Rabu, 07 Oktober 2015

#GiveAwayEllunar1st –Ulang Tahun Ayah

 

"Kayana, kamu masih belum bersiap–siap?"

Ada nada bersemangat dalam pertanyaan bunda pagi ini. Aku masih saja bergelung di balik selimut tebalku yang hangat, saat bunda tiba–tiba datang dan nongol sambil menarik selimut.

Sreeeettt...
Bunda langsung menjauhkan benda itu sejauh–jauhnya dari tubuhku. Ohhh, tidaaaakkk..

"Bunda, aku ngantuk–"

"Oh, tidak–kita harus pergi sekarang Kay, ayo! Kamu mandi, dan bersiap, oke!" Bunda memaksaku lagi. Bunda menarikku hingga berdiri, dan memelototi aku. "Ayo, jangan protes."

Sambil menggosok gigi, aku terus bersungut–sungut di kamar mandi. Bunda selalu bersikap seperti ini, memperlakukan aku seperti seorang anak kecil. Padahal bunda sendiri tahu baru sebulan yang lalu aku merayakan ulang tahunku yang ke–17 tahun, yang artinya aku sudah termasuk dalam kategori orang dewasa.

"Kayana, masih lama?"

"Sebentar, bunda." Aku bergegas mengguyur tubuhku dengan air. Duh, entah mengapa air ini terasa sangat dingin sekali jika di hari Minggu seperti ini.

Begitulah, sepagi ini dan di hari libur pula. Bunda sudah menggedor–gedor pintu kamarku, seperti ada perusuh yang telah datang saja, atau akan terjadi gempa yang memorak–porandakan hatiku, eh–kamarku.

"Kamu lama sekali, bunda bosan menunggumu tahu." Bunda langsung saja mengomeliku, lagi, aku hanya bisa nyengir dan menggaruk–garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal.

"Maaf, bunda, dan kita jadi berangkat kan, bun? Ayoo..."

***

Hari Minggu. Aku sangat menyukai hari libur, yang memungkinkan aku bisa melepaskan beban pikiranku sejenak, beserta membebaskan diri dari aktifitas sekolah yang enam hari penuh telah menguras otakku.

"Kayana, kamu suka yang mana?" suara bunda kembali membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, mendapati dua buah liontin yang berbeda di genggaman bunda.

"Apa ini, bunda?" Mataku berkilau menatap liontin keperakan yang tampak begitu indah, mungkin jika diserasikan dengan kalung berantai mungil, akan sangat pas saat kukenakan.

"Ini yang kita bicarakan semalam, Sayang! Yang ini, liontin mungil berbentuk peluru–dulu ayah pernah menghadiahkannya kepada bunda, dan yang kamu pegang itu liontin cantik berbentuk dua hati–juga hadiah dari ayahmu."

Mendengarkan bunda menceritakan hal itu saja membuatku mampu merasakan betapa dalamnya cinta dan keterikatan hati antara ayah dan bunda. This is love! Dan aku bersyukur sekaligus bahagia untuk hal ini.

"Aku kan anak perempuan, bunda. Aku suka kalung berliontin hati ini."

"Waaah, sepakat. Bunda juga sangat menyukai liontin hati ini, sayang. Oohh," Mata bunda terlihat berkaca–kaca. Namun aku tidak akan bertanya lebih jauh, sebab terlalu beresiko jika sampai pertanyaanku mengganggu konsentrasi bunda saat menyetir seperti ini.

***

Paviliun mungil itu masih terlihat sama. Hanya lantai marmer putih di bagian teras depan itu saja yang sedikit berdebu. Mungkin angin kemarau di musim ini telah berembus nakal, terlalu asyik bercengkrama dengan beberapa helai daun kamboja yang menguning, hingga luruh dari tangkainya.

Beberapa kuntum bunga kamboja merah, kuning, dan putih bermekaran indah. Pot–pot bunga itu berjejer rapi di teras, tanahnya tampak mengering, namun beberapa kelopaknya mencuat indah seperti tak mengenal musim. Bunda pernah bercerita, bahwa dulu ayahlah yang merawat semua bunga–bunga itu. Dulu, semasa aku masih kecil, dan kami bertiga–ayah, bunda, dan aku–sering berkunjung di hari libur ke paviliun ini.

Ahhhh, kembali ada perasaan aneh yang menyeruak dari hatiku. Kesedihan mampir sebentar, dan rasanya begitu menyesakkan. Tubuhku sedikit gemetar. Aku tahu, akan sangat tidak baik akibatnya apabila bunda sampai melihatku meneteskan air mata.

Hey, masa kecilku! Akankah kemunculanmu dari memori kenanganku kali ini akan kembali membuat air mataku melimpah seperti ini? Rasanya, aku sangat tidak ingin menambah kesedihan di hati bunda–setidaknya untuk hari ini.

Aku paham, memang dunia belum kiamat. Apalagi hingga saat ini aku masih bisa melihat senyuman terkembang di bibir bunda, apalagi yang harus kujadikan alasan untuk bersedih, sementara kebahagiaanlah yang masih terus kutemukan dari sinar di dua mata tua bunda.

"Kay, sini sayang!"

Panggilan bunda menyadarkan lamunanku. Aku masih berusaha menyembunyikan perasaan sedih yang membuncah dari hatiku. Aku menurut, dan kusenyumi bunda yang masih berjongkok di depan gundukan tanah yang telah ditumbuhi rerumputan hujau yang tampak subur.

"Yaa, bunda."

"Ayo sayang, sampaikan rindumu pada ayah. Ingat, hari ini ayahmu ulang tahun." Bunda menatapku sebentar, dan kembali mengalihkan pandangannya dariku.

Kutahan segala rasa yang kembali memunculkan duka mendalam di hatiku. Kuusap perlahan nisan ayah dengan penuh rindu. Rindu–rindu yang kuharap selalu sampai saat bibirku tak henti memohonkan doa untuk ketenangan beliau di sisiNya.

"Selamat ulang tahun, ayah sayang. Selamat ulang tahun. Kayana dan bunda kembali datang mengunjungi ayah. Kayana sangat–merindukan–ayah..."

Ohhh, selalu saja perasaan ini sulit kukendalikan. Kerinduanku yang selalu saja tidak terkontrol. Kugenggam liontin berbentuk hati yang tergantung di leherku. Ayah, engkau berdebar setiap kali aku bernapas. Engkau berdebar, di sini ayah, di hatiku.

Bunda memelukku. Memelukku erat sekali, pelukan bunda seakan menyiratkan kata–kata juga tidak ingin berpisah denganku–setelah ayah.

Hari ini adalah hari ulang tahun ayah. Hari yang selalu aku dan bunda ingat–tanpa pernah berniat melupakannya. Setiap ayah berulang tahun, aku dan bunda selalu datang berkunjung ke tempat ini. Rumah di mana ayah terbaring sendiri, dinaungi rindang kamboja yang selalu rimbun oleh bunga.

"Ayah, iman kita beda. Bunda selalu mengulang kalimat itu. Aku tahu, tidak ada yang berbeda dalam cinta. Seperti cinta ayah, kepada bunda, dan juga aku."

Kembali, kubenamkan rindu–rindu teruntuk ayah di pelukan bunda. Sementara angin bertiup lembut, mengugurkan beberapa kuntum kamboja tepat di atas nisan ayah.

***

Words : 860

Alhamdulillah, fiksiku – "Ulang Tahun Ayah" kali ini ditujukan khusus kepada Ellunar Publisher yang tengah berulang tahun ke–1. Setahun sudah, semoga Ellunar Publisher semakin sukses, semakin jaya sebagai sarana dalam mewadahi kreatifitas–kreatifitas dari anak bangsa. Selamat ulang tahun, Ellunar!!

Oleh : Ramita Zurnia (Twitterku : @Mitha_AdelSanto)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar