Jumat, 12 Juni 2015

YANG TAK LAGI DI SISI


Jendela bus mengembunkan sendu
Di halte rindu, si pemilik senyum memeluk setumpuk resah
Setia menunggu dengan tatap basah

Rintik hujan, desah angin
Memeluk lekuk – lekuk basah dari matamu
Kutahu, rindumu tengah berdebar gelisah

Kasih, biarkan kutatap keindahan dari matamu
Kukecupi sendu di dalamnya, hingga kutemukan cinta
Tengah memeluk semesta hatiku dengan manja

Rintik hujan, desau angin
Halte tua di jalan kenang
Sesaat, kusadari kau tak lagi di sisi

Ramita Zurnia (Pekanbaru, April 2015)

BIANGLALA


“Apa lagi yang lebih indah? Selepas hujan dan langit kembali cerah. Mendung berlalu, dan seisi alam kembali ceria.”

Bian hanya tertawa. Sedari tadi kekasih hatinya itu sibuk berceloteh tentang hujan dan langit. Bisa saja seharian ini dia akan mendengar kekasihnya itu terus membahas seisi jagad raya, dan itu tidak akan membuatnya bosan ataupun merasa kesal.

“Aku tahu semuanya indah, Sayang. Sangat indah. Bukankah Tuhan sudah menciptakan segala keindahan ini untuk dikagumi?” Bian pun mendekati gadisnya, lantas mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas. 

“Seperti dirimu, keindahan yang selalu tak putus-putus kukagumi.”

LALA, gadis yang baik hati. Satu-satunya gadis yang berhasil membuat Bian jatuh hati, dan berjanji akan dilindungi serta dicintainya sepenuh hati. Yaa pastinya setelah dia pernah berkali-kali patah hati oleh beberapa gadis sebelumnya.

Bian hanya tersenyum, Lala berdiri tepat di sampingnya. Dulu Lala pernah bercerita, dia sangat menikmati hidupnya. Apapun itu, Lala akan melewatinya dengan riang. Tanpa mengeluh, tanpa putus asa. ”Sayang, hidup ini cuma sekali.” kata Lala suatu waktu.

Bian bahkan masih ingat, Pernah Lala membiarkan bening yang tumpah dari langit itu membuatnya basah kuyup, bahkan dia akan tertawa-tawa saat Bian menjerit menyuruhnya agar berteduh. Tapi Lala tetap akan bermain di bawah hujan, dan menganggap sikap Bian terlalu berlebihan.
***
Petang ini, Bian masih termangu di depan jendela kaca besar itu. Hujan baru saja berlalu, dan ekor mata Bian bisa menangkap lengkungan indah di ketinggian sana. Beberapa warna terlihat bergandengan dengan serasi. Bian merasakan sesuatu yang getir mendadak membuat jantungnya berdebar kencang, membuatnya kesulitan untuk bernafas. Berkali-kali dia mencoba membuang pandangan dari jendela besar itu.

“BIANGLALA,”

Lala menggeser tubuhnya semakin dekat dengan tubuh Bian. Hujan mengurung keduanya semenjak satu jam yang lalu. Namun sekarang, udara yang tadinya dingin sekali, sekarang terasa sejuk, hujan yang turun dengan derasnya, sekarang menyisakan gerimis yang rindu mengecupi tanah basah.

”Sayang, keindahan yang disembunyikan langit. Lihatlah, saat ini Tuhan mengijinkan aku menikmatinya, bersamamu.” Lala mendongak ke langit, Bianglala terlihat sempurna. Menyisakan keindahan yang sangat mencolok, bagi siapapun yang menyempatkan diri untuk mengaguminya. “Dan lagi …”

“Yaa?”

“Bianglala itu seperti kita, Sayang. Aku dan kamu. BIAN dan LALA … Selalu bersama, bergandengan tangan, entah saat itu musim penghujan yang memilih turun dengan deras, angin menghempas, atau badai besar sekalipun. Kita akan terus bersama, bukan?”

Bian memeluk diri sendiri. “BIAN dan LALA, BIANGLALA, bersama, terus bersama…”
Kata-kata itu terus saja berdenging di telinganya. Bathin Bian berteriak. Ribuan hunjaman belati seakan menembus jantungnya. Dia seperti hancur, hancur bersama impian dan keindahan yang selalu digambarkan Lala. Semua terlalu sakit, bahkan di langit tersuguh kesakitan yang sama. Kesakitan yang tak bisa membawanya lepas dari seorang Lala. Cinta sejatinya.
***
Bian tersenyum, sudah berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan dia tak pernah lagi tahu caranya untuk tersenyum. Hatinya serasa lega dan sedikit banyak sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Semenjak tadi dia berdiri di bawah rinai hujan yang mulai rapat, merasakan berkah Tuhan menyentuh kulit kepala, dan memberikan efek segar untuk benaknya yang terlalu lelah bekerja memikirkan kepedihan. Di hadapannya, dua gundukan tanah yang tak lagi merah, letaknya pun bersisian. Gundukan itu terlihat masih dipenuhi  beberapa kelopak mawar-melati. Menandakan selalu ada yang datang sekedar melepas rindu dan menaburkan bunga.

Hujan membasuh kerinduan Bian. Air matanya turun tanpa diminta, tersamar di bawah rinai. Awan yang tadinya bergulung-gulung, terlihat mulai tersibak oleh tirai cahaya matahari. Kepedihan yang berbulan ditanggungnya sendiri, seakan kembali menaungi langit hatinya.

“Sayang, aku kembali…”

Bian mengusap dengan sayang tepian nisan tersebut. Matanya kembali terasa perih. Luapan yang selalu tak bisa dibendungnya, tangisan yang selalu saja dia biarkan menguasai hidupnya selama ini. “Maafkan aku yang selalu saja rapuh…” desahnya lagi. Tangannya mengusap kedua nisan itu secara bergantian.

“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” Bian yang baru sampai di rumah sakit tampak terpukul. Tiga puluh menit yang lalu mertuanya member kabar bahwa Lala tiba-tiba pendarahan dan pingsan di kamar mandi. Tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi, Bian hanya ingat dia menyetir mobilnya dengan pikiran yang berkecamuk, dan menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi.

Bian menunduk. Air matanya mungkin telah menyerupa  hujan, sejak tadi terus saja meleleh dari sudut matanya. Membanjiri ingatan dengan kenangan yang sengaja dia simpan di hati, maupun pikirannya selama ini.

“Sayang, apakah kalian berdua di sana baik-baik saja? Lihatlah, betapa tegarnya aku hari ini. Kamu pasti bisa melihat, bahkan hujan ini pun tak lagi mampu menakutiku.”

Bian tersenyum. Tak ada yang bisa mengartikan senyumannya petang ini. Suasana di pemakaman memang sepi, ditambah lagi saat hujan dengan udara dingin begini, pasti tidak ada orang yang ingin datang untuk berziarah.

Rinai semakin menguap. Matahari menyibak awan-awan tebal. Bianglala mulai melengkung di sudut langit. Bian terpana untuk beberapa detik. Wajah Lala terlihat jelas di antara warna warni langit. Dia tersenyum, Bian bisa melihatnya dengan jelas. Senyuman istri yang sangat dikasihinya. Semakin lama semakin jelas, Bianglala terakhir yang membuatnya terpukau.

“Sayang, positif. Aku hamil…”

“Tapi, Sayang..”

“Please, Sayangku. Aku akan pertahankan kehamilanku kali ini, aku ingin melahirkan buah hati kita yang jelas-jelas punya hak untuk hidup, dan melihat ayah-ibunya.”

Kehamilan Lala yang ketiga kalinya. Dokter sudah mengatakan bahwa kondisi  rahimnya yang sangat lemah, dan jelas sudah dua kali Lala mengalami keguguran.
Semua tergambar begitu jelas dalam pandangan Bian. Bianglala-bianglala itu mengitari kepalanya. Suara tawa Lala yang selalu membuatnya bahagia, juga bergaung memenuhi telinga. Hingga Bian nyaris tak lagi bisa mendengar apapun. Udara terasa begitu dingin, Bian tahu, ada yang memaksa lepas ruh dari raganya. Hingga semua yang tampak hanyalah  merah, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.(*)

Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia, Twitter: @Mitha_Adelsanto

Rabu, 10 Juni 2015

SANG KERBAU DAN PETANI TUA

LUMPUR terciprat ke mana-mana. Kerbau mengeluhkan kekang yang bertahun mengalung di lehernya. Sudah seharian, dia menarik Bajak, bolak-balik dari satu petak ke petak sawah lainnya. Sementara matahari sudah semakin condong ke arah barat. Pak Tani memecutkan cambuk lagi, dia meringis. Sakit sekali rasanya.

“Bertahanlah, Kerbau. Sebentar lagi gelap. Kita akan pulang. Kau bisa istirahat malam ini.” Ternyata Bajak masih perhatian. Mungkin Bajak sedikit banyak telah mengerti bagaimana penderitaan Kerbau yang setia menariknya dari pagi hingga petang.

Bajak terlalu banyak berceloteh hari ini. Kerbau terus melanjutkan tugasnya. Dalam penglihatannya lumpur sawah kehitaman itu seakan berubah menjadi padang rumput hijau. Seluas mata memandang, semuanya menghampar hijau. “Rumput yang empuk, dan makanlah sepuasmu, Nak. Mungkin kau akan berpikir sekarang surga tepat di depan mata.” Terngiang suara lembut ibu. Waktu itu mereka merumput bersama gerombolan lainnya. Rumput-rumput hijau membuat mulut tak pernah berhenti mengunyah.

“Ahh... Lihatlah aku sekarang.” dengusnya.

Bagaimanapun, entah takdir mana yang memaksanya untuk selalu melakukan pekerjaan manusia, tepatnya membantu meringankan pekerjaan manusia. Seperti petani tua ini, yang bertahun selalu melecuti badannya. Meski sebenarnya dia tak perlu melakukannya.

“Kerbau. Kau melamun?”

“Tidak.”

Kerbau menyelesaikan sedikit lagi tugas membajaknya. Rumput seempuk kembang gula-gula buyar sudah. Lumpur, dan air sawah membuat cipratan lebih banyak saat dia bergegas menarik Bajak.
Matahari telah lelah di balik bukit barisan. Pertanda waktunya untuk pulang dan melepas lelah. Perjalanan pulang membuatnya gembira. Paling tidak, mereka akan mampir ke sungai kecil di dekat sawah. Kerbau ingin sekali berendam dan mendinginkan benaknya.

“Petani tua itu yang selalu menjaga kita, Nak.” Setidaknya begitulah cerita ibu kepadanya dulu. Jauh sebelum dia akhirnya harus kehilangan ibu. Dari pembicaraan penghuni kandang waktu itu, dia mendengarnya, kerbau gemuk yang adalah ibunya itu telah berpindah tangan kepada seorang jagal dari kota. Kerbau marah bukan main, tetapi bukan tak beralasan, petani itu butuh uang untuk biaya berobat. Katanya, Petani tua bertubuh kurus yang selalu batuk dan sering membuang dahak di sepanjang jalan itu mengidap penyakit TBC akut.

“Kerbau, Kau tertidur? Melamun lagi?” Bajak selalu mencoba membuka pembicaraan dengannya. Meski terlalu sering pula diacuhkan.

“Tidak. Apa kau tidak merasa aneh? Sejak tadi aku tak merasakan cambuk itu bekerja di kulit punggungku yang tebal. Seharusnya dia menuntun kita untuk segera pulang.”

“Ya, seharusnya.”

Kerbau menatap langit. Sebentar lagi gelap menjelma. Butuh sepuluh menit untuk bisa sampai di gubuk. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Awan-awan hitam mulai berkumpul di satu titik. Sesekali kilat menyilaukan anak mata. Angin berembus kencang sekali. Apa akan terjadi badai, entahlah.

“Bajak, kita pulang.” Katanya cepat. Dia paling membenci badai, dan hujan. Tak dia dengar suara bajak menyahut. Dia melangkah perlahan. Sulit sekali menggerakkan badan penuh lemak dengan ke-empatkaki yang bertumpu di beceknya lumpur. Belum lagi beban yang harus ditariknya, semakin lama terasa semakin berat.

Terseok. Kerbau keluar dari kubangan sawah. Menarik bajak ke arah setapak. Di langit, guruh dan kilat berkejar-kejaran. Angin dan rintik hujan membuat langkah kakinya seakan setengah berlari. Dia terhenti di tepian sungai. Keinginan untuk berendam telah menghilang dari benaknya. Dia paling benci hujan. Dia menyeberangi sungai kecil itu. Mencoba merambat naik ke tebing, dan memastikan sampai di atas dengan selamat.

“Kerbau.”

“Ya..”

“Kau harus cepat. Lekaslah.” Sambung Bajak.

“Kenapa?” Kerbau kesal sendiri. “ Kau ingin aku berlari secepat kilat? sedangkan  kau sendiri tahu aku harus menarikmu juga.”

“Bukan begitu,”

Kerbau melengos, hal yang paling memuakkan adalah bersilat lidah dengan Bajak. “Sudah, kau diamlah.”

Rintik hujan, desauan angin membuatnya bertambah muak. Pucuk-pucuk bambu menari-nari disapu angin. Nun di depan sana, gubuk si petani tua sudah terlihat. Liukan api kecil dari penerangan lampu teplok, pasti si Buyung yang sudah menyalakannya. Cucu semata wayang si petani tua.
Bajak akhirnya bungkam. Biarlah kalau memang dia sedang kesal. Terkadang Bajak memang terlalu banyak bicara. Kerbau mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Dia berhenti tepat di depan pintu kandangnya. Kandang yang terletak persis di pojok kanan gubuk itu. Dia mendongak, kekangan di lehernya terasa perih. Bisa saja kulitnya terkelupas, menganga dan berdarah.

Pintu gubuk terkuak. Si Buyung tertegun di anak jenjang paling atas. Dia menatap nyaris tanpa ekspresi. Kerbau menggerakkan kepalanya, berharap tuan segera melepaskan bebannya.

Atuukk…” Akhirnya Buyung bersuara. “Atuuuukkkk…”

Kerbau heran mendengar Buyung histeris. Kerbau mencoba melepaskan kekang di lehernya. Itu sungguh terasa menyakitkan. Namun dia ingin tahu, Mengapa Buyung yang tiba-tiba berlari turun dari gubuk dan berhenti tepat di belakangnya.

“Bajak, Bajak.”

“Ya..”

“Ada apa? Ada apa ini?” tanyanya lekas. Hujan turun semakin rapat. Tubuhnya kuyup sudah.

“Tuan kita,”

“Kenapa??”

Kerbau memaksa lepas pasangan kekang di lehernya. Dia bisa melihat. Ya, petani itu, tergeletak di pegangan bajak yang terbuat dari balok kayu. Entah dia tersangkut di sana, dan entah bagaimana bisa. Terlalu rumit untuk mengerti semua yang terjadi. Rumput hijau, lumpur sawah, pematang yang becek, sungai jernih, dan petani tua. Kekecewaan yang rumit dijelaskan.

Yang Kerbau tahu, dia benci hujan. Selalu membenci hujan. Saat ibunya dinaikkan ke atas truk, juga saat petani tua yang tak lagi menyahut.

“Saranku, Bila kau mendengar guruh, juga kilat yang menyambar. Pastikan kau tidak menutup kupingmu. Dengarlah, bagaimana alam murka dan akan memurkaimu.” (*)

Pekanbaru, Juni 2015
Akun Twitter : @Mitha_Adelsanto


BERBEDA



Gadis itu merengut. Ia menatap kuncup melati di halaman. Ayah lupa lagi pada janjinya. Janji untuk mengenalkannya  pada semua orang. Pada tetangga, pada warga sekitarnya. Tapi hingga sekarang ayahnya tak pernah menepati janji.

“Sampai kapan, Ayah?” desaknya lagi. “Aku sudah tumbuh sebesar ini, Ayah. Aku ingin sekolah, butuh teman-teman.”

Gadis kecil itu mulai menangis. Air matanya mengalir deras. Sejak ia lahir, ia hanya kenal ayahnya saja. Itu pun ayah membesarkannya di tempat asing, jauh dari keramaian. Tiada sesiapa, semua hanya sepi dan kesunyian.

“Ingat, jangan pernah keluar dari pagar rumah, Nak. Tetaplah di rumah, memetik bunga di halaman, dan menikmati matahari dengan senyuman.” Ayah mengecup kening bocah itu. Laki-laki itu melangkah pergi, mengunci pintu pagar dari kayu itu, dan menatap putrinya sekali lagi. Gadis kecilnya yang berbeda, yang dirawat dan dibesarkan dengan penuh cinta. Ia menunduk, menyeka air mata dan bergegas pergi.

“Maafkan ayah, Nak. Kamu berbeda. Ayah tak ingin dunia mengecilkanmu, mengucilkanmu.”

Langkah ayah semakin menjauh. Gadis kecil itu tertunduk lagi. Ayah akan mengunjunginya beberapa bulan lagi. Seperti biasa, ia menikmati hari-harinya sendiri. Bahkan ayahnya sendiri, menjaganya agar tetap terasing. Nafasnya mulai mengeram. Malam mulai turun, matahari padam, gelap menyelimuti sekitarnya. Mungkin, iblis hutan telah menunggu kedatangannya. (*)

Pekanbaru, 06  Juni 2015
    Akun Twitter : @Mitha_Adelsanto

Sabtu, 06 Juni 2015

RUMAH KUBUS


Hanya empat sudut. Ruangannya juga tidak terlalu luas. Jika dua orang duduk dengan saling berselonjor kaki, mungkin ujung jemari kakinya akan menyentuh salah satu bagian dinding. Atau saat dia ingin tiduran atau sekedar berbaring mungkin dia terpaksa harus meringkuk, atau melengkungkan tubuhnya agar sisi-sisi bilik tidak jebol dan rusak. Sebab itulah, kudengar orang-orang menamai tempat itu dengan sebutan “Rumah Kubus.”

Rumah kubus yang pengap. Tanpa jendela, tanpa ada celah untuk pertukaran udara. Bertahun sudah ruangan itu menyimpan aroma yang sama. Aroma kesedihan dari sang empunya rumah. Bahkan aroma kesakitan, yang akan menularkan virus kesedihan pada siapapun yang singgah. Jika dikatakan itu seperti penyakit, mungkin tidak. Karena tidak ada yang mengeluhkan sakit, baik pada bidan, atau juga dukun di kampung kami.

Yang kudengar, tempat itu menyimpan kemurungan bertahun silam. Seakan dia berdiri kokoh dan mendapat kekuatan dari hati mereka-mereka yang lemah, mereka-mereka yang selalu hidup dalam keputus-asaan. Yaa, seperti itulah rumor dan cerita yang berseliweran dari mulut ke mulut para warga.

“Jangan pernah mampir ke sana, entah saat itu kau sedang kemalaman di jalan, terkurung hujan lebat, atau alasan lainnya.” Ibu mencoba mengingatkan aku, kakak, atau adik-adikku.
 Berkali sudah ibu mengingatkan kami. Seolah ibu tak pernah lelah untuk mengulang-ulang kata itu. Kata ibu sih, semua demi kebaikan kami. Seolah-olah, rumah kubus adalah tempat paling angker dan penuh bahaya. Padahal kan tidak demikian. Begitulah pemikiran remajaku mencoba mencerna semua cerita itu.

Suatu petang, aku ikut kakak ke kabupaten. Kakak akan membeli beberapa keperluan tugas sekolahnya. Memang, kami dan warga kampung lainnya  terbiasa menempuh jarak 10 km untuk mencapai daerah pasar kabupaten, di sana ruko-ruko dan kios pertokoan berjajar rapi. Semua kebutuhan akan mudah kita dapati di sana, Karena apapun kebutuhan semua tersedia.

Dalam perjalanan pulang, kami kembali melewati rumah kubus. Dari kejauhan aku sudah melihatnya, teronggok di tepi jalan yang dipenuhi semak belukar. Beberapa tanaman merambat bergantungan di atap dan dindingnya. Aku meringis. Apa yang aneh, berkali-kali sudah aku melewati jalanan yang sama. Tak ada yang aneh, dan tidak ada yang menyeramkan. Rumah itu terlihat sama dengan bangunan lainnya. Memang, rumah itu rumah tinggal yang kosong semenjak bertahun silam, dan bedanya hanya dari ukuran.

“Aku akan mencari tahu,” gumamku dengan mata berbinar

Tak butuh banyak alasan, ibu mengijinkanku keluar malam ini. Aku menyandang tas ransel di punggung dan mengayuh sepedaku dengan semangat. Aku akan segera memecahkan misteri itu. Seperti aksi mata-mata atau detektif di film saja ya. Aku tersenyum, ya aku hanya ingin menemukan jawaban dan mendapatkan kebenaran saja. Kalau tidak, mungkin aku akan kesulitan tidur lagi, karena selalu menerka-nerka.

“Pulang sebelum hujan turun, Nak. Ba’da Isya harus sudah di rumah.” Aku mengangguk, dan mencium punggung tangan ibu. Kakak dan adik-adikku terlihat asyik menekuni kegiatan masing-masing, dan ayah, kebetulan beliau belum kembali dari shalat Maghrib berjamaah di surau dekat rumah.

Murung.
Setiap hari suasana hatiku selalu murung, seolah yang ada hanya kepedihan, rasa sakit, dan luka. aku tak mau makan, tak hendak meneguk minumanku. Tak ingin melakukan aktifitas apapun. Bahkan aku juga menolak bertemu dengan orang-orang. Harga diriku seakan disembilu, dicacah sampai hancur,dan perasaanku seperti tercabik-cabik. Jika ada yang mendekat, aku akan berteriak. Menjerit. Berontak. Lalu menangis. Jika ada yang mengajakku bicara, aku akan menutup kedua telingaku dengan tangan seraya meneriaki mereka.

“PERGI !!!  PERGI !!!”

Yang kutahu, aku sudah tak pernah berbicara dengan siapapun, aku hanya duduk di sudut ruangan. Memeluk diri, memeluk sunyi, dan membiarkan bercupak-cupak  air mataku mengalir. Bahkan  ayah dan ibu juga telah kehabisan akal untuk mengajakku berinteraksi. Sepertinya hari inipun mereka menyerah.

Tubuhku semakin lama semakin mengering. Tulang leherku sudah mencuat keluar, wajahku terlihat berkerut, mata cekung dengan lingkaran hitam, Kamarku terasa menyesakkan. Aku lupa sudah berapa lama kubuat semua terbiarkan begitu saja. Aku sudah tak pernah lagi ke sekolah, aku tak butuh teman-temanku lagi. Aku sekarang punya mereka, yang selalu setia menemaniku. Wajah-wajah tanpa badan, mengitariku, merubungiku, dan bercoleteh ini-itu. Begitu setiap detiknya. Wajah-wajah sendu, seperti menahan sakit, merintih, dan mengerang. Mereka menemaniku sejak beberapa waktu silam. Aku bisa merasakan apa yang mereka derita. Aku sama seperti mereka. SAMA.

“Seharusnya dia tidak pernah ke sana!” Teriak ayah.
Aku, sejak tadi mendengarkan percakapan ayah dan ibu di luar kamarku. Aku tak peduli. Aku tahu jawabannya. Aku mendapati apa yang aku cari. Aku ingin dunia tahu, ayah dan ibu tahu, para warga kampung tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan tempat itu.

Tapi,
Aku tidak bisa. Terlalu sakit. Terlalu menyakitkan.
Aku lebih suka begini, menyatu dengan jerit tangis mereka, dengan dendang keroncongan perut lapar mereka. Tapi, aku sudah tahu dengan rahasia itu. Pelan-pelan, aku bersandar, dan meyenyumi wajah itu satu per satu. Semuanya, tanpa terkecuali. (*)

Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia. Sangat suka menyelami kata-kata dan menuangkan semuanya dalam sajak dan cerita.
Yang berkenan menyapa, bisa bersilaturrahmi di akun twitter @Mitha_Adelsanto.

PURNAMA YANG PADAM



Aku lupa, malam ini purnama empatbelas. Padahal beberapa malam sebelumnya aku selalu kesal setiap kali memandang langit dari jendela kamarku yang mini tanpa kaca. Pasalnya, setiap kali aku mendongak ke langit, selalu saja kudapati awan pekat, dan gulita. Bahkan, meskipun aku mencoba menyipitkan mataku berkali-kali, tetap saja tiada kerlip satu bintang ataupun sinar rembulan.

Berbeda dengan malam ini, cuaca sangat besahabat. Langit malam benderang, purnama bulat seutuhnya. Aku tak sabar untuk memujinya, atau bahkan menyatakan kekagumanku dengan lekas, agar ia bersedia muncul esok malam dari balik jendela.

Kukuakkan daun jendela kecil itu, ia berderit-derit. Sementara malam semakin hening. Angin bulan Juni yang penghujan enggan menyibak helaian rambut panjangku. Sesekali jangkrik berderik, seakan mengalunkan kesyahduan malam.

 “Kamu selalu memuja purnama, kenapa, Ta?” aku terkekeh.

Bukankah itu pertanyaan sama yang selalu saja bang Hazel tanyakan padaku. Bahkan empat tahun terakhir, setiap kali purnama muncul, bang Hazel akan selalu menggodaku dengan pertanyaan seperti itu. Meski sebenarnya ia sendiri tahu jawabannya.

Angin malam menghempas daun jendela miniku, sepertinya malam ini hujan lebat akan turun. Aku menghempaskan tubuhku. Kesal sekali rasanya. Tetiba angin bertiup kencang, dan membawa awan-awan hitam menggumpal mengitari bulan.

“Sudahlah, Ta. Bukankah purnamamu itu selalu terlihat sama di malam-malam sebelumnya? Bukankah cahayanya tetap keemasan, dan berkilau di rambut hitammu.”

“TIDAK !!!” jeritku

“Sebaiknya jendela itu lekas kau tutup, angin akan membuatmu beku. Aku yakin malam ini hujan akan turun – sangat lebat.”

Aku mendengus. Kesal. Marah. Semua ucapannya membuat kepalaku seperti akan pecah. Membuat benakku seakan terburai dengan cairan otak yang berceceran di lantai kamarku yang dingin.
Rintik hujan mulai terdengar menyakitkan. Semakin lama semakin deras. Mungkin saking derasnya, atap kamarku serasa akan roboh diterjangnya.

Malam kembali gulita. Udara dingin menyeruak dari celah dinding bilik kamarku, membekukan kedua kakiku. Bahkan rasanya membuat tulangku nyeri dan ngilu. Bau anyir terbawa angin, menguar di udara.  Aku mengendusnya lagi. Tak salah, ini memang bau anyir darah segar. Aku yakin sekali, karena indera penciumanku tidak pernah salah.

Malam terasa sangat panjang. Aku memandang purnama empat belas. Purnama yang sempurna. Langit yang begitu berbeda, aku tak perduli hujan badai, angin ataukah taifun yang datang. Aku hanya memuja malam, mengagumi rembulan. Akan selalu begitu. Mungkin hingga kiamat datang.

Kamarku yang sepetak, berdinding bilik, dan jendela mini yang mulai lapuk. Suara kentongan terdengar bersahutan, puluhan penerangan dari suluh yang memucat juga riuh suara dan jeritan para tetangga. Warga berdatangan. Aku hanya tersenyum sinis, di bawah purnama yang ungu, aku melihat dengan jelas, tubuh bang Hazel tergeletak bersimbah darah. Ususnya terburai, matanya terbelalak.

Persis sama, dengan yang kulihat empat tahun yang lalu, tepat di bawah purnama ungu, malam ke empat belas. Sesudahnya, purnama meredup. Menghilang dari pandangan mata. Seakan gulita menelannya tanpa sisa.
Purnama di malam empat belas, aku berharap ia muncul kembali di sana. Dengan cahaya, dengan kilau keemasannya. (*)

Pekanbaru, Juni 2015
Ramita Zurnia, lahir di Lubuksikaping, Sumatera Barat,1988. Seorang perempuan biasa, penyuka senja,
pengagum jingga. “apapun tentangmu, dunia kujalani bersenjatakan pena. Aku tak peduli pada apa penilaian dunia. ”