Jika rindu mengijinkanmu untuk terus bersamaku, menjelmalah sebagai bait yang menampung seluruh huruf di bibirku.
Sabtu, 06 Juni 2015
PURNAMA YANG PADAM
Aku lupa, malam ini purnama empatbelas. Padahal beberapa malam sebelumnya aku selalu kesal setiap kali memandang langit dari jendela kamarku yang mini tanpa kaca. Pasalnya, setiap kali aku mendongak ke langit, selalu saja kudapati awan pekat, dan gulita. Bahkan, meskipun aku mencoba menyipitkan mataku berkali-kali, tetap saja tiada kerlip satu bintang ataupun sinar rembulan.
Berbeda dengan malam ini, cuaca sangat besahabat. Langit malam benderang, purnama bulat seutuhnya. Aku tak sabar untuk memujinya, atau bahkan menyatakan kekagumanku dengan lekas, agar ia bersedia muncul esok malam dari balik jendela.
Kukuakkan daun jendela kecil itu, ia berderit-derit. Sementara malam semakin hening. Angin bulan Juni yang penghujan enggan menyibak helaian rambut panjangku. Sesekali jangkrik berderik, seakan mengalunkan kesyahduan malam.
“Kamu selalu memuja purnama, kenapa, Ta?” aku terkekeh.
Bukankah itu pertanyaan sama yang selalu saja bang Hazel tanyakan padaku. Bahkan empat tahun terakhir, setiap kali purnama muncul, bang Hazel akan selalu menggodaku dengan pertanyaan seperti itu. Meski sebenarnya ia sendiri tahu jawabannya.
Angin malam menghempas daun jendela miniku, sepertinya malam ini hujan lebat akan turun. Aku menghempaskan tubuhku. Kesal sekali rasanya. Tetiba angin bertiup kencang, dan membawa awan-awan hitam menggumpal mengitari bulan.
“Sudahlah, Ta. Bukankah purnamamu itu selalu terlihat sama di malam-malam sebelumnya? Bukankah cahayanya tetap keemasan, dan berkilau di rambut hitammu.”
“TIDAK !!!” jeritku
“Sebaiknya jendela itu lekas kau tutup, angin akan membuatmu beku. Aku yakin malam ini hujan akan turun – sangat lebat.”
Aku mendengus. Kesal. Marah. Semua ucapannya membuat kepalaku seperti akan pecah. Membuat benakku seakan terburai dengan cairan otak yang berceceran di lantai kamarku yang dingin.
Rintik hujan mulai terdengar menyakitkan. Semakin lama semakin deras. Mungkin saking derasnya, atap kamarku serasa akan roboh diterjangnya.
Malam kembali gulita. Udara dingin menyeruak dari celah dinding bilik kamarku, membekukan kedua kakiku. Bahkan rasanya membuat tulangku nyeri dan ngilu. Bau anyir terbawa angin, menguar di udara. Aku mengendusnya lagi. Tak salah, ini memang bau anyir darah segar. Aku yakin sekali, karena indera penciumanku tidak pernah salah.
Malam terasa sangat panjang. Aku memandang purnama empat belas. Purnama yang sempurna. Langit yang begitu berbeda, aku tak perduli hujan badai, angin ataukah taifun yang datang. Aku hanya memuja malam, mengagumi rembulan. Akan selalu begitu. Mungkin hingga kiamat datang.
Kamarku yang sepetak, berdinding bilik, dan jendela mini yang mulai lapuk. Suara kentongan terdengar bersahutan, puluhan penerangan dari suluh yang memucat juga riuh suara dan jeritan para tetangga. Warga berdatangan. Aku hanya tersenyum sinis, di bawah purnama yang ungu, aku melihat dengan jelas, tubuh bang Hazel tergeletak bersimbah darah. Ususnya terburai, matanya terbelalak.
Persis sama, dengan yang kulihat empat tahun yang lalu, tepat di bawah purnama ungu, malam ke empat belas. Sesudahnya, purnama meredup. Menghilang dari pandangan mata. Seakan gulita menelannya tanpa sisa.
Purnama di malam empat belas, aku berharap ia muncul kembali di sana. Dengan cahaya, dengan kilau keemasannya. (*)
Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia, lahir di Lubuksikaping, Sumatera Barat,1988. Seorang perempuan biasa, penyuka senja,
pengagum jingga. “apapun tentangmu, dunia kujalani bersenjatakan pena. Aku tak peduli pada apa penilaian dunia. ”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar