Pada zaman dahulu.
Dikisahkan di sebuah hutan yang damai dan tenang, hiduplah
seekor siput kecil bersama binatang lainnya yang juga menjadi penghuni hutan. Siput
kecil itu bernama Sipi. Sipi adalah seekor siput yang nyaris tidak memiliki
teman. Mengapa begitu? Hal itu terjadi karena Sipi si siput memiliki sifat
kasar, dan bahkan tidak pernah berkata-kata baik terhadap siapa pun yang
tinggal di hutan.
Pagi itu Sipi berjalan-jalan seperti biasanya. Sipi merasa telah cukup kenyang menyantap daun-daun muda yang tumbuh rimbun di tepi telaga. Dia menengadahkan kepalanya, dia melongok ke arah seekor kera yang sedang asyik bermain di atas pohon besar. Dan mulut usil si Sipi mulai berkomentar lagi.
"Hei, Kera. Apa yang kaulakukan di atas sana? Apa kau tidak bosan melompat ke sana kemari seperti itu?" Kata si Sipi bersemangat.
Si Kera yang mendengar namanya disebut, spontan melototkan matanya ke arah Sipi. "Aku senang melakukannya, Sipi. Mengapa kau harus repot-repot mengurusi aku?" Balas Kera.
"Hahahaha," Sipi terkekeh mendengarnya. Kera menatap dengan heran, namun Kera tidak ingin terpancing dengan ulah si Sipi. "Ah, sudahlah. Aku tidak repot, sama sekali tidak, Kera. Aku hanya kasihan padamu. Setiap hari kerjamu hanya bermain-main menghabiskan waktu. Dasar pemalas!"
Si Kera hanya terdiam sambil mengurut dada. Sebab mau dijawab dan dibantah sekalipun si Sipi pasti akan membalas ucapannya dengan lebih tajam, sehingga Kera dengan ikhlas membiarkan si Sipi berlalu begitu saja.
Tanpa merasa bersalah, si Sipi melanjutkan jalan-jalannya dengan santai. Perutnya belum terasa lapar. Sehingga dia enggan untuk mampir sejenak dan menyantap daun-daun di sepanjang jalan. Di tepi jalan, ekor mata Sipi menangkap dengan jelas dua ekor ulat hijau yang sedang asyik menikmati pucuk-pucuk daun muda.
si Sipi mulai kambuh mulut usilnya.
"Hai, ulat hijau. Tubuhmu gembul sekali." Si Sipi mulai melancarkan ucapan-ucapan pedas dari mulutnya.
Seekor ulat hijau menoleh cepat ke arah Sipi. Ulat tersebut menampakkan
wajah tidak senang.
"Kau sedang berbicara padaku, Siput?" Tanya ulat itu dengan berani.
"Ya, betul. Aku sedang berbicara padamu, Ulat Gembul." Sahut si Sipi sambil terkekeh.
"Oh, maaf. Aku punya nama. Namaku Kupi. Apa kau tersesat, Siput? Sebelumnya, aku tidak pernah melihat seekor siput pun berkeliaran di sekitar sini." Ucap Kupi si ulat dengan santainya.
"Oo, aku tidak tersesat. Namaku Sipi, aku satu-satunya siput penghuni telaga dekat sini. Memang, aku sedang berjalan-jalan."
"Oh, begitu. Baiklah, semoga harimu menyenangkan." Kata si Kupi sambil mengajak Kupa temannya sesama ulat untuk beranjak menuju daun-daun di tempat lain.
"Kalian hendak kemana? Bukankah kalian sedang makan?" Tanya Sipi lagi.
"Kami ingin ke tempat lain saja. Di sana, juga banyak terdapat rumput-rumput segar dan muda." Jawab Kupa dan Kupi serentak.
"Hohohoooo," Sipi tergelak sampai matanya berair. "Hei, kalian tetaplah di sini. Itu lihat temanmu yang gembul, aku kasihan padanya. Dia pasti tidak kuat untuk berjalan ke ujung sana. Tubuhnya terlalu gembul, terlalu berat untuk dibawa. Hahahaha." Sipi tertawa terbahak-bahak.
"Hei, Sipi. Sebenarnya apa masalahmu? Kau datang tiba-tiba, dan mengejek temanku. Apakah kau tidak sadar? Tubuhmu juga sama menjijikkan. Lembek den berlendir. Belum lagi rumahmu yang selalu kau bawa kemana-mana." Ujar Si Kupa membela temannya.
Si Sipi sama sekali tidak menggubris. Memang dia peduli apa kata mereka? Tidak. Sipi malah masih saja terkekeh sendiri. "Aah, sudahlah. Kalian memang menjengkelkan. Kalau tidak bisa menerima perkataanku ya sudah. Lebih baik aku pergi, sebelum bulu-bulu yang menjijikkan itu membuat seluruh tubuhku gatal. Hahahaha."
Setelah berkata-kata si Sipi berlalu begitu saja. Si Kupa dan Kupi hanya bisa berdoa dan meminta Tuhan agar bisa menyadarkan Sipi si siput atas segala kesalahan dan perkataan jahat yang telah menyakiti hati mereka.
***
Beberapa hari telah berlalu. Sipi si siput sedang asyik bermain di atas daun kering di tepi telaga. Sipi bermain sendiri. Mengapa? Karena si Sipi sama sekali tidak memiliki teman. Semua penghuni hutan sudah sangat marah dan terlanjur kesal kepadanya. Namun Sipi tidak mau ambil pusing akan hal itu, bahkan dia terlihat biasa-biasa saja.
Tiba-tiba angin kencang bertiup. Sipi yang sedang asyik bermain belum menyadari kalau daun kering yang dia duduki mulai bergerak perlahan ke arah tengah telaga. Angin yang berembus kencang melayarkan daun tersebut semakin lama semakin jauh meninggalkan tepian.
"Ohh, ooh, waaah.. waaaah... Kenapa ini? Ada apa ini?" Si Sipi berteriak panik. Tubuh si Sipi mulai menggigil ketakutan. Si Sipi sangat takut sekali. "Toloonggg... toloonggg." Sipi berteriak dengan sekuat tenaga.
Sipi melihat si Kera sedang bergelantung di dahan pohon. "Kera, Kera, tolong aku. Aku tidak berdaya, aku hanyut, Kera, tolonglah aku, teman." pinta Si Sipi dengan memelas.
Si Kera hanya melongok sebentar saja, dan terkekeh. "Sipi, berlayarlah yang jauh. Kau kan punya rumah. Bersembunyilah, sebelum air menenggelamkannya. Hahahaha."
Sipi semakin takut dan cemas. dia bisa merasakan bahwa bencana besar akan datang merenggut nyawanya. Perasaannya semakin lama semakin tidak enak saja.
"Yaa Tuhan, selamatkanlah aku. Aku sadar selama ini
mulutku sangatlah jahat. Bahkan aku telah tega menyakiti hati teman-temanku sendiri.
Huhuuu, huhuhuu.." si Sipi mulai terisak dan menangis. "Tuhan, aku janji
tidak akan usil dan berkata buruk lagi kepada teman-temanku. Huhuuuu."
Si Sipi merasa sangat putus asa. Dia merasa sangat bersalah dan penuh dosa. Jika selama ini mulutnya tidak kasar dan jahat, mungkin teman-temannya akan datang menolongnya saat ini. Si Sipi menangis di dalam cangkangnya. Dia telah pasrah jika air telaga menenggelamkannya.
"Sipi, Sipi."
Terdengar sebuah suara halus menyeru namanya. Sipi melongokkan kepala perlahan dari cangkangnya. Dia mencari arah sumber suara.
"Sipi, kaukah itu? Apa yang kaulakukan di sini?"
Sipi menatap ke arah si pemilik suara. "Aa-ku hanyut. Tadi aku tengah asyik bermain di atas daun di tepi telaga, tetapi angin kencang tiba-tiba datang dan menghanyutkan daun ini. Maka sampailah aku di tengah telaga. Aku sangat takut dan putus asa. Lalu, siapakah kau, wahai kupu-kupu bersayap cantik jelita?"
Mendengar perkataan si Sipi, kupu-kupu tersebut malah tersenyum.
"Kau tidak usah takut lagi, Sipi. Aku akan membantumu
kembali ke tepian."
Si Sipi merasa sangat senang, sekaligus tidak percaya. "Benarkah wahai kupu-kupu? Kau akan membantuku? Tapi, mengapa kau bisa tahu namaku?"
Kupu-kupu itu mengangguk. "Ya, Sipi. Aku akan membantumu. Mungkin kau sudah lupa. Tapi aku sangat mengingatmu. Aku Kupi. Kau ingat?"
"Kupi? Kupi siapa?"
"Iya, aku Kupi. Apakah kau sudah lupa padaku, Sipi? Aku Kupi, ulat gembul yang tempo hari pernah kauejek dan kaucaci. Akulah ulat gembul itu, dan sekarang aku sudah berubah menjadi kupu-kupu." Jawab Kupi sambil tersenyum lagi.
Si Sipi sangat tidak percaya. Ada perasaan malu yang terbersit di hatinya. Ternyata si Kupi adalah ulat hijau gembul yang dulu pernah dia ejek dan tertawakan.
"Maafkan aku, Kupi. Aku sangat menyesal pernah menyakiti hatimu."
"Aah, tidak apa, Sipi. Aku bahkan sudah memaafkanmu sejak jauh hari. Aku juga sudah melupakan semua perkataanmu padaku. Kuharap kau bisa menjaga ucapanmu mulai sekarang, supaya tidak ada lagi yang tersakiti. Ahh, sudah, ayo berpegangan yang erat! Aku akan menarik daun ini dan membawamu kembali ke tepian."
Si Sipi sangat menyesalkan perbuatannya yang dulu. Lihatlah betapa tidak berdaya dirinya kini, bahkan ketika sedang putus asa pun, Tuhan tetap mengirimkan pertolongan bahkan melalui orang yang pernah dia sakiti.
***
Fabel : Penyesalan si Sipi, Siput yang Nakal.
Oleh : Ramita Zurnia
Pekanbaru, 04•04•17
.........................................................................................................................................................
Alhamdulillah, akhirnya postingan pertamaku di sepanjang
2017. Semoga dengan segenap keberanian dan semangat ini aku mampu menaklukkan
dunia anak. Aku hanya ingin lebur di dalamnya. Aku hanya berupaya untuk mencoba
hidup dalam kebahagiaan yang sebenarnya.
*Salam Redaksi. :)*