Rabu, 04 November 2015

#FFRabu - Adik Bilang Patah Hati

"Dik, cuaca cerah, mentari hangat, dan kamu masih meringkuk dalam selimut. Kalau ada orang yang aneh begini, itu cuma kamu, dik!"

"Aaaa, sana kak!" usirku

"Bangun gih, kamu sakit?"

Aku mengangguk. "Hatiku."

"Sakit hati?"

"Bukan, tapi patah hati."

"Hah? Bhahahaaaa." Kakak terkekeh.

"Kakak tahu apa? Punya pacar juga ndak." Aku menjulurkan lidah, mengejeknya sepenuh hatiku.

"Hehh, siapa bilang? Sok tahu kamu,"

"Kakaaak, Adiiik, lha, masih belum siap? Nanti terlambat." Mama nongol di pintu kamar.

"Ma, adik dimandiin yaa," rengekku. Mama mengangguk dan menggendongku.

"Huh, dasar manja!" sembur kakak.

"Kakak, jangan menggoda terus! Adikmu masih TK juga." Kali ini mama membelaku.

***

Words : 100 pas

#FFRabu – ADIK BILANG PATAH HATI
Oleh : Ramita Zurnia
(twitterku : @Mitha_AdelSanto)

Prompt #95 – "Hujan di Sky City"

"Sial,"
Umpatan kasar itu terlontar dari bibir seorang lelaki berwajah murung. Usianya baru mencapai angka tigapuluh tahun. Beberapa helai kertas nampak meremuk menjadi bola–bola kertas, tak lebih besar dari kepalan tangannya. Berserakan dari atas meja hingga lantai.

Sejak pagi, Jo berkutat dari balik meja kerjanya. Sendirian? Tentu saja dia sendirian. Jonathan–begitulah nama pemberian orang tuanya, hanya seorang pria pemurung. Tidak, sebenarnya tidak demikian sebelum sesuatu terjadi dan merenggut paksa–istrinya yang tengah mengandung janin buah cinta mereka. Keduanya tewas, tepat sebulan sebelum hari kelahiran tiba. Tewas di bawah hujan yang mengandung asam nitrat. Mengerikan.

Jo kehausan. Dia menggeser paksa tubuhnya ke arah lemari es. Mencoba mencari stok air mineral yang masih dia miliki–dan sialnya lagi itu botol terakhir.

Jo merasa gusar. Dia tidak bisa berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaan yang beberapa bulan terakhir ditekuninya–sebagai ahli botani untuk Pemerintahan Sky City, sebuah negara yang sudah bertahun–tahun tidak lagi berdiri di atas bumi, dan Jo, dia mengabdikan dirinya untuk program penyelamatan spesies tumbuhan baru yang nanti akan dikembangbiakkan di planet yang baru. Spesies tumbuhan yang buahnya bisa memberikan antibodi paling ampuh bagi masyarakat Sky City.

***

"Halo, yaa, halo–saya Jonathan–saya membutuhkan bantuan, sebentar–maaf bisakah anda ulangi? Heii, saya tidak bisa mende–"

Tuuut, tuuut, tuuut

Ohhh Tuhan, Jo meremas rambutnya dengan frustasi. "Siaaaaaaallll !!!"

***

Jonathan masih murung. Pria itu terduduk lesu di samping meja. Menatap kosong ke arah hamparan kesakitan di luar sana. Ada yang salah. Langit gelap yang bertahun–tahun tak pernah lagi menerbitkan matahari. Bahkan hujan yang turun–tidak bisa lagi disebut berkah seperti cerita yang pernah dikisahkan oleh neneknya sewaktu dia masih bocah.

Tumbuh–tumbuhan berdaun hijau, rumput yang terhampar seluas mata memandang, dengan rintikan hujan yang selalu dinantikan oleh setiap makhluk hidup.

Itu hanya dongeng!

Jo kembali mengutuk para manusia yang memang menjadi muasal dari bencana di masa depannya. Para nenek moyangnya yang serakah dan akhirnya hanya mewariskan kehancuran di masa depan.

Jonathan berlari ke dalam rumah. Mengecek balasan e–mail dari rekannya yang juga bekerja di Pemerintahan Sky City.

"Jonathan, maafkan saya, kawan! Saya tidak bisa membantumu lebih jauh. Pemerintah Sky City tidak bisa membawa masyarakat secara keseluruhan. Presiden menginginkan semua warga dievakuasi, tetapi kita tahu bahwa itu sangat tidak mungkin. Kau tahu? Bumi kita mengalami kehancuran dengan cepat. Beberapa unit pesawat yang tersedia dicukupkan untuk mengangkut beberapa spesies dari kita. Terkutuklah! Dalam hitungan kurang dari 2x24 jam hujan asam yang turun akan melumat segalanya.

Oh Tuhan, maafkan saya, Jo."
Dari : Daniel

***

Jo menggigit bibirnya dengan gusar. Bahkan pemerintah di negaranya ini sudah tidak bisa dipercayai lagi. Apa–apaan ini. Presiden berniat membawa seluruh masyarakat Sky City, dan hanya sekadar niat, bukan karena memang ingin menyelamatkan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Hujan semakin deras. Beberapa lapisan atap rumah sudah semakin keropos dilumat hujan asam. Jonathan kembali mengutuk diri. Dia ingin menyalahkan waktu yang bergulir terlalu cepat. Kurang dari 2x24 jam. Semua yang masih bernyawa di tanah terkutuk ini akan mati. Jonathan pasrah. Beberapa tetes air hujan mengenai kulitnya. Rasanya seperti terbakar. Sakit sekali.

***

Words : 500

Prompt #95 dengan tema "Kota di Atas Awan". Kali ini tampaknya Miss MondayFF sangat bersemangat dengan memberikan tantangan menulis flashfiction dengan genre #Dystopia. :'D

Ini dia FFku, Prompt #95 – "Hujan di Sky City"
Oleh : Ramita Zurnia (twitterku : @Mitha_AdelSanto)


Rabu, 28 Oktober 2015

#FFRabu – Sebut Aku Putrimu, Bapak.

Lagi–lagi keheningan mencekik erat suasana di antara kami. Kutatap wajahnya, kucoba menerjemahkan ekspresi pada raut muka mengeriput itu. Kutahan keinginan untuk bertanya, sementara kutahu, ada hal yang terus mengganjil di benaknya.

"Oh, Sebaiknya sa–saya pergi saja."

Kurapihkan helai poniku yang berantakan menutupi mata.
Lelaki itu masih saja diam, marahkah?

"Duduklah! Bertahun aku mencarimu, Joko. Apa hatimu membatu, putraku?"

Aku berkeringat. Lelaki itu memang bapak kandungku. Tapi apa yang harus kujelaskan?
Toh, beliau tidak akan pernah mengerti keadaanku.

"Maafkan aku, Pak." Kurapihkan kembali posisi rok mini di luar stocking berwarna gelap yang membungkus rapat kaki jenjangku. "Sekarang, sebut aku putrimu!"

***

Words : 100 pas


Yeaaay, hari Rabu kembali datang. Sudah pasti ada #FFRabu di MondayFF.
#FFRabu – "Sebut Aku Putrimu, Bapak"
Oleh : Ramita Zurnia
(twitterku : @Mitha_AdelSanto)

Sabtu, 24 Oktober 2015

#PestaFiksi02 – Kehidupan Untuk Ibu Bumi

"Ibu, aku akan dibawa ke mana?"
Aku bingung sekali, tangan–tangan kekar menjangkau diriku dari sisi ibu. Ibu mengedipkan mata, mungkin maksudnya agar aku bersikap lebih tenang, tak perlu bertanya–tanya lagi.

Aku tidak protes saat laki–laki keling itu membopong tubuhku ke atas truk. Berjejalan dengan teman–teman lainnya, yang seumuran denganku.

"Nak, kamu akan baik–baik saja." Ibu berupaya meredam kecemasanku.

Ibu tak tahu bahwa aku berupaya menelan kebimbanganku sendiri. Mungkin tidak lama lagi truk besar ini akan mengangkutku, sementara ibu?

"Nak, kamu harus ingat semua nasihat ibu. Di tempat yang baru, kamu harus terus hidup, tumbuh besar, dan bisa memberikan kehidupan untuk mereka–mereka yang ada di sekitarmu."

Aku mengangguk. Truknya mulai bergerak. Semakin lama, semakin jauh meninggalkan rumah tempat aku dilahirkan.

"Sudahlah, Mahoni. Bukankah kamu harus melanjutkan misi besar ini? Kamu dan lainnya akan ditanam, bisa tumbuh bebas dan memberi kehidupan pada bumi ini!" batinku bersemangat.

***
Words : 150 pas

Flash Fiction : "Kehidupan Untuk Ibu Bumi"
kupersembahkan untuk BUMI, dan kuikutkan pada #PestaFiksi02 RedCarra tema BUMI. :))
Oleh : Ramita Zurnia (twitter: @Mitha_AdelSanto)

Rabu, 21 Oktober 2015

#FFRabu – "Lukisan Negeri Asap"

Aneh.
Senyum mereka terhimpit oleh cekungnya pipi, dengan sepasang bola mata melotot–hampir copot.

Ahh, ada apa dengan negeri ini? Apa tempat ini baru diterjang badai api? Pucuk–pucuk pepohonan menghitam–gosong.

"Jangan heran, Dik! Air mukamu jelas tahu kepedihan kami." Seorang lelaki tua di pojokan kanvas mulai mengoceh. Dia nampak paling sibuk–paling banyak bicara.

"Eeh, Bapak memahami keherananku?"

"Tentu, sudahlah. Sejak hutan–hutan terpanggang, kami semua kenyang makan asap. Kenyang!! Hahahaha."

Lelaki itu terkekeh, aku semakin merisaukan hal yang terjadi akhir–akhir ini. Kubuang tatapanku dari lukisan di hadapanku, jemariku enggan memoleskan warna selanjutnya. Sebab, yang tampak hanyalah warna asap.

***

Words : 100
MondayFF tema LUKISAN.
Judul – #FFRabu : "Lukisan Negeri Asap"
Oleh : Ramita Zurnia
(Twitter : @Mitha_AdelSanto)

Kamis, 15 Oktober 2015

#HorrorisR – Gadis Bergaun Merah

Kudengar cerita dari mulut beberapa warga, sering terjadi hal–hal yang tidak masuk akal di tempat ini. Kejadian demi kejadian berbau mistis selalu saja dipertontonkan oleh makhluk–makhluk tidak kasat mata.

Aku bergidik. Bulu–bulu kudukku langsung meremang sendiri.

"Beberapa kali pedagang nasi goreng keliling diganggu saat melintasi tempat itu," celetuk seorang pengunjung warung kopi tempatku biasa nongkrong dan minum kopi.

"Gilanya, bukan di jam–jam tengah malam lagi, tetapi bakda Isya. Bukankah ini terlalu berani." seorang pak tua di bangku paling ujung ikut menambahi.

"Sebenarnya, tempat macam apa itu, pak?" Aku sungguh tertarik–meski tak bisa kupungkiri bahwa aku juga sangat anti dengan hal seperti ini. Namun rasa penasaranku kali ini membuatku malah menepis perasaan itu.

"Kau belum tahu? Tempat itu, dulunya ditempati oleh satu keluarga yang kaya raya. Kemudian terjadi musibah memilukan, suatu waktu–terjadi perampokan–dan sekeluarga, mereka sekeluarga tewas dibantai,"

"Semuanya? Tidak ada yang tersisa?"

Beliau menggeleng cepat, kuperhatikan lelaki tua beruban itu meneguk kopinya sampai habis, dan berbisik, "Tidak ada satupun yang selamat–tragisnya lagi, anak perempuan tuan kaya raya itu, digilir terlebih dahulu sebelum dihabisi nyawanya."

Bapak–bapak yang lain mengiyakan, aku sedikit merinding saat angin bertiup mengenai tengkukku.

"Arwahnya penasaran, begitulah yang kudengar, dik. Yang sering menampakkan diri dan menggoda para pejalan kaki di depan rumah itu ya sosok anak perempuan tadi." Pemilik warung ikut menambahi.

"Duh, kasihan ya pak, kok saya malah kasihan mendengar nasib buruk yang menimpa gadis itu,"

"Aaah, sudahlah Marta. Mari lanjut ngopi, jangan terlalu dipikirkan, nanti gadis itu malah mencarimu. Hahahaa, ahh, bukannya kamu sudah janji mau menemani saya main catur malam ini," bang Aditra pemilik warung menepuk bahuku, sebenarnya ada hal yang mengganjal di pikiranku, namun saat mencoba mengingatnya dengan jelas, aku malah merasa otakku buntu.

***

Sebenarnya aku sudah mulai lupa dengan cerita–cerita seram yang kudengar. Namun entah mengapa, malam membawaku kembali pada ingatan yang tidak wajar.

Meski tidak pernah kucoba memberanikan diri untuk sekedar menguji nyali dengan masuk atau mendekati bangunan tua yang nyaris roboh itu – anehnya malam ini – aku merasa sangat tidak nyenyak dengan tidurku. Di benakku terus saja terbayang–bayang tempat itu. Tempat yang selalu kulewati setiap hari, entah saat akan berangkat ke kantor atau ke manapun aku pergi. Masalahnya, rumah itu berdiri persis di persimpangan menuju komplek perumahan yang kutempati.

Aku gelisah sekali. Berkali–kali kuhempaskan tubuhku di kasur yang terasa kaku, hawa gerah menyerang meski sebenarnya dingin AC yang kusetel sama persis dengan malam–malam biasanya.

Tiba–tiba, selenting cerita itu terbersit kembali di kepalaku. Tentang gadis yang diperkosa dan dibantai oleh para perampok jahanam itu.

Aaah, aku paham betul bahwa itu bukan urusanku. Sudah pasti takdirlah yang membawa gadis itu ke dalam bencana yang memang sudah digariskan Tuhan untuknya. Takdir yang kejam, sudah pasti – begitulah pikirku.

Dingin AC malahan membuat keringatku tumpah. Memang malam ini terasa sangat aneh. Aku memang tidak akan menggubrisnya, sebab mungkin malam ini udara memang sangat panas, ditambah dengan musim kemarau yang menyembunyikan hujan berbulan–bulan sudah.

Tik tok tik tok
Detak jam di dinding terdengar mendominasi malam. Aah, pukul 01:15. Kupilih untuk segera membuka jendela kamar, membiarkan angin malam menggapai–gapai kulitku, dan menjamah segala keresahanku.

Semua masih terlihat baik–baik saja. Hingga ekor mataku menangkap sosok perempuan dengan jarak beberapa meter dari arahku saat ini. Dia mengenakan gaun pendek selutut, berwarna merah, merah menyala, serupa warna darah – kontras sekali saat kulitnya terlihat bercahaya dipantulkan oleh temaram lampu taman di halaman rumahku.

Perempuan bertubuh mungil – seorang gadis? – dan entah apa yang dilakukannya di tengah malam buta seperti ini. Tetapi tunggu, bukankah rumahku berpagar tinggi hampir mencapai dua meter, lantas dari mana datangnya gadis itu–jika aku sendiri telah mengunci rapat pagar di gerbang depan.

***

Aku masih memperhatikannya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Menapak di tanah. Itulah yang pertama kali ingin kupastikan. Sebab memang sungguh tidak masuk akal apabila yang kudapati adalah dua kakinya mengambang di udara– ditambah suara cekikikan– dan tubuhku dipastikan langsung lemas tak berdaya.

"Hei, sedang apa?"

Hening. Dia tidak langsung menjawab. Memang sudah kuputuskan untuk keluar dan menghampirinya. Toh, ini masih berada di kawasan halaman rumah, jadi pastilah tidak se–horror perasaan cemasku saat mendengar kisah dari pengunjung warung.

"Haii, Nona. Kau sedang apa–bukankah ini sudah terlalu malam bagi seseorang–berada di luar rumah."

"Aku–tidak bisa pulang."

Akhirnya, sedikit rasa lega membuat rasa cemasku lenyap seketika. Gadis ini sudah pasti makhluk yang sama sepertiku, "Loh, ada apa? Nona minggat dari rumah? Kenapa? Apa nggak sebaiknya anda menunggu hingga pagi datang, dan mencoba bicara baik–baik dengan keluarga anda, kurasa mereka pasti akan mengerti, dibandingkan anda harus berada di sini tengah malam begini, dan –"

"Aku tidak bisa pulang,"

Kalimat yang masih sama, lagi gadis itu menjawab dengan jawaban yang sama. Kuperhatikan rambutnya yang sebahu, menutupi hampir separuh dari wajahnya saat dia terus menunduk seperti itu. Aku ingin melakukan sesuatu, namun aku sendiri tidak tahu harus menawarinya untuk masuk ke dalam rumah–atau memintanya pergi dan kembali pada keluarganya.

"Nona–maafkan saya, namun ini sudah terlalu malam. Nona sebaiknya pulang dan kembali, tidak baik bagi seorang perempuan masih berada di luar seperti ini,"

Ooh, naluri membawaku berada tepat di depannya. Berhadapan. Ya, aku berhadapan langsung dengannya. Dia mulai menangis. Kontan, aku jadi panik setengah mati.

"Nona, ohh, tolong jangan menangis seperti ini, saya, saya tidak ingin para tetangga berdatangan dan menghakimi saya nantinya. Ayolah, katakan di mana rumah anda, akan saya bantu mengantar anda kembali pada keluarga anda."

Perempuan itu semakin terisak–isak. Suara tangisannya menyatu bersama deru angin malam. Aku kebingungan, bahkan aku sampai menyumpah–nyumpah di dalam hati.

Tuk tuk, tuk tukkk

Suara kentungan khas petugas keamanan mulai terdengar tak jauh dari rumahku. Pastilah beberapa menit lagi mereka akan melintas di depan rumahku. Ohh, apa yang akan kukatakan jika mereka menangkap basah aku–dan seorang perempuan yang sedang menangis–di pekarangan rumahku sendiri.

Tuuk tukkk, tuukkk tuuukkk

"Aaah, ayolah nona, hentikan tangisanmu. Saya saat ini sangat tidak mengerti dengan kesulitan anda, namun tolong, jangan beri saya kesulitan juga–"

Tuuuk tuuukk tukkk tuukkk

Suara kentungan semakin dekat saja. Dan perempuan ini masih menunduk. Semakin menyimpan mukanya dalam–dalam. Kepanikan membuatku tidak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Nona ini, masih saja terisak–isak.

Ohhh Tuhan, satu, dua, tiga. Ketiga petugas keamanan itu melongok ke arah kami. Kupastikan cahaya lampu taman akan sangat memudahkan mereka untuk menangkap tubuh kami dari balik pagar sana.

"Dik Marta– lhooo, apa yang kamu lakukan malam–malam begini?" Salah seorang dari mereka terkaget–kaget mendapatiku duduk di luar rumah seperti ini.

"Iyaa Pak, aku tak bisa tidur–dan anu Pak, jadi begini– sebenarnya,"

"Dik Marta, jangan keseringan berada di luar seperti ini, sendirian lagi, nanti kesambet loh," Sambung petugas satunya.

"Tapi saya tidak sendirian, Pak. Ini, Nona ini sepertinya butuh bantuan–"

"Dik, kamu tidak sedang mengigau bukan?"

"Maksud, Bapak?"

"Yaa itu maksudku, kamu sendirian di luar malam–malam begini, apa ndak sedang mengigau itu namanya. Malah nanti kamu bisa ditaksir hantu atau jin, hahahaa."

Aku semakin tidak mengerti, mendengarmya jelas–jelas membuat perasaanku juga semakin terasa tidak enak. "Sendirian? Eeeh, tapi, Pak."

"Sudah, dik Marta masuk saja. Kami lanjut ngeronda ya Dik."

Tuuk tuuuk, tukkk tuukkk

Suara kentungan itu kembali terdengar. Semakin lama semakin menjauh. Aku berbalik, dan perempuan itu masih duduk di tempatnya. Masih menunduk. Masih membiarkan separuh wajahnya tertutupi oleh rambut.

Anehnya, aku tidak merasa takut. Aku bersyukur, dia sudah tidak menangis lagi. Paling tidak, satu masalah sudah teratasi.

"Nona, heii–jika anda tidak ingin pulang, baiklah, sebaiknya anda masuk bersamaku. Angin malam terasa semakin dingin, anda tidak ingin berada di luar semalaman bukan?"

Aku berdebar. Berdebar menunggunya mengangkat wajah. Poni–poninya tersibak, aaaah, dia tersenyum–namun tatapan dari kedua matanya terlihat kosong. Dia begitu cantik, aku tahu dia sangatlah cantik–meskipun wajahnya terlihat membiru, dan darah segar terus saja menetes–netes dari hidung dan bibirnya yang pecah, berbaur dengan gaunnya yang merah darah.

***

Words : 1303

#HorrorisR – "Gadis Bergaun Merah"
Ohh, Menjawab tantangan di genre #FiksiHorror rasanya memang masih sulit. Gilanya, ini fiksi terpanjang yang kuselesaikan dengan peluh bercucuran. Gas pollllll, serem atau tidak, tetep bersemangat deh. =D
Oleh : Ramita Zurnia
Twitterku : @Mitha_AdelSanto

Rabu, 14 Oktober 2015

#Mita'sDiary - *Hidup Ada Untuk Disyukuri*

Wahai saudaraku,
Betapa banyak kita mengeluh, dan berkata tak punya apa-apa.

Padahal bumi, langit, dan bintang-bintang terhampar di angkasa adalah milik kita.
Lihatlah di sekitar, bukankah kita dikelilingi oleh anugerah yang melimpah?
Bunga-bunga bermekaran, burung-burung berkicauan riang, dan tetesan airpun mengalun ketika ia mengalir ke lembah.

Dunia ceria pada kita sahabat, lantas kenapa kita cemberut?
Dunia dan isinya tersenyum pada kita, lantas kenapa kita manyun?

Sadarilah kawan, terlalu banyak penderitaan, tak sedikit cobaan, dan silih berganti ujian datang. Umpama langit selalu berduka dan mendung, maka kita pasti masih bisa tersenyum.
Cukuplah duka cita menghitam di langit sana.

Mungkin kita lelah mengeluh, tak ingin lagi meratapi diri,
tetapi dalam keputus-asaan itu, kita semakin dileburkan dalam duka.

air mata,
air mata,
air mata,

berkali-kali dia mengaliri pipi kita,
mungkin apabila air mata itu habis dan mengering,
apakah darah yang harus menggantikannya?
Tidak ada apapun yang kita dapati kawan.
Jiwa ini semakin kerdil, semakin lusuh.

JIKA engkau TIDAK DAPAT MELAKUKAN SESUATU HAL, MAKA TINGGALKANLAH.
Dan LAKUKANLAH APAyang BISA engkau LAKUKAN.

InsyaALLAH itu bisa membuat kita lebih baik.

Kalau saja kita bersyukur dengan apa yang ada.
Andai saja kita puas dengan apa yang kita terima,
Saya yakin, sahabat!!
Kita PASTI menjadi orang dengan HATI yang MERDEKA.

"Walau hidup kadang tak ADIL,
Tapi CINTA lengkapi kita,
Menarilah dan terus TERTAWA, Walau dunia tak seindah syurga,
BERSYUKURLAH pada yang KUASA,
CINTA KITA DI DUNIA,,
SELAMANYA.
*s0ng by: Nidji*"

***

Postingan Ulang dari Note Fesbukku
Oleh : Ramita Zurnia