii Banilai, Tolooonggggg... toloongggg....
selamatkan anak ambo."
Puti Sari Banilai pasrah, membiarkan ombak menarik
tubuhnya. Dalam keadaannya saat itu Puti Sari Banilai berulang kali menyebut
nama Tuhan, "Yang Maha Kuasa, apa benar salah dan dosa denai. Surutkanlah air laut-Mu, denai pasrahkan pada-Mu segala persoalan
perihal hidup dan mati."
Guntur dan kilat bersahutan, angin bertiup kencang
sekali. Sari Banun menangis dan menjerit. Dia memeluk si Bujang yang ikut
menangis. Penduduk sekampung berdatangan sudah, tapi apa hendak dikata. Mereka
pun juga sama tak berdaya. Pabila ikut melompat ke laut sama saja mengantarkan
nyawa saat ombak dan gelombang sebesar ini.
Dalam keadaan pasrah, Puti Sari Banilai bisa
merasakan bagaimana kedua kakinya terasa berat. Namun anehnya, Yang Maha Kuasa
mengabulkan doanya, air laut tiba - tiba surut. Seperti tertarik sesuatu dan
meresap ke dalam bumi. Kedua orangtuanya juga penduduk lain hanya terbelalak
dari atas tebing bukit sana. Lautan mengering sekejap mata.
Puti Sari Banilai semakin pasrah. Air laut telah
surut, namun anehnya Puti sari banilai merasakan tubuhnya semakin berat dan
kaku saja. Terlebih kedua kakinya, enggan digerakkan sama sekali. Saat itulah
Puti Sari Banilai teringat sesuatu. Sesuatu yang bertahun terlupakan sudah
olehnya. Bujang Juaro, perihal janji dan sumpah setia. Tiba – tiba saja Puti
Sari Banilai tararau, tangisan dan
raungannya terdengar sangat memilukan hati. Orang sekampung bergegas turun ke
laut yang telah mengering.
“Putiiii,
Putiiiii...” Jerit mereka pula.
Puti Sari Banilai terus menangis
meraung – raung. Sumpah janji yang dulu terucap telah terlaksana, sebelum semua
terlambat dia terus membaca doa. Hingga tak lama berselang, perlahan - lahan
seluruh tubuhnya kaku dan berubah menjadi batu.
Semua penduduk yang menyaksikan ikut meraung dan mararau. Suara arauan mereka menyatu dengan kesakitan yang dirasakan Puti Sari
Banilai yang termakan sumpahnya sendiri.
oleh : Ramita Zurnia
twitterku : @Mitha_AdelSanto
Lembah Harau adalah sebuah
ngarai dekat kota
Payakumbuh
di kabupaten Lima Puluh Kota, provinsi
Sumatera
Barat. Lembah Harau diapit dua bukit cadas terjal dengan ketinggian
mencapai 150 meter. Lembah Harau .dilingkungi batu pasir yang terjal berwarna-warni,
dengan ketinggian 100 sampai 500 meter. Topografi Cagar Alam Harau adalah
berbukit-bukit dan bergelombang. Tinggi dari permukaan laut adalah 500 sampai
850 meter, bukit tersebut antara lain adalah Bukit Air Putih, Bukit Jambu,
Bukit Singkarak dan Bukit Tarantang.
Konon, nama "Harau" diambil dari kata
"orau / arau" yang berarti
jeritan/raungan.
*Catatan kaki :
Batang air : sungai kecil berarus deras
Uni : sebutan untuk kakak perempuan
Mandeh : ibu
Puti : Putri
Rajo : Raja
Rumah gadang : Rumah adat Minangkabau
Maanta tando : Datang untuk meminang
Denai : aku
Indak : tidak
Mananti tando : pihak perempuan yang menunggu
pinangan
Mamak :
paman / saudara laki – laki ibu
Kemenakan : keponakan
Etek : sebutan kepada bibi
Uda : abang
Mara
: bahaya / aral
Badabok – dabok : berdebar – debar
Anak daro : pengantin perempuan
Marapulai : pengantin laki – laki
Suluh : obor / penerang
Berderau – derau : berderak
Rarau / arau / rarauan: raungan /
raung / meraung
Bujang : pemuda
Dara :
anak gadis
Suntiang
: hiasan di kepala pengantin Minangkabau
Atuk : kakek