Minggu, 24 November 2024

Puisi untuk Guru - Goresan Terima Kasih untuk Bapak Ibu Guruku

 

Goresan Terima Kasih untuk Bapak Ibu Guruku

Karya: Ramita Zurnia

 

Duhai Bapak dan Ibu guruku

Sajak indah kutulis dan kukisahkan kembali hari ini

Perihal ketekunan, ketulusan dan keikhlasan hatimu

menerobos dinginnya kabut pagi, menyongsong mentari

sebagai bentuk pengabdianmu, untuk mendidik dan mengajari kami dengan berbagai ilmu dan pengetahuan

ada banyak cita-cita yang engkau tuliskan:

Tercurah dalam pengajaran dan kebaikan yang engkau berikan

Tergambar jelas dalam setiap senyuman

dengan tulus hatimu

dengan ikhlas langkahmu,

demi kami, anak-anak didikmu

 

Duhai Bapak Ibu Guruku

Kini aku tahu mengapa Tuhan menciptakan guru
Aku tahu mengapa Tuhan ingin kami memahami ribuan harapanmu

Sebab di sekolah ini, kami mendapatkan tulusnya kasih sayang, dari seseorang, setelah ayah dan ibu

betapa Engkau akan terus mengenalkan kebaikan setiap hari
Menunjukkan hal-hal terbaik untuk masa depan kami
Mengajari kami bagaimana menjadi generasi yang kuat dan tangguh

Membawa kami hingga kelak menjadi pemimpin yang jujur dan amanah

Hingga suatu hari nanti, kami menjadi insan manusia yang bijaksana

 

Duhai bapak Ibu Guruku
Betapa rindangnya dedaunan ilmu yang selalu engkau berikan

Aku rela menjadi kuat demi mengejar cita-cita

Aku ingin menjadi hebat, melebihi apa yang kucemaskan sebelumnya

Aku ingin membuatmu bangga dengan kesuksesan kami di masa depan

 

Bapak dan Ibu guru, terima kasih

Terima kasih karena engkau selalu membimbingku

Terima kasih karena engkau selalu memberikan motivasi terbaikmu

Kami tahu, semua teguran dan nasihat itu adalah bentuk kasih sayangmu

Semoga kelak setiap kebaikanmu, menyinari langkah kami menuju masa depan

Semoga kelak setiap doamu, menemani kesuksesan kami di dunia dan akhirat


Pekanbaru, 24.11.24
----------------------------------------------------------------------



Engkau sebagai pelita, dalam kegelapan

Engkau laksana, embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot, pahlawan bangsa

tanpa tanda jasa....


Merdunya lagu Hymne Guru mengangkasa ke langit biru. Sungguh menggugah dan menyentuh hati, setiap kalimat dalam liriknya berhasil membuat bergetar sanubari. Mengapa tidak? Siapa lagi pahlawan tanpa tanda jasa di zaman yang sudah sangat maju ini? Siapa lagi dia pahlawan tanpa tanda jasa yang masih harus memperjuangkan kehidupan dan kesejahteraan keluarganya setelah mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak bangsa? Siapa dia, kalau bukan seseorang yang telah mendidik, memberikan ilmu dan nasihatnya sebagai guru kepada belasan, puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan dari kita, anak-anak bangsa.

Setiap tanggal 25 November, kita rayakan dan peringati bersama sebagai Hari Guru Nasional. Kita memperingatinya dengan penuh suka cita, siswa-siswa berbahagia, dan para guru menahan haru dalam senyumannya. Setahun sekali, mereka tersenyum merayakan bakti sebagai pendidik untuk generasi bangsa ini. Ada yang hatinya bersuka cita memeluk buket-buket bunga, tentengan kue perboluan dan berkantong cokelat mahal, namun ada pula yang hatinya tengah dilanda gundah gulana. HUT PGRI ke-79, dirayakan setahun sekali, namun di hatinya masih saja ditawan puluhan pertanyaan, bagaimana cara untuk bisa menyejahterakan keluarga? Bulan depan gaji yang ratusan ribu akankah turun dan dibayarkan? Kontrakan bulan ini pun sudah menunggu untuk disetorkan, anak pun butuh susu dan entah dengan apa rasa laparnya akan diredakan. Dia juga guru, dia juga mengabdikan diri dan memberikan ilmu denga segenap hatinya. Dia juga guru, namun nasibnya belum seberuntung yang lainnya, namun pada perayaan ini dia pun tetap tersenyum bahagia.

 

Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru

namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

sebagai prasasti trima kasihku, tuk pengabdianmu.



25 November, kita rayakan bersama. Semoga guru-guru di Indonesia semakin diperhatikan oleh Pemerintah: kesejahteraannya dan pengabdiannya. Jangan ada lagi yang melukai hati dan harga diri mereka. Berikan kepercayaan sepenuhnya kepada guru-guru Indonesia untuk mendidik dan mengajari anak-anak bangsa dengan cara terbaik yang mereka miliki. Jangan hancurkan harapan mereka, jangan kecilkan usaha mereka, dan jangan pandang mereka dengan sebelah mata. Bahkan kamu sendiri mengerti dan paham sekali, tanpa adanya guru, hari ini kita mungkin tidak bisa menjadi apa-apa. Tanpa adanya bimbingan guru mungkin kita masih berada dalam kubangan kegelapan selamanya.

Saya ucapkan selamat Hari Guru Nasional, untuk seluruh guru di Indonesia. Jangan pamerkan kado dan surat cinta dari murid-muridmu, temanku. Jangan sengaja kautunjukkan, karena mungkin di luar sana, di suatu tempat di sana masih ada rekan gurumu yang tidak seberuntung dirimu, yang belum merasakan kebahagiaan sepertimu. 

 

dariku: Ramita Zurnia, juga seorang Guru, yang mengabdi di sebuah sekolah menengah pertama dengan siswanya yang penuh semangat dan ceria. Mungkin sekolah kami memang jauh dari pusat Kota Pekanbaru, namun semangat juang kami sama gagahnya dengan ribuan pohon sawit yang menjulang di sepanjang mata memandang. 

Pekanbaru: 24.11.2024






Selasa, 15 Oktober 2024

SEKEPING SAJAK RZ - RUMAH CANGKANG DENGAN SERIBU RETAK DI DINDINGNYA


Bukankah rembulan berpamitan
sebentar setelah kau dan bayanganmu sendiri saling menyulut emosi?

Kau dan kenangan saling mengunyah kepahitan dilema di dunia ini, seolah-olah jutaan detik yang dilalui menjelma sebuah bom waktu
yang kan mengoyak ribuan malam tak berarti

Hingga kauingin lesap ke dimensi lain
Hingga tak kautemui kesedihan pada ruang-ruang rumah ini

Bukankah kau tak ingin berpamitan, tanpa sebuah kecupan perpisahan?
Sementara aku ingin melihat
pucat wajah kenangan yang berjejer sendu sebelum terbakar jadi abu
Hingga luruh air matamu, menambal seribu retak di dinding-dinding bisu

Hingga kauingin memeluk kenangan, mendiamkannya dari ribuan kepedihan

RZ; Juli, 2022


Selasa, 04 April 2017

Fabel : Penyesalan Si Sipi, Siput Yang Nakal (Oleh : Ramita Zurnia)



Pada zaman dahulu.
Dikisahkan di sebuah hutan yang damai dan tenang, hiduplah seekor siput kecil bersama binatang lainnya yang juga menjadi penghuni hutan. Siput kecil itu bernama Sipi. Sipi adalah seekor siput yang nyaris tidak memiliki teman. Mengapa begitu? Hal itu terjadi karena Sipi si siput memiliki sifat kasar, dan bahkan tidak pernah berkata-kata baik terhadap siapa pun yang tinggal di hutan.

Pagi itu Sipi berjalan-jalan seperti biasanya. Sipi merasa telah cukup kenyang menyantap daun-daun muda yang tumbuh rimbun di tepi telaga. Dia menengadahkan kepalanya, dia melongok ke arah seekor kera yang sedang asyik bermain di atas pohon besar. Dan mulut usil si Sipi mulai berkomentar lagi.

"Hei, Kera. Apa yang kaulakukan di atas sana? Apa kau tidak bosan melompat ke sana kemari seperti itu?" Kata si Sipi bersemangat.

Si Kera yang mendengar namanya disebut, spontan melototkan matanya ke arah Sipi. "Aku senang melakukannya, Sipi. Mengapa kau harus repot-repot mengurusi aku?" Balas Kera.

"Hahahaha," Sipi terkekeh mendengarnya. Kera menatap dengan heran, namun Kera tidak ingin terpancing dengan ulah si Sipi. "Ah, sudahlah. Aku tidak repot, sama sekali tidak, Kera. Aku hanya kasihan padamu. Setiap hari kerjamu hanya bermain-main menghabiskan waktu. Dasar pemalas!"

Si Kera hanya terdiam sambil mengurut dada. Sebab mau dijawab dan dibantah sekalipun si Sipi pasti akan membalas ucapannya dengan lebih tajam, sehingga Kera dengan ikhlas membiarkan si Sipi berlalu begitu saja.

Tanpa merasa bersalah, si Sipi melanjutkan jalan-jalannya dengan santai. Perutnya belum terasa lapar. Sehingga dia enggan untuk mampir sejenak dan menyantap daun-daun di sepanjang jalan. Di tepi jalan, ekor mata Sipi menangkap dengan jelas dua ekor ulat hijau yang sedang asyik menikmati pucuk-pucuk daun muda.

si Sipi mulai kambuh mulut usilnya.

"Hai, ulat hijau. Tubuhmu gembul sekali." Si Sipi mulai melancarkan ucapan-ucapan pedas dari mulutnya.
Seekor ulat hijau menoleh cepat ke arah Sipi. Ulat tersebut menampakkan wajah tidak senang.

"Kau sedang berbicara padaku, Siput?" Tanya ulat itu dengan berani.

"Ya, betul. Aku sedang berbicara padamu, Ulat Gembul." Sahut si Sipi sambil terkekeh.

"Oh, maaf. Aku punya nama. Namaku Kupi. Apa kau tersesat, Siput? Sebelumnya, aku tidak pernah melihat seekor siput pun berkeliaran di sekitar sini." Ucap Kupi si ulat dengan santainya.

"Oo, aku tidak tersesat. Namaku Sipi, aku satu-satunya siput penghuni telaga dekat sini. Memang, aku sedang berjalan-jalan."

"Oh, begitu. Baiklah, semoga harimu menyenangkan." Kata si Kupi sambil mengajak Kupa temannya sesama ulat untuk beranjak menuju daun-daun di tempat lain.

"Kalian hendak kemana? Bukankah kalian sedang makan?" Tanya Sipi lagi.

"Kami ingin ke tempat lain saja. Di sana, juga banyak terdapat rumput-rumput segar dan muda." Jawab Kupa dan Kupi serentak.

"Hohohoooo," Sipi tergelak sampai matanya berair. "Hei, kalian tetaplah di sini. Itu lihat temanmu yang gembul, aku kasihan padanya. Dia pasti tidak kuat untuk berjalan ke ujung sana. Tubuhnya terlalu gembul, terlalu berat untuk dibawa. Hahahaha." Sipi tertawa terbahak-bahak.

"Hei, Sipi. Sebenarnya apa masalahmu? Kau datang tiba-tiba, dan mengejek temanku. Apakah kau tidak sadar? Tubuhmu juga sama menjijikkan. Lembek den berlendir. Belum lagi rumahmu yang selalu kau bawa kemana-mana." Ujar Si Kupa membela temannya.

Si Sipi sama sekali tidak menggubris. Memang dia peduli apa kata mereka? Tidak. Sipi malah masih saja terkekeh sendiri. "Aah, sudahlah. Kalian memang menjengkelkan. Kalau tidak bisa menerima perkataanku ya sudah. Lebih baik aku pergi, sebelum bulu-bulu yang menjijikkan itu membuat seluruh tubuhku gatal. Hahahaha."

Setelah berkata-kata si Sipi berlalu begitu saja. Si Kupa dan Kupi hanya bisa berdoa dan meminta Tuhan agar bisa menyadarkan Sipi si siput atas segala kesalahan dan perkataan jahat yang telah menyakiti hati mereka.

***

Beberapa hari telah berlalu. Sipi si siput sedang asyik bermain di atas daun kering di tepi telaga. Sipi bermain sendiri. Mengapa? Karena si Sipi sama sekali tidak memiliki teman. Semua penghuni hutan sudah sangat marah dan terlanjur kesal kepadanya. Namun Sipi tidak mau ambil pusing akan hal itu, bahkan dia terlihat biasa-biasa saja.

Tiba-tiba angin kencang bertiup. Sipi yang sedang asyik bermain belum menyadari kalau daun kering yang dia duduki mulai bergerak perlahan ke arah tengah telaga. Angin yang berembus kencang melayarkan daun tersebut semakin lama semakin jauh meninggalkan tepian.

"Ohh, ooh, waaah.. waaaah... Kenapa ini? Ada apa ini?" Si Sipi berteriak panik. Tubuh si Sipi mulai menggigil ketakutan. Si Sipi sangat takut sekali. "Toloonggg... toloonggg." Sipi berteriak dengan sekuat tenaga.

Sipi melihat si Kera sedang bergelantung di dahan pohon. "Kera, Kera, tolong aku. Aku tidak berdaya, aku hanyut, Kera, tolonglah aku, teman." pinta Si Sipi dengan memelas.

Si Kera hanya melongok sebentar saja, dan terkekeh. "Sipi, berlayarlah yang jauh. Kau kan punya rumah. Bersembunyilah, sebelum air menenggelamkannya. Hahahaha."

Sipi semakin takut dan cemas. dia bisa merasakan bahwa bencana besar akan datang merenggut nyawanya. Perasaannya semakin lama semakin tidak enak saja.
"Yaa Tuhan, selamatkanlah aku. Aku sadar selama ini mulutku sangatlah jahat. Bahkan aku telah tega menyakiti hati teman-temanku sendiri. Huhuuu, huhuhuu.." si Sipi mulai terisak dan menangis. "Tuhan, aku janji tidak akan usil dan berkata buruk lagi kepada teman-temanku. Huhuuuu."

Si Sipi merasa sangat putus asa. Dia merasa sangat bersalah dan penuh dosa. Jika selama ini mulutnya tidak kasar dan jahat, mungkin teman-temannya akan datang menolongnya saat ini. Si Sipi menangis di dalam cangkangnya. Dia telah pasrah jika air telaga menenggelamkannya.

"Sipi, Sipi."

Terdengar sebuah suara halus menyeru namanya. Sipi melongokkan kepala perlahan dari cangkangnya. Dia mencari arah sumber suara.

"Sipi, kaukah itu? Apa yang kaulakukan di sini?"

Sipi menatap ke arah si pemilik suara. "Aa-ku hanyut. Tadi aku tengah asyik bermain di atas daun di tepi telaga, tetapi angin kencang tiba-tiba datang dan menghanyutkan daun ini. Maka sampailah aku di tengah telaga. Aku sangat takut dan putus asa. Lalu, siapakah kau, wahai kupu-kupu bersayap cantik jelita?"

Mendengar perkataan si Sipi, kupu-kupu tersebut malah tersenyum.
 "Kau tidak usah takut lagi, Sipi. Aku akan membantumu kembali ke tepian."

Si Sipi merasa sangat senang, sekaligus tidak percaya. "Benarkah wahai kupu-kupu? Kau akan membantuku? Tapi, mengapa kau bisa tahu namaku?"

Kupu-kupu itu mengangguk. "Ya, Sipi. Aku akan membantumu. Mungkin kau sudah lupa. Tapi aku sangat mengingatmu. Aku Kupi. Kau ingat?"

"Kupi? Kupi siapa?"

"Iya, aku Kupi. Apakah kau sudah lupa padaku, Sipi? Aku Kupi, ulat gembul yang tempo hari pernah kauejek dan kaucaci. Akulah ulat gembul itu, dan sekarang aku sudah berubah menjadi kupu-kupu." Jawab Kupi sambil tersenyum lagi.

Si Sipi sangat tidak percaya. Ada perasaan malu yang terbersit di hatinya. Ternyata si Kupi adalah ulat hijau gembul yang dulu pernah dia ejek dan tertawakan.

"Maafkan aku, Kupi. Aku sangat menyesal pernah menyakiti hatimu."

"Aah, tidak apa, Sipi. Aku bahkan sudah memaafkanmu sejak jauh hari. Aku juga sudah melupakan semua perkataanmu padaku. Kuharap kau bisa menjaga ucapanmu mulai sekarang, supaya tidak ada lagi yang tersakiti. Ahh, sudah, ayo berpegangan yang erat! Aku akan menarik daun ini dan membawamu kembali ke tepian."

Si Sipi sangat menyesalkan perbuatannya yang dulu. Lihatlah betapa tidak berdaya dirinya kini, bahkan ketika sedang putus asa pun, Tuhan tetap mengirimkan pertolongan bahkan melalui orang yang pernah dia sakiti.

***

Fabel : Penyesalan si Sipi, Siput yang Nakal.
Oleh : Ramita Zurnia
Pekanbaru, 04•04•17

.........................................................................................................................................................
Alhamdulillah, akhirnya postingan pertamaku di sepanjang 2017. Semoga dengan segenap keberanian dan semangat ini aku mampu menaklukkan dunia anak. Aku hanya ingin lebur di dalamnya. Aku hanya berupaya untuk mencoba hidup dalam kebahagiaan yang sebenarnya.
*Salam Redaksi. :)*

Sabtu, 18 Juni 2016

#PestaFiksi04 - JANJI DI ATAS KERTAS


*sketsa gambar oleh r3dcarra*

------------------------------------------------------------------------------


Kursi empuk, dan besar.
Seseorang duduk di sana sambil serius menatap lembaran-lembaran berkas yang tampak menumpuk. Bibirnya menyunggingkan senyum. Aku tidak tahu pasti hal apa yang telah membuatnya sampai sebahagia ini.

ZZttttt... Zzzttttt...

Ponsel pintarnya bergetar. Panggilan masuk, yang aku juga tidak tahu dari siapa.

“Haloo, ohh Mama. Iya, ada apa? Ohh, Singapura? oke, oke nyonya cantik. Siaaapppp, laksanakan! Sudah ya, sepanjang hari Papa masih sibuk dengan berkas-berkas proyek blaaa...bla...blaaaa...”

Pria itu menutup percakapan dan kembali fokus pada berkas-berkas di atas meja. Kulihat bibirnya kembali tersenyum puas. Jemarinya mengusap berkas di map biru, lalu mendekatkannya ke bibir. Cuuuppppp. Dia mengecupnya.

“Proyek fantastis, dana fantastis. Bahkan hanya dengan melobi beberapa orang saja, rakyat langsung terpengaruh dan menaruh harapan besar kepadaku. Ahhh bukankah rakyat adalah bilangan? Bahkan apa saja bisa kukendalikan di atas kertas ini.” Ujarnya bersemangat.

Tiba-tiba dia tergelak. Tubuh tambunnya berguncang. Dari bibirnya kulihat puluhan kutu busuk bergerak keluar masuk.


***
Mari berpesta fiksi
oleh @Mitha_AdelSanto